Khotbah Jumat Pakai Bahasa Bumiputera, Muhammadiyah Pernah Dituduh Bid’ah

Khotbah Jumat
Dr Syamsuddin ceramah di acara Capacity Building PDM Kota Pasuruan. (Bakhtiarin/PWMU.CO)

PWMU.CO – Khotbah Jumat pakai bahasa bumiputera merupakan produk keputusan Muhammadiyah yang membuat heboh. Sebab pada tahun itu wajib pakai bahasa Arab.  

Demikian diceritakan Dr Syamsudin pada acara Capacity Building PDM Kota Pasuruan di Rumah Makan Kebon Pring, Ahad (5/11/2023).

Dia menjelaskan, Muhammadiyah adalah ormas keagamaan yang didirikan ulama KH Ahmad Dahlan. Pendirian Muhammadiyah tidak lepas dengan persoalan keagamaan di masyarakat.

”Sebelum didirikan Majelis Tarjih pada 1927, Muhammadiyah sudah  menghasilkan putusan-putusan keagamaan, di situ ada speed kemajuan yang disesuaikan dengan zamannya,” kata Syamsuddin yang dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dia menyebut, Muhammadiyah yang pertama kali mengadakan khotbah Jumat dalam bahasa bumiputra. ”Saat itu khotbah Jumat wajib bahasa Arab,” tuturnya.

Syamsuddin menerangkan, Muhammadiyah menganggap khotbah Jumat yang dilaksanakan sepekan sekali untuk mencerahkan masyarakat, sehingga harus menggunakan bahasa kaumnya supaya masyarakat mengerti apa yang disampaikan.

”Hal tersebut bukan tanpa tantangan, Muhammadiyah mendapat cemooh dan caci maki sebagai praktik bid’ah yang tidak ada contoh sebelumnya,” ujarnya.

Pertentangan tersebut sedemikian banyak, cerita dia, sementara amal usaha Muhammadiyah juga berkembang pesat, maka dirasa perlu ada pembidangan pembidangan di dalam penanganan masalah persyarikatan.

Tahun 1927 dibentuklah Majelis Tarjih oleh seorang yang dijuluki sebagai sapu kawat dari Jawa Timur yaitu KH Mas Mansyur.

Menurut Syamsuddin, sebagai organisasi modern Muhammadiyah tidak mengacu atau meniru pada bentuk organisasi yang tidak modern. Sehingga dibentuknya Majelis Tarjih sebagai unsur pembantu pimpinan.

Ketika Majelis Tarjih bersidang tidak bisa langsung disampaikan pada warga persyarikatan namun harus memperoleh tanfidz dari pimpinan. ”Itu adalah salah satu ciri organisasi modern,” ujarnya.

Syamsudin memaparkan beberapa produk Muhammadiyah antara lain putusan, fatwa, dan wacana.

Putusan adalah keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang agama dan mengikat organisasi secara formal, meskipun dalam praktiknya tidak melaksanakan. Namun putusan tersebut sudah mengikat secara formal.

Selanjutnya, fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih tentang pertanyaan masyarakat mengenai masalah yang memerlukan penjelasan dari hukum syariah.

Fatwa Majelis Tarjih tidak mengikat baik terhadap organisasi ataupun anggota sebagai perorangan, bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan didiskusikan kembali.

Wacana adalah gagasan atau pemikiran yang dilontarkan untuk memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta menghimpun bahan atau ide mengenai berbagai masalah aktual di masyarakat

”Pengembalian pemurnian tidaklah mudah dengan bangkitnya aliran animisme dan dinamisme. Kembali pada kearifan lokal kadang-kadang dipahami oleh masyarakat sebagai membangkitkan kembali kesyirikan,” katanya.

Padahal makna kearifan lokal, sambungnya, adalah nilai luhur yang berkembang di suatu daerah, seperti sopan santun, nuwun sewu saat lewat di depan orang yang lebih tua, kalau ngomong pakai bahasa kromo, kromo inggil.

Penulis Bakhtiarin Perihatin Bakhri  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version