Din Syamsuddin Berharap Muhammadiyah dan NU Bersatu dalam Pilpres 2024

Din Syamsuddin dengan sal Palestina (Fatimah Az Zahro/PWMU.CO)

PWMU.CO – Din Syamsuddin hadir dalam Ngaji Kebangsaan bertema Meneguhkan Politik Kebangsaan Berkemajuan. Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang mengadakannya di Masjid Khadijah, Jalan Arjono No 19 A Kauman, Klojen, Kota Malang, Ahad (29/10/2023).

“Politik kebangsaan dimunculkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode 2000-2005 di era kepemimpinan Buya Syafi’i Ma’arif dan saya wakil ketua. Ini adalah improvisasi, pengembangan, dari khittah politik Muhammadiyah yang disepakati di Muktamar tahun 1971 di Makassar,” ujar Prof Din, sapaan akrabnya, mengawali pengajian itu.

Khittah politik itu, kata Prof M Din Syamsuddin MA PhD, berbunyi: “Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan struktural, organisatoris, dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun.”

Dia menyatakan sangat memahami latar belakang suasana kebatinan warga Muhammadiyah waktu itu. “Karena Muhammadiyah di awal orde baru melanjutkan peran politiknya dengan mendukung sebuah partai Islam baru yang diharapkan melanjutkan Partai Politik Masyumi. Sebuah partai Islam tunggal di era orde lama. Walaupun kemudian NU dan PSII keluar dari Masyumi,” ungkapnya.

Dia juga mengenang, Masyumi saat itu menjadi partai besar. Adapun Muhammadiyah secara kelembagaan menjadi anggota istimewa Masyumi.

“Begitu ada momentum politik baru di awal orba, kalangan umat Islam, 16 ormas Islam, Muhammadiyah di depan, ingin menghidupkan kembali Masyumi pada Kongres 1967 di Kota Malang,” terang Prof Din.

Prof Din lanjut bercerita, Kongres menghidupkan kembali Masyumi dilarang oleh rezim orba Soeharto. Maka lahirlah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai partai Islam baru di awal orba dengan ketua umum dari Muhammadiyah, Jarnawi Hadikusuma, Sekretaris PP Muhammadiyah. Dengan Sekretaris Umum dari Muhammadiyah, Lukman Harun, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.

“Itulah keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kebangsaan. Luar biasa harapan umat Islam!” ujarnya.

Berdasarkan analisisnya, inilah latar belakang Muktamar 1971 melahirkan keputusan Khittah politik Muhammadiyah sebagaimana tersebut di atas.

Din Syamsuddin (Fatimah Az Zahro/PWMU.CO)

Kebebasan Berpolitik Warga Muhammadiyah

Dari khittah politik Muhammadiyah itu, Prof Din menegaskan, “Muhammadiyah tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan tokoh-tokoh Muhammadiyah bahkan dipimpin mantan ketua Muhammadiyah yang masih eksis sampai sekarang.”

Demikian pula, sambungnya, Muhammadiyah tidak ada hubungannya dengan Partai Ummat. “Tidak ada hubungan dengan partai manapun yang lain. Itulah Muhammadiyah kita secara organisatoris. Selama itu sampai sekarang, PP Muhammadiyah, memberi kebebasan kepada warga Muhammadiyah untuk berjuang lewat partai politik yang banyak,” tuturnya.

Prof Din yang kini menjadi Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu itu mengenang sambutannya selama menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. “Bertebaranlah di banyak partai politik. Masuklah ke wilayah politik lewat pintu-pintu yang banyak,” tuturnya.

Di PRM Pondok Labu yang kini dia pimpin itu ada penasihatnya. “Ketua Penasihat Prof Dr Jimli Assidiqi, sekarang menjadi Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang membuat pernyataan luar biasa terakhir ini. Yang boleh jadi nanti akan membatalkan keputusan MK tentang perubahan batas minimal…” ujarnya.

Tanpa ditanya, Prof Din mengungkap pendapatnya, “Supaya ke depan kader-kader ummat usia 30 tahun boleh menjadi presiden. Biar ketahuan nanti akibatnya.”

Anggota penasihat lainnya ada Prof Dr Riyas Rasyid, mantan Mendagri. Ada pula Prof Dr Jurnalisudin, Pendiri Yarsi. Juga Dr Adi Sasono (almarhum). Jamaah riuh ketika Prof Din menyebutkan anggota ke-5. “Anggota penasihat PRM Pondok Labu itu bernama Dr Anies Baswedan. Yang saya dengar mau mencalonkan diri menjadi presiden,” ujarnya.

“Saya dengar-dengar saja. Kalau betul beliau berhasil, maka PRM Pondok Labu punya presiden. Maka Ketua Pimpinan Rantingnya nggak cocok kalau jadi menteri,” candanya.

Baca sambungan di halaman 2: Muhammadiyah Selalu Terlibat Politik Kebangsaan

Din Syamsuddin di hadapan jamaah (Fatimah Az Zahro/PWMU.CO)

Muhammadiyah Selalu Terlibat Politik Kebangsaan

Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah yang Prof Din lupa tahunnya, saat itu dia menjadi wakil ketua, ada desakan dari wilayah-wilayah. “Kalau khittah Muhammadiyah seperti itu seolah-olah Muhammadiyah tidak aktif politik kebangsaan. Seolah-olah Muhammadiyah tidak boleh berpolitik,” ungkapnya.

“Padahal Muhammadiyah tidak pernah tidak berpolitik. Berarti selalu berpolitik. Sejak awal pendirian Muhammadiyah, 1912, Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan terlibat gerakan Budi Utomo, gerakan kebangsaan, cikal bakal nasionalisme Indonesia yang melahirkan kemerdekaan Indonesia,” imbuhnya.

Dia mengenang, pada suatu masa, aspirasi politik Muhammadiyah diserahkan kepada Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). “Supaya Muhammadiyah fokus dalam kegiatan dakwah di berbagai bidang. Tapi politik bukan diserahkan begitu saja. Hampir Tokoh Muhammadiyah, KH Mas Mansyur, mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) tapi tidak jadi.

Setelah kemerdekaan, Muhammadiyah ikut terlibat mendirikan Masyumi. Banyak tokoh Muhammadiyah menjadi pimpinan Masyumi.

Din Syamsuddin bersama jamaah (Fatimah Az Zahro/PWMU.CO)

Politik Ajaran Islam

Prof Din menjelaskan, politik adalah bagian dari ajaran Islam yang berdasarkan Tauhid. Di mana Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, kesenian, dan politik.

“Islam tidak menganut paham separatisme antara politik dan agama. Keduanya menyatu dalam lingkup ajaran Islam yang total berdasarkan Tauhid,” ungkapnya.

Menurut hasil bacaan buku Prof Din ketika menjadi mahasiswa University California Los Angeles (UCLA), Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berbahasa Persia, mengatakan pemimpin agama dan politik itu sama. “Agama dan kekuasaan politik itu saudara kembar yang terlahir dari satu ibu,” ungkapnya.

Di kitab lainnya, Imam Ghazali mengatakan, “Kepada manusia, Tuhan mengirim nabi-nabi dan pada mereka diberi bekal wahyu. Begitupula Tuhan kepada umat manusia, mengirim raja-raja. Dan kepada mereka diberi bekal, kekuasaan, dan cahaya Ilahi.”

Masih kata Imam Al-Ghazali, “Keduanya, nabi dan raja, punya misi yang sama: menciptakan kemaslahatan bagi manusia.”

“Maka tidak mungkin umat Islam termasuk warga Muhammadiyah mengabaikan politik,” kata Din Syamsuddin yang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.

“Kalau sampai abai terhadap politik, penganut cuekisme, maka kita akan menjadi korban permainan politik kelompok-kelompok lain. Jangankan abai, kita sudah berpolitik pun masih bisa kalah,” tambahnya.

Prof Din miris, karena Umat Islam yang besar jasanya dalam mendirikan kemerdekaan negara, tapi posisinya dalam kehidupan nasional terpinggirkan. “Hati saya miris karena apa yang kita amati dalam kehidupan nasional kita, posisi umat Islam tidak sebanding dengan jasa dan perannyan di Republik ini,” ujarnya.

“Umat Islam terpinggirkan, bahkan tertuduh lewat isu radikalisme, politik identitas, anti bhinneka tunggal ika, intoleran. Itu tuduhan-tuduhan. Mereka menggunakan tuduhan itu untuk memiting lawannya sehingga tidak bisa bergerak,” ungkapnya.

“Mereka menuduh umat Islam anti bineka tunggal ika padahal di saat yang sama mereka yang anti bineka tunggal ika. Mereka menuduh umat Islam sebagai pelaku politik identitas, padahal mereka pada saat yang sama sedang menampilkan politik identitas,” tambahnya.

Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 itu menegaskan, “Umat Islam tidak perlu diperlakukan seperti anak emas. Kita tidak menuntut itu. Tapi jangan sekali-sekali meminggirkan umat Islam!”

Dia juga berpesan kepada warga Muhammadiyah, “Jangan gila jabatan. Harus punya prinsip.”

Baca sambungan di halaman 3: Momentum 2024

Din Syamsuddin bersama ibu-ibu Aisyiyah (Fatimah Az Zahro/PWMU.CO)

Momentum 2024

Karena itu, momentum 2024 sangat penting. Menurut dia kalau tahun 2024 tidak ada perubahan sampai satu periode ke depan tahun 2029, maka kekuatan politik formal umat Islam dan politik kepartaian tak tersisa kecuali nama, tak tersisa kecuali kerangka.

“Maka para pahlawan kusuma bangsa, para tokoh umat yang berjasa bagi negeri ini, pada peringatan satu abad kemerdekaan Indonesia tahun 2045 boleh jadi akan menangis di alam barzah. Saya tidak mau menangis di alam barzah, maka harus berbuat sesuatu,” katanya.

Ptof Din mengimbau tetap mengikuti peraturan yang ada. “Kita ikuti saja,” ajaknya. Menurut Din, kita ini mayoritas tapi mayoritas buih yang mudah diombang-ambingkan. “Apakah itu terjadi sekarang?” tanyanya retoris.

Dia menyatakan, umat Islam saat ini besar tapi tidak dalam mutu dan kualitas. Dalam banyak hal, kita kalah. Seperti di bidang ekonomi, politik, dan bidang-bidang lainnya. Jika hal itu terus terjadi, maka pada tahun 2045, bisa jadi kita akan menangis di alam barzah.

Karena itu menurut Din Syamsuddin ada dua opsi yang bisa dilakukan. Pertama suka tidak suka kita mengikuti aturan partai walaupun ada semangat mendukung salah satu paslon, semoga pemilu kita berjalan dengan damai.

Opsi pertama ini harus siap dengan risiko kekalahan. Untuk itu harus ada kebersamaan, harus ada kekompakan umat Islam. Jangan bercerai berai. Jangan berselisih. Jangan bertikai. Jangan berpecah belah. “Kamu akan gagal dan kekuatanmu akan hilang, pesan al-Qur’an,” kata Din.

Din bercerita, suatu saat di bercermah dan ada yang bertanya, gimana kiranya Muhammadiyah dan NU bersatu dalam pilpres.

“Saya kenal Cak Imin sahabat saya, tokoh NU, mantan Ketua PMII, dan Pak Anies Baswedan tampil sebagai HMI tapi sekarang sebagai Penasihat Ranting Muhammadiyah, sehingga ini sudah terjadi. Bagus tetap dalam wawasan kebangsaan yang majemuk. Jika itu takdir Allah, maka kita harus tampil secara bersama-sama,” kata Din.

Opsi kedua gerakan konstitusional mendasar yang sudah banyak yang memprakarsai yaitu kembali ke UUD 1945 yang asli. Walaupun terbuka amandemen, kalaupun ini terus berlanjut seperti ini akan timbul kerusakan dan umat Islam semakin terpinggirkan.

Kalau tidak ada GBHN, ini semaunya tergantung presiden terpilih. Syukur punya visi dan misi tapi dengan tidak ada GBHN, ada lagi yang tidak punya. Parahnya visinya nyontek punya negara lain.

Menurut Din warga Muhammadiyah harus memiliki literasi politik yang kita niatkan sebagai amar makruf nahi mungkar yang menjadi amanat al-Qur’an. “Harus memiliki kecerdasan politik, menjadi pemilih yang cerdas.”

Din Syamsuddin tidak memiliki waktu yang cukup lama karena harus segera ke Surabaya, sehingga tidak ada dialog dalam kajian kebangsaan ini. (*)

Penulis Fatimah Az-Zahro Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version