Membedah Jurnalisme Profetik Perspektif Islam Berkemajuan

PWMU.CO – Jurnalisme profetik perspektif perspektif Islam berkemajuan diperbincangkan. Kali ini oleh 20 penulis dari kalangan jurnalis, aktivis, dan dosen Ilmu Komunikasi. Mereka menulis buku Jurnalisme Profetik Perspektif Islam Berkemajuan.

Buku ini diinisiasi Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Muhammadiyah Aisyiyah (APIK PTMA). Gagasan dalam buku itu dibedah dalam seminar nasional di kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo), Jumat (26/1/2024) dilanjut dengan focus group discussion (FGD) hari berikutnya.

Tampil sebagai penggagas, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, pakar komunikasi Unair Prof Henry Subiyakto, dan dekan FISIP Umpo Ayub Dwi Anggoro. Diskusi dimoderatori Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Nasrullah.

Ninik Rahayu menganggap urgensi Muhammadiyah mengangkat nilai-nilai profetik dalam jurnalisme sebagai langkah yang tepat. Hal ini mengingat praktik pers yang saat ini terdisrupsi oleh berbagai persoalan, termasuk platform digital dan maraknya jurnalisme warga di media sosial.

“Pers saat ini terdisrupsi oleh platform digital. (Jurnalisme profetik) Bisa menjadi pengimbang sekaligus rujukan bagi perkembangan industri jurnalisme di era transformasi digital dan disrupsi informasi saat ini,” ungkap Ninik yang aktif di Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah ini.

Atas nama pribadi dan Dewan Pers Ninik mengapresiasi penerbitan buku ini. Lebih dari itu ia berharap Muhammadiyah memiliki andil lebih besar lagi, dimulai dari media-media yang dimilikinya.

Berpihak pada Kebenaran

Sementara itu, Henry Subiakto memaparkan fenomena jurnalisme keterikatan (attachment journalism) yang dikenalkan Martin Bell. Menurutnya, jurnalisme harus berpihak, berpihak kepada kebenaran.

“Persoalannya, kebenaran versi siapa?” tanya Henry.

Setiap orang memiliki versi kebenaran masing-masing. Maka kebenaran berdasarkan prinsip kenabian adalah rujukan yang tepat bagi jurnalisme. 

“Kebenaran yang menebarkan kebaikan bagi seluruh alam, rahmatan lil alamin,” lanjut anggota Dewan Pakar MPI PP Muhammadiyah ini.

Kepada APIK PTMA, Ayub mendorong agar jurnalisme profetik dikenalkan melalui berbagai muatan kurikulum. Menurutnya, sudah saatnya kekuatan jaringan APIK PTMA menjadi penggerak nilai-nilai jurnalisme profetik untuk membendung disrupsi saat ini.

Hadir dalam acara ini Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad, Ketua MPI Prof Muhlas, Sekretaris MPI Prof Anam Sutopo dan Wakil Ketua MPI Roni Tobroni. Ada juga Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri. Mereka disambut rektor UMPO Happy Susanto dan  Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ponorogo Syafrudin. 

Ketua Apik PTMA M Himawan Susanto menyatakan kerja sama pihaknya dengan MPI sangat intens. Selain bidang jurnalisme, APIK juga sudah berkolaborasi dengan Wakil Ketua MPI Ismail Fahmi untuk mengembangkan Labmu. 

Baca sambungan di halaman 2: Penerapan Jurnalisme Profetik

Peserta seminar dan FGD Jurnalisme Profetik Perspektif Islam Berkemajuan (Istimewa/PWMU.CO)

Penerapan Jurnalisme Profetik

Dalam FGD mengemuka gugatan konsep jurnalisme profetik. Muhammad Subarkah, jurnalis senior yang menjadi salah satu penulis mempertanyakan konsep Parni Hadi tentang jurnalisme profetik yang sebenarnya bukan hal baru.

“Jauh sebelum itu, tahun 1985 Prof Kuntowijoyo telah mengenalkan tiga hal yang menjadi etika profetik,” kata Subarkah. Tiga dimensi itu mengacu tafsir Ali Imran 112, yakni dimensi humanisasi (amar makruf/memanusiakan), liberasi (nahi mungkar/ membebaskan), dan transedensi (ibadah).

Hal senada diamini Arif Permadi dan Wakhudin, dua penulis lain. Pers Islam, menurut mereka telah jauh tertinggal dan sudah saatnya menerapkan jurnalisme profetik sejak seorang jurnalis mau berangkat meliput. 

“Sejak bangun tidur, niat seorang jurnalis adalah ibadah,” kata Arif yang mantan jurnalis dan dosen Universitas Muhammadiyah Bandung ini.

Penulis perempuan Putri Aisyiyah melengkapi konsep jurnalisme profetik dari perspektif perempuan. Peneliti dan dosen Universitas Negeri Surabaya ini mengemukakan bahwa jurnalisme profetik tidak hanya ada dalam praktik liputan, melainkan harus menjadi corporate culture.

Ketua MPI Prof Mukhlas menganggap tambahan perspektif Islam Berkemajuan sebagai perspektif baru dalam jurnalistik. 

“Bukan berarti yang menjadi objek berita terkait konten keislaman saja,” kata Mukhlas yang juga Rektor Universitas Ahmad Dahlan. Lebih dari itu, jurnalisme profetik perspektif Islam berkemajuan mendorong informasi konten berorientasi masa depan, berbobot, dan menghasilkan wawasan mencerahkan. 

Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad berharap perumusan konsep jurnalisme profetik perspektif Islam Berkemajuan ini perlu dilakukan lebih serius. 

“Sebagai ciri khas jurnalisme yang bersifat kenabian, tentu saja diperkuat dengan satu perspektif kemuhammadiyahan, yaitu Islam berkemajuan, tutur Dadang. (*)

Penulis Nasrullah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version