Muktamar ke Negeri para Mullah, seperti Mau Perang

Muktamar ke Negeri para Mullah: M Saad Ibrahim (kanan) bersama Ketua Umum Al-Majma’ al-‘Alamiy Hujjatul Islam Humaid al-Syahriraniy (kedua dri kanan). Muktamar ke Negeri para Mullah, seperti Mau Perang

Muktamar ke Negeri para Mullah, seperti Mau Perang: Oleh M. Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PWMU.CO – Sekitar tahun 1977, saya membaca Syiah Rasionalisme dalam Islam, karya Abu Bakar Aceh. Selanjutnya membaca Al-Milal wa Al-Nihal oleh Al-Syahrastani, juga Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah yang dikarang oleh Abu Zahrah, serta  kitab-kitab lain yang serupa.

Kini, 46 tahun kemudian, saya mendarat di negeri penganut Syiah itu melalui bandara Internasional Imam Khumaini di Teheran, Ibu Kota Iran, Sabtu 30 September 2023, dengan transit sekitar tiga jam di Doha Qatar.

Saya disambut tiga mahasiswa Indonesia yang lagi studi, sekaligus bagian dari Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di Iran. Mereka adalah Syahrul Ramadhan yang sedang studi S3 Pemikiran Islam Kontemporer, Mursyid Al-Haq asli Ciamis yang sedang studi S2 Hukum Perdata, dan Redi Irawan asal Palembang sedang studi S3 tentang Mistisme Islam (Irfan). Ikut menyambut juga panitia Muktamar ke-37 al-Wihdah al-Islamiyyah wa al-Taqrib bayn al-Madzahib al-Islamiyyah.

Muktamar berlangsung dari tanggal 1-3 Oktober 2023, dan saya mewakili Muhammadiyah. Sebelumnya Prof Syafiq A Mughni yang mewakilinya. Hadir juga dari Indonesia Sekjen Kemenag Prof Dr Nizar Ali MAg dan tiga anak buahnya, sehari sebelum saya. Muktamar dihadiri oleh 500 peserta dari Iran dan dari 41 negara lain.

Makan Berempat 23 Juta

Yang paling menarik bagi saya, sekaligus bersyukur amat, ialah saya berangkat tanpa teman seorang pun. Inilah pengalaman pertama saya ke luar negeri sendiri, di usia senja lagi. Tentu saya merasa tetap bersama Allah.

Di Teheran saya menginap empat malam di Hotel Ajyad Parsia. Malam hari di hari pertama itu, saya ajak ketiga mahasiswa tersebut untuk makan malam di restoran Syamrun Kubab, restoran serba bakar. Seumur-umur baru kali ini, makan berempat habis hampir 23 juta! Memang bukan dolar, bukan rupiah, bukan riyal Saudi, tapi riyal Iran, mata uang yang paling rendah di dunia!

Di acara pembukaan, hadir Presiden Iran Ibrahim al-Raisiy. Agenda amat padat, mulai jam delapan sampai sepuluh malam, berpindah-pindah, walau tetap di kawasan Teheran. Juga diadakan di pusat nuklir Iran. Bahkan juga dibawa masuk ke ruang yang amat steril dengan protokol yang amat ketat, walaupun yang ini adalah nuclear for peace, untuk kepentingan antara lain industri dan kedokteran. 

Juga diagendakan ke makam Ayatullah Ruhullah Imam Khumaini yang bak istana raja. Di hari terakhir muktamar, acara diadakan di kompleks rumah Imam Khumaini yang amat ketat protokolnya, sampai membawa permen saja tidak diizinkan. 

Bahasa yang digunakan di muktamar adalah Persia, Arab, Inggris, dan Turki. Dalam banyak hal yang tampil adalah peserta dengan cara tunjuk hidung saja. Saya menyiapkan materi tentang khidmat Muhammadiyah kepada umat, bangsa, dan kemanusiaan universal, terkait dengan persatuan Islam.

Liputan media Iran bersama M Saad Ibrahim tentang Muhammadiyah bisa disimak di sini!

Sampai hari terakhir saya tidak dapat giliran. Menjelang penutupan, dibuka diskusi terutama untuk memberi masukan tentang muktamar tersebut dan yang akan datang. Saya mengangkat tangan. Saya sampaikan sejak pembukaan saya menunggu kesempatan untuk bisa berbicara, tapi tidak kunjung dapat giliran. Saya sampaikan juga bahwa sebenarnya tidak diperlukan lagi penjelasan yang panjang lebar tentang perlunya al-Wihdah al-Islamiyyah dan al-Taqrib bayn al-Madzahib al-Islamiyyah, karena hanya di sekitar itulah kebanyakan yang disampaikan.

Menurut saya, yang diperlukan adalah bagaimana kedua hal tersebut diaplikasikan secara riil. Saya usulkan muktamar berikutnya supaya para peserta hanya berbicara tentang tathbiqihima fi baladihim aw jam’iyyatihim, yakni pelaksanaan keduanya di negara atau organisasi masing-masing. 

Selesai menyampaikan pandangan, saya bergegas ke meja ketua panitia, menyerahkan naskah yang sudah saya siapkan, sambil saya sampaikan ‘Asa an yaj’alaniya Allah min al-hadlirin fi al-muktamar al-mustaqbal, moga Allah menjadikan saya termasuk yang hadir di muktamar berikutnya.

Baca sambungan di halaman 2: Seperti Mau Perang

Seperti Mau Perang

Perlu saya sampaikan bahwa suasana muktamar, terasa seperti pemanasan mau perang, ayat Asyidda”u ‘ala al-kuffar, ruhama”u baynahum, berulangkali dibacakan. Ini bisa dipahami karena negeri para mullah ini, sampai sekarang masih diembargo oleh USA dan kroni-kroninya. Sekalipun diembargo, negara ini tetap hebat bahkan memiliki pusat pengolahan nuklir, baik for peace maupun for war. Bahkan juga bisa memproduksi mobil segala.

Masih tentang suasana muktamar, pembawa acara sering melantunkan ayat-ayat al-Quran dengan amat merdu dan mengakhiri setiap memberi kesempatan tampil dengan ucapan fatafadldlal …. masykuran, bidzikr Muhammad wa alih. Lalu serentak diucapkan shalawat untuk Nabi SAW dan keluarganya oleh para hadirin, terutama yang berasal dari Iran sendiri.

Soal banyak bershalawat, amat hormat sama Mullah, termasuk ziarah ke kuburan, tampaknya mirip dengan yang dipraktikkan oleh saudara Nahdliyyin kita. Terasa juga sikap warga Iran yang amat humble, seperti juga orang Sudan, menjadikan saya betah bersama mereka. 

Di hari terakhir, bersama Sekjen Kemenag, saya dapat undangan makan malam dari Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Iran Ronny Prasetiyo Yuliantoro, yang berasal dari Malang, di restoran Cina. Ternyata hidangannya rasa Cina Iran, dan tidak ada juga yang berwajah Cina di restoran ini, tetap rupa Persian, postur besar dan ganteng amat. Duta besar karier, sebelumnya pernah bertugas di Tunisia, pernah bertemu dengan Ketum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi, bahkan titip salam untuk beliau.

Lalu soal pandangan minor terhadap Syiah, yang ditampakkan oleh banyak pihak: mencela para shahabat, dan lain-lain, sering untuk hal seperti ini saya sampaikan, anggaplah misalnya mereka itu bukan Muslim, satu hal yang penting untuk direnungkan adalah bahwa Barat, khususnya USA, telah menempatkan Iran sebagai negara Islam yang disegani, ditakuti! Tidak pada yang lain!

Di arena muktamar tidak pernah saya dengarkan ucapan mencela Abu Bakar, Umar, Utsman. Dan para mahasiswa bahkan bercerita bahwa mencela Sahabat dilarang di Iran. Saya memang tinggal hanya empat hari, tapi mahasiswa tersebut sudah lama belajar di negeri ini. Tentu saya tetap Muhammadiy. Ketika ditanya apakah saya sunni atau syi’yy? Saya jawab ana Muhammadiyy, la syi’yy wa la sunnyy. Mereka tersenyum. Ya saya balas dengan tersenyum juga. Bukankah senyum itu sehat dan menyehatkan! Tentu asal tidak terus menerus! (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version