Din Syamsuddin Gaungkan Perubahan saat Khotbah Idul Fitri 1445 di Yogyakarta

Din Syamsuddin gaungkan perubahan saat khotbah di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Sabtu (10/4/2024) (Istimewa/PWMU.CO)

PWMU.CO – Din Syamsuddin gaungkan perubahan saat khotbah Idul Fitri 1445. Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu Prof Dr M Din Syamsuddin MA khotbah di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Begini khotbahnya (bagian pertama):

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah SWT, tiada yang patut kita ungkapkan kecuali rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Bahwa saat ini kita dapat merayakan Idul Fitri, hari raya kesucian, hari raya kekuatan dan hari raya kemenangan. 

Kata fitrah mengandung arti kesucian dan kekuatan. Manusia terlahir ke muka bumi dengan fitrah kemanusiaan yang suci yaitu tidak membawa dosa warisan dari siapa pun, baik kedua orang tua yang melahirkannya. Maupun Adam dan Hawa moyang umat manusia. 

Sebaliknya, fitrah kemanusiaan mewarisi kesucian, karena ruh yang diembuskan ke dalam jasad beberapa bulan sebelum kelahiran terikat perjanjian suci dengan Sang Pencipta. Hal ini diabadikan dalam al-Quran berupa dialog arwah dan Sang Pencipta: “Alastu birobbikum (bukankah aku Tuhanmu?) dan dijawab bala syahidna (ya, kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan kami).” 

Fitrah kemanusiaan juga mewarisi kekuatan karena ruh yang diembuskan ke dalam jasad berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna dengan segala nama-nama kebaikan (al-asma alhusna). Inilah yang membawa manusia memiliki potensi-potensi insani yang paralel dengan sifat-sifat ketuhanan itu. Fitrah kemanusiaan dengan demikian berdimensi ganda: kesucian dan kekuatan. 

Jika keduanya dikembangkan secara simultan maka akan melahirkan insan fitri. Yaitu manusia dengan kepribadian suci dan kuat. Inilah kepribadian orang-orang yang bertakwa yang merupakan tujuan ibadah-ibadah Ramadhan. 

Jika kita mampu memiliki kesucian dan kekuatan diri maka kita akan memperoleh kemenangan. Itulah yang kita rayakan pada hari ini yaitu kemenangan kaum beriman mengendalikan hawa nafsu selama sebulan penuh sehingga terlahir kembali sebagai insan paripurna penuh kesucian dan kekuatan diri. 

Jamaah Shalat Idul Fitri yang berbahagia, kemenangan yang diraih kaum beriman, yang telah berhasil menempuh pelatihan Ramadhan sebulan penuh, adalah kemenangan dari jihad besar. Jihad ini lebih tinggi nilainya dari pada berjuang di jalan Allah dengan berperang yang hanya merupakan jihad kecil (al-jihad al-ashghar). 

Mengendalikan hawa nafsu disebut sebagai jihad besar karena pengendalian hawa nafsu adalah perbuatan yang sangat berat dan susah dilakukan manusia. Hawa nafsu cenderung mendorong manusia kepada keburukan (alnafs al- ammarah bi al-su’). 

Sebagai akibatnya, manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsu akan terjebak ke dalam kekejian, kemungkaran, kelaliman, dan kemudian terjatuh ke titik nadir kemanusiaannya. Hati yang seharusnya bersifat nurani atau hati nurani (cerah mencerahkan), berubah menjadi hati zhulmani yaitu hati yang gelap-menggelapkan.

Jamaah shlata Idul Adha di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Sabtu (10/4/2024) (Istimewa/PWMU.CO)

Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati, Idul Fitri yang kita rayakan hari ini adalah momentum perubahan bagi kita. Pertama dan utama adalah kembali ke fitrah kemanusiaan sejati, yaitu kepribadian suci dan kuat. Kepribadian inilah yang terlahir dari shaimin dan shaimat, yaitu mereka yang telah menempuh pelatihan Ramadhan sebulan penuh dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Memang ibadat-ibadat Ramadhan memiliki dua fungsi utama. Yaitu penyucian diri (tazkiyat al-nafs atau self refinement) dan penguatan diri (tarqiyat al-nafs atau self empowerment). Selama sebulan penuh para shaimin dan shaimat menyucikan jiwa dari segala noda dan dosa. Yakni dengan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui puasa, qiyamul lail, dzikir, iktikaf, dan lain sebagainya. 

Selama sebulan penuh pula, para shaimin dan shaimat meningkatkan kapasitas diri, dengan menampilkan jati diri yang sejati sebagai manusia dengan potensi-potensi positif dan konstruktif, untuk kehidupan. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan berbagi terhadap sesama, mengembangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturahmi. 

Dari kedua fungsi ibadah Ramadhan tadi, diharapkan kaum beriman kembali menemukan fitrah kemanusiaannya yang sejati. Fitrah kemanusiaan ini akan menampilkan kepribadian paripurna, yaitu kepribadian yang bernafaskan akhlak mulia. 

Seseorang yang mampu mencapai tingkat kepribadian paripurna ini adalah orang yang berhasil meraih puncak keberagamaan, yaitu akhlak mulia. Akhlak mulia adalah hakikat sekaligus muara keberagamaan. 

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk mengembangkan akhlak mulia” (H.R. al-Bukhari, al-Baihaqi dan Hakim) 

Oleh karena itu, Ramadhan yang kita lalui sebulan yang lalu bukanlah tujuan terakhir. Ramadhan hanyalah jalan dan tonggak pendakian menuju puncak atau tujuan. Puncak dan tujuan itu adalah meraih akhlak mulia. 

Keberagamaan sejati haruslah mampu membuahkan akhlak mulia. Namun, akhlak mulia 

dalam pandangan Islam tidak hanya mengenai nilai-nilai etika kesusilaan seperti berlaku baik, sopan, dan santun terhadap sesama. Tetapi juga menyangkut nilai-nilai etos kesosialan seperti kerja keras, kerja cerdas, kerja sama, daya juang, dan daya saing serta cenderung melakukan amar makruf nahi munkar, dan orientasi kepada kemajuan dan keunggulan. 

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati, Islam adalah agama kemajuan dan keunggulan. Sebagai agama kemajuan (din al-hadharah), Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk mampu menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis, bukan kehidupan yang pasif dan stagnan. 

Rasulullah berpesan, “Barang siapa yang mampu menciptakan hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang sukses; dan jika hanya mampu menciptakan hari ini sama dengan hari kemarin sesungguhnya dia gagal; apalagi jika gagal menciptakan hari ini lebih baik atau sama dari hari kemarin maka dia adalah orang terhina.” (HR. al-Hakim)

Dari hadits tadi sangat jelas bahwa umat Islam harus berorientasi kepada kualitas dan dinamika kehidupan. Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. 

Hal ini sejalan dengan adagium globalisasi bahwa “no longer number counts, but quality counts” atau tidak lagi angka yang berbilang, tapi mutulah yang berhitung dan diperhitungkan. Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas dengan kualitas barulah berharga. 

Dari hadits tadi pula sangat jelas bahwa salah satu syarat untuk dapat menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis adalah dengan memiliki kesadaran akan waktu, bahwa waktu itu penting maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu dan bahkan memuat sumpah 

Allah atas waktu seperti pada ayat: Wal ‘ashri (demi waktu), wal fajri (demi waktu fajar), wal laily (demi waktu malam),wad dhuha (demi waktu dhuha), was syamsi (demi matahari), wan najmi (demi bintang), wal qamari (demi bulan), dan seterusnya. 

Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya adalah pangkal kemajuan. Islam menuntut umat Islam untuk mampu merebut kemajuan dan keunggulan dalam berkebudayaan dan berperadaban. (*)

Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version