Abu Hanifah: Pejuang Multitalenta

Abu Hanifah: Pejuang Multitalenta, Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku inspiratirf

PWMU.CO – Prof Dr Abu Hanifah wafat pada Jum’at 4 Januari 1980. Terkait itu, cermatilah berita, feature, dan kolom di berbagai koran besar di sekitar berita duka tersebut. Berikut ini, sebagian di antaranya. 

“Dokter, pejuang, dan seniman Abu Hanifah meninggalkan kita” (berita di Suara Karya 5 Januari 1980). “In Memoriam: Prof Dr Abu Hanifah, Seorang Pejuang Bberidealisme Tinggi” (feature di Angkatan Bersenjata 7 Januari 1980). “Prof Dr Abu Hanifah Punya Pendirian Teguh dan Konsekuen” (feature di Berita Buana 7 Januari 1980). “Mengenang Prof Dr Abu Hanifah Datuk Maharaja Emas” (kolom oleh Saifuddin Zuhri di Pelita 9 Januari 1980).

Rasanya, hanya ‘orang besar’ dan berjasa yang kematiannya diberitakan dan diulas dengan sepenuh kesan baik oleh berbagai media terkemuka di zamannya. Rasanya, hanya untuk pribadi yang cukup istimewa saja sedemikIan rupa tokoh sekaliber Saifuddin Zuhri (yang pernah menjadi Sekjen PBNU dan Menteri Agama di beberapa kabinet) menulis kolom khusus bagi sahabatnya yang baru wafat.      

Figur Menarik    

Abu Hanifah lahir di Padang Panjang 6 Januari 1906. Ayah dia guru bahasa Melayu, yang tugasnya berpindah-pindah di berbagai kota di Indonesia. 

Pendidikan agama mulai diberikan kepada Abu Hanifah di rumah. Pada sore harinya dia belajar membaca al-Qur’an di Masjid atau di Surau sebagaimana anak-anak Minangkabau lainnya. 

Orang tua Abu Hanifah berkeinginan agar dalam pribadi anak-anaknya terdapat keseimbangan antara ilmu pengetahuan dunia dan ilmu akhirat. Di kemudian hari, terbukti keyakinan orang tuanya sangat tepat. Abu Hanifah kemudian terkenal sebagai seorang tokoh intelek yang agamis.

Di usia 15 tahun, yaitu pada 1921, Abu Hanifah merantau ke Jakarta. Pada 1922 dia diterima di sekolah dokter, STOVIA (School Toot Opleiding Voor Indische Artsent). 

Abu Hanifah mulai terlibat dalam pergerakan pemuda sekaligus pergerakan nasional sejak dia mulai belajar di STOVIA. Sebelumnya, dia aktif di Jong Sumatranen Bond bersama-sama dengan Moh. Yamin, Bahder Djohan, dan lain-lain.  

Abu Hanifah aktif di belakang layar saat dilangsungkan Kongres Pemuda pertama di Jakarta pada 30 April sampai 2 Mei 1926. Saat itu, posisinya sebagai Sekretaris Umum Pemuda Sumatera.

Dia terus bergerak. Lewat buletin berkala Pemuda Sumatera yang dipimpinnya, dia menyebarkan ide-ide persatuan Indonesia. Tak lelah, pada 1927 dia aktif di Pemuda Indonesia sekaligus menjadi pemimpin redaksi majalah Pemuda Indonesia.

Kala berlangsung Kongres Pemuda kedua, 27-28 Oktober 1928 (dengan hasil Sumpah Pemuda), Abu Hanifah hadir sebagai peserta aktif. Dia anggota Pemuda Indonesia sekaligus sebagai redaktur dari media Pemuda Indonesia yang banyak menulis dan melaporkan hasil-hasil kongres tersebut.

Penulis Produktif

Minat Abu Hanifah di bidang kepenulisan, memang luar biasa. Perhatikanlah, belakangan, banyak karya buku dia. Antara lain bertema sastra, kedokteran, filsafat, dan agama. Di samping dalam bahasa Indonesia, karangan-karangannya banyak diterbitkan dalam bahasa Belanda, Jerman, Portugis, dan Inggris. 

Saat menulis karya sastra, Abu Hanifah memakai nama samaran El-Hakim. Berikut ini, antara lain, karyanya di bidang sastra: 1) Taufan di atas Asia. 2) Dewi Rani. 3) Insan Kamil. 4) Rokayah. 5) Mambang Laut. 6) Dokter Rimbu.

Apa isi Dokter Rimbu? Dokter Rimbu merupakan novel karya El-Hakim (Abu Hanifah). Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Balai Buku Indonesia pada 1952 dan cetakan kedua oleh Balai Buku Ichtiar Jakarta pada 1979 dengan tebal 221 halaman. Isinya menceritakan perjuangan dr. Hakam sebagai dokter berusia muda di daerah hutan dan rimba (rimbu). Dia ditempatkan di daerah terpencil di Sumatra Tengah, dulu termasuk daerah kekuasaan Raja-Raja Pagaruyung (https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Dokter_Rimbu).

Berikut ini daftar karya buku dengan nama penulis dr. Abu Hanifah. 1) Perang, Damai, dan Kolonialisme. 2) Rintisan Filsafat. 3) Cita-Cita Perjuangan. 4) Agama dalam Republik Indonesia. 5) Pahlawan-Pahlawan Islam Abad 16 dan 17. 

Sementara, khusus buku-buku kedokteran, berikut ini judul-judulnya: 1) Ibu dan Anak. 2) Sruma Endemika. 3) Volksziekten. Di samping buku, karyanya juga berupa atikel kedokteran dalam majalah berbahasa Jerman, Belanda dan Inggris.

Karya buku Abu Hanifah, masih ada lagi. Berikut ini, buku-buku dalam bahasa Inggris: 1) Indonesia My Country (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, menjadi: Indonesie Meu Paese). 2) Conflict in The Pacific. 3) Tales of Revolution. 4) Karangan (artikel-artikel) dalam majalah Foreign Affairs, Holland.

Juga Khatib

Berikut ini riwayat pendidikan dan gelar Abu Hanifah: 1) Europese Lagere School, 1921. 2) Scholar of Philosophy, 1929. 3) STOVIA, 1932. 4) Geneeskundige Hoogeschool, 1940. 5) Spesialis Penyakit Dalam (Kesehatan Ibu dan Anak) SHS. 6) Doctor Honoris Causa dari Akademi Belle Arte di Brasil, 1962. 7).Guru Besar Philosophy (Comparative Political Philosophy). 

Dari serangkaian pendidikan yang antara lain dijalaninya di Makassar, Bandung, dan Jakarta, Abu Hanifah kemudian menjadi dokter. Awal dia bertugas di Medan. Kemudian, ke pedalaman Sumatera Tengah, yaitu di Kabupaten Indragiri.

Meski Indragiri daerah kaya dengan keberadaan perkebunan karet, tapi rakyat di sana sangat terbelakang dalam hal pendidikan dan kesehatan. Penyakit yang diderita rakyat macam-macam. 

Di Indragiri banyak dukun kampung, yaitu dukun untuk membantu anak yang khitan atau dukun untuk menolong ibu yang melahirkan. Abu Hanifah lalu bekerja sama dengan mereka dengan memberinya petunjuk mengenai kebersihan dan kesehatan. Bagi dukun yang mengkhitan anak-anak, diberi petunjuk agar alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu direbus sampai mendidih. Begitu juga bagi dukun yang menolong persalinan, diberi pengetahuan tentang masalah higienitas. Bahkan, mereka juga diberi kursus untuk menolong orang sakit di kampung-kampung yang jauh dari posisi mereka. 

Abu Hanifah juga mengadakan kursus juru-rawat dan bidan bagi pemuda-pemudi yang dapat menulis dan membaca, terlebih yang orang tuanya adalah dukun seperti yang disebut di atas. Itu dilakukan, dengan harapan bahwa mereka kelak akan mewarisi keterampilan orangtuanya. 

Selanjutnya, Abu Hanifah dengan dibantu istrinya mendirikan sebuah Sekolah Dasar. Hal lain, dengan bantuan masyarakat Indragiri, Abu Hanifah mendirikan sebuah masjid. Di masjid itu, Abu Hanifah dan beberapa ulama sering berkhotbah.

Mengenai pengetahuan agama Islam, Abu Hanifah memang mempunyai dasar yang kuat. Sewaktu di Medan dia banyak belajar dari tokoh-tokoh Islam di sana.

Penghargaan Wajar

Catatan pengabdiannya di bidang kedokteran sangat panjang. Di masa sebelum perang, antara lain pernah sebagai Kepala RS Marine Tanjung Priok. Pada Zaman Perang, antara lain pernah sebagai Kepala RS St. Lidwina Sukabumi 1945-1947. 

Di Zaman Revolusi (1947-1950), berikut ini antara lain jejak pengabdiannya. Pernah sebagai Komandan Barisan Hizbullah, anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (PPK) Kabinet RIS.

Di politik, Abu Hanifah terkenal sebagai tokoh Masyumi yang menjalin hubungan cukup baik dengan pemerintah pada awal pembangunan negara dan bangsa Indonesia.  Di Masyumi dia sezaman dengan antara lain Mohammad Natsir dan Osman Raliby. 

Berderet-deret amanah yang pernah diembannya. Berikut ini, antara lain: Guru Besar Filsafat pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (1955-1967), Duta Besar RI untuk Brazil (1961-1964), dan Anggota Staf Pelaksana Lemhanas (1964-1965).      

Atas kiprah kontributifnya yang panjang, banyak penghargaan yang diterima Abu Hanifah, seperti: 1) Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan. 2) Satyalencana Karya Satya. 3) Perintis Kemerdekaan Negara Asing. 4) Medal of Merit Holy See – Paus Yohannes XXIII. 5) Medal of the Italian Navy. 6) Grand Cross of Africa. 7) Grand Cross do Cruzeiro O’Sul.

Sosok Gigih

Abu Hanifah teladan dalam banyak hal, temasuk semangatnya yang tinggi dalam menulis. Terkait ini, ada catatan menarik, menjelang akhir hayatnya. 

Di artikel “Prof. Dr. Abu Hanifah Seorang Pejuang Beridealisme Tinggi” karya Djaliar Naulah di majalah Kiblat No. 17 (XXVII: 1980), ada gambaran semangat menulis Abu Hanifah yang bergelora. Tetap bergelora, meski dalam kondisi sakit dan kakinya baru saja diamputasi.

Tiga bulan pascakaki Abu Hanifah diamputasi, Moh. Roem (sahabatnya, sesama pejuang dari Masyumi) mengunjunginya. Pada waktu itu, Abu Hanifah mengatakan, bahwa dia tidak pernah akan turun semangatnya walaupun kaki hanya tinggal sebelah saja. Dia akan tetap terus menulis. 

Hal yang sama, juga dikatakan oleh Abu Hanifah kepada Djaliar Naulah saat di rumah sakit (RS). Abu Hanifah tegaskan, bahwa dirinya tidak akan pernah merasa sedih karena kehilangan sebelah kaki. Terutama yang diperlukannya adalah otak sehat dan pena. Selama dua itu masih ada, dia bertekad tidak pernah merasa kehilangan. Dia bertekad, semoga dalam sebulan ke depan dia akan pulang dari RS dan menulis lagi untuk Kiblat (Kiblat adalah salah satu nama majalah Islam yang terkenal di masanya). Untuk itu dia berharap agar disediakan baginya ruangan untuk tulisan yang akan dibuatnya, seperti biasa.

Sebelumnya, Abu Hanifah sudah menulis untuk Kiblat selama 12 tahun, dan telah terbit 164 tulisannya. Panjang rata-rata dari artikelnya lebih dari 15 halaman folio. Tulisan pertamanya yang terbit di Kiblat di edisi No. 19 (XV: 1968) dengan judul “Offensif Pertama Kaum Komunis di Asia Tenggara.” Ini baru di Kiblat, belum lagi tulisan-tulisannya di berbagai media lainnya (baca: Dr. Abu Hanifah: Komandan Hizbullah Sukabumi dan Penulis Produktif” karya Mahmud Budi Setiawan di www.hidayatullah.com 23 Mei 2022). 

Kehilangan Besar

Abu Hanifah sosok multitalenta. Dia juga pandai melukis dan bermain musik. Juga dikenal sebagai politikus, filosof, sastrawan, seniman, dan penulis yang produktif. 

Saat Abu Hanifah wafat, pada 1980, banyak yang berduka. “Kita kehilangan seorang pejuang. Dia adalah pejuang dalam arti sepenuh-penuhnya,” kata Menteri Luar Negeri RI (saat itu) Muchtar Kusumaatmaja. 

Sang Menteri Luar Negeri memberikan sambutan atas nama Pemerintah dan Keluarga Besar Departemen Luar Negeri RI. Inti sambutannya, cukup mewakili perasaan dari banyak orang yang mengenal jejak panjang perjuangannya di berbagai ranah kehidupan. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version