Berpuasa dan Bermuhammadiyah: Dimensi Teleologis

Dr Saad Ibrahim MA Ketua PWM Jawa Timur (Istimewa/PWMU.CO)

M Saad Ibrahim

PWMU.CO – Berpuasa dan Bermuhammadiyah: Dimensi Teleologis Oleh: Dr M. Saad Ibrahim MA, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

A. Dimensi Teleologis Puasa

Pada tahun 622 Masehi, selama tiga hari Nabi SAW dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur, menghindari orang-orang kafir Quraisy yang berupaya mencari dan membunuh beliau. Ini dilakukan dalam rangkaian perjalanan hijrah dari Makkah ke Yatsrib.

Akhirnya, ternyata orang-orang tersebut sampai juga di pintu gua. Abu Bakar melihat kaki-kaki mereka dari bagian bawah gua tersebut. Spontan ia menangis pelan, mengkhawatirkan keselamatan Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW meneguhkan hati sahabatnya itu: 

لا تحزن إن الله معنا

Jangan bersedih, Allah bersama kita! (at-Taubah 4o)


Al-Thabary dalam tafsirnya mengutip riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW mengatakan: 

لا تحزن لان الله معنا والله ناصرنا ولن يعلم المشركون ولن يصلوا الينا 

Jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah bersama kita, dan Allah adalah penolong kita. Orang-orang musyrik itu tidak akan pernah mengetahui, dan tidak akan pernah sampai kepada kita!

Inilah salah satu fungsi penting iman dalam tataran teleologis, tataran kebermaknaan nyata dalam kehidupan. Dalam suasana yang amat genting, iman tetap meneguhkan ketenangan dan optimistis.

Adalah menarik jika ayat 183 surat al-Baqarah dimulai dengan seruan:

 يا ايها الذين آمنوا

 Wahai orang-orang yang beriman …

baru diteruskan dengan: 

كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم …

Diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada mereka sebelum kalian…

Kemudian diakhiri dengan tujuan puasa:

لعلكم تتقون

Agar supaya kalian senantiasa bertakwa. 

Tiga poin penting dalam ayat ini adalah: iman, puasa, dan takwa yang berkelanjutan. 

Ini berarti bahwa kesempurnaan puasa tergantung pada kesempurnaan iman. Demikian pula antara keberlanjutan takwa dan puasa itu sendiri. Orang yang tidak bisa menahan diri, tidak akan bisa bertakwa. Jika engkau tidak malu, lakukan apa saja yang engkau kehendaki. Demikianlah sabda Nabi SAW.

Oleh karena pada hakikatnya puasa itu adalah الإمساك yakni menahan diri. Maka tidak mungkin itu bisa terwujud dengan baik, jika iman tidak ada, jika tidak ada optimistis. Optimis bahwa puasa bisa dilaksanakan.Optimis bahwa kebaikan akan tercapai. Tentu kebaikan itu terutama berupa kegembiraan tatkala berbuka, dan ketika nanti bersua dengan Rabb. 

للصائم فرحتان، فرحة عند افطاره وفرحة عند لقاء ربه

Bagi yang berpuasa, dua kegembiraan: ketika berbuka, dan tatkala nanti bertemu dengan Rabbnya.

Sesungguhnya, terkandung dalam puasa itu dua hal penting, yaitu investasi, dan hasilnya. Kualitas dan kuantitas hasil ditentukan oleh kualitas dan kuantitas investasinya. Semakin terasa lapar dan haus, semakin nikmat dirasakan tatkala berbuka. Semakin sering dilaksanakan puasa semakin banyak hasilnya.

Oleh karena itulah puasa itu juga diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita, sebagai ajaran yang kaya dengan kebaikan dan kemaslahatan bagi hidup manusia. 

Kebaikan dan kemaslahatan tersebut secara saintifik dijelaskan antara lain oleh Yoshinori Ohsumi, peneliti dari Jepang di bidang kedokteran yang pada tahun 2016 mendapat hadiah Nobel, tentang puasa, melaparkan diri.

Jika orang berpuasa selama minimal 8 sampai dengan 16 jam, maka pada seluruh sel tubuh orang tersebut akan menghasilkan protein khusus yang bernama authophagisom, yang memiliki fungsi mengumpulkan sel-sel mati, terutama yang membahayakan yang disebabkan oleh kanker dan virus.

Setelah itu terjadi proses autolisis, yakni pembersihan, ketika darah sudah tidak lagi mengangkut dan mendelegasikan ke seluruh sel tubuh segala protein hasil pengolah makanan dan minuman yang dicerna oleh usus. Ketika lapar semakin terasa, ketika itulah proses pembersihan tersebut berlangsung, yakni ketika seluruh protein sudah habis diangkut dan disalurkan. 

Kemudian tentang tujuan puasa, yaitu takwa yang berkelanjutan. Takwa pada dasarnya adalah tindakan yang penuh dengan kehati-hatian. Hati-hati dalam melaksanakan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. 

Jika diurut dari depan: iman, imsak, kemudian takwa, maka pada tataran teleologis ayat 183 al-Baqarah ini mengajarkan manusia untuk optimis, lalu berinvestasi, kemudian mengelola investasi tersebut dengan cermat penuh kehati-hatian, pada umumnya akan memberikan profit dalam seluruh aspek kehidupan. Ya Allah cukup dengan satu ayat-Mu ini saja manusia akan menggapai sukses dalam hidup ini! Mahabenar Engkau Ya Allah.

B. Bermuhammadiyah dengan Basis Hikmah Teleologis Ajaran Puasa

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, menuntut agar seluruh nas dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, sehingga rahmat Allah merata di muka bumi ini. Para pengikutnya diberi amanah untuk itu sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, baik dalam konteks demi menjunjung tinggi agama ini, maupun dalam hubungan pengkhidmatan kepada umat, bangsa, dan kemanusian universal.  

Muhammadiyah biasa memulai dengan membangun mindside, menanamkan sikap optimistis ke dalam jiwa pengikutnya. Dengan optimistis inilah mulai diwujudkan seluruh amal usahanya. Kemudian investasi gerakan, lalu dikelola dengan baik dan penuh kehati-hatian, maka lahir dan berkembang banyak sekali amal usaha: pendidikan, kesehatan, ekonomi, santunan, dan lain-lainnya. 

Puasa kemudian baru berhari raya, juga prinsip penting dalam bermuhammadiyah. Kawasan manapun yang di sana ada Muhammadiyah-nya, maka ketika tidak mau berpuasa, tidak mau berinvestasi,  hampir pasti tidak akan pernah berhari raya. Hari raya Muhammadiyah ditandai dengan berkembang pesatnya amal usahanya. Jika belum, berpuasalah dan berpuasalah, berinvestasi terus, insyaallah akhirnya berhari raya! 

Selamat berpuasa Muhammadiyah, di kemudian hari ucapan selamat itu berbunyi: Selamat Hari Raya! (*) 

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version