Etika Politik

Penyesalan Presiden
M. Anwar Djaelani: Etika Politik

Etika Politik Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan 10 judul lainnya.

PWMU.CO – Jika sebagian orang meyakini bahwa politik tidak memiliki akhlak, maka hal itu sangatlah jauh dari politik Islam. Sungguh, politik Islam ditegakkan sejak awal di atas keadilan, pemenuhan janji, kejujuran, kemuliaan, dan akhlak mulia (Yusuf Al-Qaradhawi, 2022: 77).

Di dalam Islam, akhlak adalah perkara sangat fundamental. Akhlak mulia harus bisa kita peragakan di keseharian. Itu artinya, di semua aspek kehidupan kita, performa kita harus dalam bingkai akhlak mulia.      

Tentang ini, antara lain bisa disebut tiga alasan pokok. Pertama, bahwa tugas utama Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak masyarakat. Kedua, terkait yang pertama, bahwa sebaik-baik dari kaum beriman adalah yang paling mulia akhlaknya. Ketiga, akhlak mulia itu hanya akan tumbuh di atas iman yang kukuh.

Sejenak, mari rasakan kaitan erat akhlak dengan iman. Simaklah, bahwa dalam Islam seseorang dianggap tak punya iman jika tidak memiliki sifat amanah. Perhatikanlah, dalam Islam, tidak ada iman pada sesorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Cermatilah, tak ada iman pada seseorang yang sedang berzina, sedang mencuri, atau sedang meminum minuman keras.        

Perkara Vital

Ada sebuah buku penting berjudul Akhlak Islam yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (1926-2022). Buku itu ditulis pada 2015. Sementara, edisi terjemahnya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada 2022. 

Tentu itu buku penting. Bukankah ada Hadits Riwayat Bukhari yang kerap kita dengar atau baca bahwa “Sungguh sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya”. Sedemikian pokok isi hadits itu, si penulis buku-Yusuf Al-Qaradhawi-mencantumkannya di cover buku langsung di bawah judul. 

Memang, akhlak adalah masalah yang sangat mendasar. Kita pun tahu bahwa ada riwayat ini, berupa sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (HR Ahmad dan Bukhari).

Maka, bisa kita mengerti bahwa buku penting karya Yusuf Al-Qaradhawi ini tebalnya 929 halaman. Bisa dibilang, semua hal yang bertalian dengan akhlak tidak luput dari pembahasan yang jernih dan mendalam dari Yusuf Al-Qardhawi. Dalam hal ini, termasuk pasal yang berjudul Akhlak dan Politik. Kajian tentang ini ada di halaman 74 sampai 77.

baca sambungan di halaman 2 Etika Politik

Buku Akhlak Islam karya Yusuf Al-Qaradhawi

Etika Politik

Hendaknya, akhlak menjadi ‘pakaian’ yang kita kenakan di mana pun. Lihatlah, misalnya, Islam mengikat ekonomi dengan akhlak. Islam juga mengikat politik dengan akhlak.

Untuk yang disebut terakhir di atas, politik Islam bukanlah politik Machiavellisme yang berpendapat bahwa tujuan menghalalkan cara. Politik Islam adalah politik prinsip dan nilai (h 74). 

Sesungguhnya Islam menolak dengan keras segala cara kotor, termasuk cara kotor yang digunakan untuk tujuan mulia. Sebuah hadits shahih menyatakan, “Sesungguhnya Allah Mahabaik dan Dia tidak menerima kecuali hanya yang baik” (HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi).

Jangan pernah lupa, cara yang buruk  sama saja dengan tujuan yang buruk. Keduanya harus ditolak. Adapun yang harus ada adalah cara yang bersih untuk mencapai tujuan mulia (h 75).

Pemimpin mana pun, hendaklah amanat dan adil. Sungguh, di antara akhlak mulia yang harus kita punya adalah selalu bersikap amanat dan adil. Perhatikan ayat ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” 
(an-Nisa’ 58).

Renungkanlah dalam-dalam! Bahwa, amanat dan adil disebut secara bersamaan oleh Allah di satu ayat.  Maka, kata Yusuf Al-Qaradhawi, tidak boleh seorang penguasa muslim memprioritaskan salah seorang kerabatnya, orang dekatnya, atau partainya dengan memberikan sesuatu yang bukan haknya. Juga, sebaliknya, tidak memberi sesuatu kepada yang berhak menerimanya (h 75).

Mari tengok sekitar kita, terkait sikap amanat dan rasa keadilan. Lihat, misalnya, ada berita pada 17 Oktober 2023, dengan judul: Pengamat: Gibran Diuntungkan Putusan MK, Benturan Kepentingan Sangat Terang.

Jauhi Risiko! 

Kehidupan akan rusak jika hukum tak bisa mendatangkan keadilan. Kehancuran akan hadir kala kita diskriminatif. Cermatilah hadits ini: “Sesungguhnya hancurlah orang-orang sebelum kamu. Sebab, jika ada orang-orang besar (elite) mencuri, maka mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), maka dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya” (HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i). Pada intinya, janganlah sekali-kali memberlakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. 

Bersikaplah amanat! Serahkan sebuah urusan kepada ahlinya! Jangan undang kehancuran dengan menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya. 

Rasulullah Saw menyatakan bahwa kondisi dekat dengah kehancuran akan terjadi jika amanat disia-siakan. Seperti apakah yang dimaksud dengan amanat yang disia-siakan itu? 

Kata Rasulullah Saw, amanat yang disia-siakan adalah jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya. Jika hal itu terjadi, maka tunggulah kehancurannya.

Di Atas Akhlak

Alhasil, kata Yusuf Al-Qaradhawi, sesungguhnya politik Islam wajib dibentuk di atas dasar keadilan, kesetaraan, serta persamaan antara semua orang dalam hak, kewajiban, dan hukum. Juga, di atas kejujuran kepada rakyat, keterusterangan akan kebenaran tanpa penyesatan, kebohongan atau kedustaan. Sesungguhnya salah satu dari tiga jenis orang yang Allah tidak akan melihat kepada mereka di hari kiamat, tidak menyucikan mereka, dan mereka akan ditimpa azab yang pedih adalah ‘Raja Pembohong’ sebagaimana dikabarkan oleh Nabi SAW (h 76). 

Berkata-kata seperti di atas, Yusuf Al-Qarashawi punya sandaran kukuh. Ulama Besar yang pernah menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Qatar dan sangat dihormati oleh ulama di berbagai belahan dunia itu, mendasarkan pendapatnya kepada Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim.

Demikianlah, kita seyogyanya terus menghayati ungkapan Yusuf Al-Qaradhawi yang telah dikutip di paragraf pembuka tulisan ini. Bahwa, salah jika kita meyakini politik tidak memiliki akhlak. Hal ini karena, kata Yusuf Al-Qaradhawi, sejak awal politik Islam itu ditegakkan di atas akhlak yaitu yang memenuhi unsur keadilan, pemenuhan janji, kejujuran, dan kemuliaan. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version