Wanita Teladan, Buku Self Reward yang Menginspirasi

Wanita Teladan, Buku Self-reward yang Menginspirasi (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Wanita Teladan, Buku Self-reward yang Menginspirasi, Oleh Hernawati Kusumaningrum, Guru SMP Al-Hikmah Surabaya

PWMU.CO – Saya mendapat hadiah buku ini dari pimpinan saya, kepala Sekretariat YLPI Al-Hikmah Surabaya. Beliau mendapatkannya dari tamu Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) yang berkunjung ke yayasan beberapa waktu lalu.

Buku berjudul Wanita Teladan ini ditulis oleh Nur Cholis Huda, tokoh Muhammadiyah asal Manyar Gresik, tepatnya Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 2022-2027. Yang istimewa adalah ini buku ke-22 yang ditulisnya. Penulis ini mempunyai kebiasaan baik. Menerbitkan buku setiap bulan Ramadan sebagai wujud syukur atas semua karunia Allah SWT.

Saya kenal beberapa penulis yang mempunyai kebiasaan baik terhadap buku dan dirinya. Ada yang menghadiahi buku setiap hari lahirnya. Ada yang menjadikan buku hasil karyanya sebagai suvenir saat putra-putrinya menikah. Ada yang menulis buku menyambut kelahiran bayinya. Bahkan cucunya. Nur Cholis Huda menulis buku setiap Ramadhan. Sungguh sangat inspiratif. Dalam hati saya berjanji ingin mengikuti jejak mereka. Semoga sudah tercatat niat baik ini.

Membaca judulnya sepintas kita akan disajikan jajaran kisah-kisah wanita teladan dalam Islam. Tidak salah sih. Meski tidak juga benar mengingat di dalam buku ini juga menyeruak tema-tema lain selain wanita.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Nur Cholis Huda yang dimuat di portal PWMU.CO dan majalah Matanmilik PWM Jatim. Tema tulisan yang diangkat sangat beragam. Ada yang membincang wanita, kehidupan sosial, motivasi sampai politik. Wanita Teladan adalah salah satu judul tulisan yang ada di dalamnya.

Dibuka dengan romantisme “Kisah Cinta Khadijah dan Muhammad” mengingatkan pembaca agar selalu melabuhkan cinta pada pasangan. Menjadi istri harus mendukung penuh suami. Tentu saja dalam kebaikan. Dicontohkan bagaimana bunda Khadijah memberikan semua yang dimilikinya bagi keberlangsungan dakwah Rasulullah Muhammad saw. Harta benda bahkan jiwa dan raga. Begitu totalitasnya sampai-sampai ketika Khadijah wafat, Rasulullah tidak bisa move on dari cintanya. Inilah yang membuat Ibunda Aisyah cemburu. Sebaliknya, suami juga harus menyayangi istri. Untuk hal ini, cukuplah Rasulullah Muhammad saw sebagai teladan. Beliau adalah yang paling baik akhlaknya.

Romantisme serupa bisa pembaca dapatkan tatkala membaca bagaimana Buya Hamka menemani sang istri menjelang wafatnya dalam judul “Nantikan Aku di Pintu Surga” (hal. 13). Saya cuplikkan sebagian karena bagi saya dialog menjelang kematian ini sangat romantis.

Sang istri bertanya,” Kakanda, apakah di akhirat nanti kita bisa bertemu?”

Buya Hamka menjawab, “Kanda punya sangkaan besar bahwa Adinda akan masuk surga. Jika kita sama-sama masuk surga kita akan bertemu. Kanda berharap akan menjadi kenyataan.”

“Mengapa begitu, Kanda?” tanya sang istri.

“Kita sudah hidup bersama selama 40 tahun. Selama ini Kanda rasakan betul bahwa Adinda seorang istri yang salihah. Karena itu kakanda yakin Adinda akan masuk surga. Tetapi Kakanda yang masih hidup, sepeninggal Adinda semoga terjaga dari perbuatan dosa. Sebab jika Kakanda menyeleweng dan berbuat dosa, Kakanda tidak bisa masuk surga dan kita tidak bisa bertemu lagi.”

Selain romantisme, Nur Cholis Huda juga bercerita tentang wanita-wanita tangguh seperti Asiyah istri Firaun, Maryam gadis suci yang namanya disebut 34 kali dalam al-Qur’an. 

Menginspirasi

Ada juga tulisan-tulisan bermuatan humanis yang menggugah kemanusiaan kita. Salah satu judulnya “Riyaya Gak Goreng Kopi” (hal. 89) Judul ini terinspirasi parikan atau pantun dalam bahasa Jawa.  Saya jadi membayangkan bagaimana Kartolo-seniman Surabaya membawakan parikan ini dengan suara khasnya.

Riyaya gak goreng kopi
ngadep meja gak ana jajane

Hari raya tidak menggoreng kopi. Menghadap meja tidak ada kue-kuenya. Sebuah sindiran atas kemanusiaan kita agar melihat sekeliling. Jangan sampai ketika hari raya tiba, ada tetangga kita yang tidak punya minuman dan makanan yang disajikan untuk menyambut tamu. Alih-alih untuk menyambut tamu, untuk kebutuhan perut mereka sendiri juga tidak ada. Itulah pentingnya kita tunaikan zakat fitrah agar mereka yang berhak menerima juga bisa merasakan kebahagiaan di hari raya.

Ketika kita menjadi orang-orang baik pun ternyata harus berhati-hati juga. Dalam “Orang-Orang Baik Masuk Neraka” (hal. 59) penulis buku ini mengingatkan ada tiga kategori orang-orang baik yang masuk neraka. Mereka adalah orang yang berjihad, orang yang berilmu, dan orang yang selalu bersedekah. Loh kok bisa?

Orang yang berjihad masuk neraka karena jihadnya bukan karena Allah. Mereka hanya ingin disebut sebagai orang pemberani. Orang yang berilmu dan selalu membagikan ilmunya itu masuk neraka karena apa yang dilakukannya bukan karena Allah. Mereka hanya ingin dipuji sebagai orang alim. Orang yang selalu bersedekah masuk neraka karena niatnya bukan karena Allah. Mereka hanya ingin disebut sebagai orang dermawan. Saatnya kita luruskan niat agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah.

Bahasa dalam buku ini sangat ringan, renyah, dan tertata menjadikan buku ini enak dibaca. Tanpa terasa saya bisa menamatkan tulisan demi tulisan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selain sebagai self-reward bagi penulisnya buku ini juga menjadi inspirasi bagi pembacanya. Mengandung banyak nilai di dalamnya.

Data Buku

Resensi buku ini juga bisa dibaca di hernawati.id

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version