Nur Cholis Huda dan Muhammadiyah Titik Nol

Nur Cholis Huda dan Muhammadiyah Titik Nol (Dok keluarga/PWMU.CO)

Nur Cholis Huda dan Muhammadiyah Titik Nol, Oleh Amar Faishal 

PWMU.CO – Titik Nol (0) adalah istilah yang sering digunakan dalam khazanah geografi, yang menunjukkan titik awal, titik berangkat, atau titik permulaan. Titik KM 0 Citarum, berarti tempat awal tempat air Sungai Citarum dari Kabupaten ke Bandung dan berujung di wilayah Bekasi. Ada titik Kilometer 0 Indonesia di Sabang. Juga ada Titik 0 IKN, dan seterusnya.

Nur Cholis Huda, tokoh Muhammadiyah sudah 50 tahun aktif di Muhammadiyah dan pernah 32 tahun sebagai Anggota Pimpinan Muhammadiyah Wilayah (PWM) Jawa Timur. Ia tumbuh seiring pertumbuhan Muhammadiyah di tanah kelahirannya. Ia jadi semacam penanda titik 0 berdirinya.

Ini memang sejarah Muhammadiyah yang sangat lokal. Sejarah Muhammadiyah kelas desa. Tapi bagaimana awal berdirinya, survive, tumbuh, membangun keunggulan dan memberi kemaslahatan bagi warganya, barangkali bisa menjadi hikmah.

Nur Cholis berasal dari desa kecil, Karangrejo, Kecamatan Manyar, Gresik. Bapaknya adalah petani-penjual ikan, pengagum Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi seperti M. Natsir. 

Sampai Nur Cholis masuk sekolah dasar (SR, Sekolah Rakyat) 1959, di desanya belum ada Muhammadiyah. Yang ada simpatisan Partai Masyumi. Ada pengikut tiga partai di desa itu: NU, Masyumi, dan PKI. Ketika Masyumi dibubarkan tahun 1960, sebagian simpatisan Masyumi beralih ke Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah minoritas warga desa.

Pada mulanya ritual ibadah orang Muhammadiyah di desa ini, bisa dikata, tidak berbeda dengan orang NU, sekitar 85 persen warga desa. Kalau ada tahlilan orang Muhammadiyah ikut serta. Begitu juga marhabanan. Orang Muhammadiyah juga qunut setiap shalat Subuh. Dalam soal politik saja yang berbeda.

Pada perkembangan kemudian, pertengahan 1960, seorang ulama hadis dari Majelis Tarjih Muhammadiyah, orang Madura yang tinggal di Surabaya, Abdoel Manan Hamid, memberikan pengajian rutin, termasuk seputar tata cara peribadatan. Dari pengajian inilah kemudian orang Muhammadiyah melakukan “pelurusan” beribadatan yang diyakini. Tahlilan tidak ikut lagi. Begitu juga manaqiban. Tidak lagi qunut setiap Subuh.

Melihat pergeseran cara ibadahnya, orang Muhammadiyah dikeluarkan dari sinoman. Sinoman adalah perkumpulan, semacam forum gotong royong warga untuk pelaksanaan berbagai kegiatan, hari besar, acara keagamaan, kematian, termasuk tahlilan.  “Daripada ikut sinoman tapi tidak Ikhlas dan tidak ridlho, lebih baik keluar saja,” begitu kira-kira yang disampaikan.

Setelah dikeluarkan dari sinoman, Muhammadiyah malah menjadi solid dan militan. Seorang warga mewakafkan tanahnya untuk dibangun madrasah. Tidak besar. Kira-kira 300 meter persegi. Dibangun secara gotong royong: batu-bata dibuat sendiri di tanah tegalan orang Muhammadiyah. Pasir, kayu dan ubin hasil urunan. Orang Muhammadiyah mengerahkan anggota keluarganya ikut gotong royong membangun. Istri dan anak-anaknya. 

Semua itu dilakukan dengan Ikhlas, penuh kesungguhan, tanpa pamrih. Tidak mengharap imbalan. Madrasah inilah yang kemudian jadi semacam markas. Pusat kegiatan Muhammadiyah Desa Karangrejo.  Kalau siang jadi madrasah, yang guru-gurunya rela diberi imbalan ala kadarnya. Kalau malam jadi tempat pengajian, atau rapat. Saat Ramadhan jadi tempat Shalat Tarawih. Madrasah itu sampai kini masih ada dan berfungsi dengan baik. 

Wejangan KH Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah dan jangan cari penghidupan di Muhammadiyah” betul-betul dilaksanakan. Diamalkan. Bukan sekadar petuah.

Yang menarik, pada paruh kedua tahun 60-an, untuk menunjukkan eksistensi, Muhammadiyah desa membentuk group drum band. Alat-alat, pakaian seragam, dan sepatu dibeli dari hasil urunan. Seorang pelatih didatangkan dari Gresik kota. Pelatih inilah yang mengajari bagaimana cara memegang stik drum, memainkan alat musik dan mengatur irama. 

Hari Jumat biasanya latihan drumben keliling desa. Banyak yang menonton dan berdecak. Drum band menjadi ikon kebanggaan, mungkin juga keunggulan. Di desa kecil Muhammadiyah punya grup drumben. Nur Cholis yang masih sekolah Tsanawiyah di Pondok Maskumambang adalah anggota drum band termuda. Ikon kebanggaan ini penting agar tumbuh rasa percaya diri.

Nur Cholis Huda (kanan) dan Hayatuddin, generasi Karangrejo yang masIH hidup. (Dok keluarga/PWMU.CO)

Sebelum itu, ketika terjadi kekisruhan politik tahun 1965 sejumlah warga desa menyingkir untuk menyelamatkan diri. Beberapa warga dari desa lain mendatangi desa Karangrejo, mencari orang-orang yang dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang menyingkir itu ada yang sampai setengah menggelandang di Surabaya. 

Ada seorang yang tidak berani pulang karena ia termasuk yang dicari. Padahal ia sebenarnya bukan anggota, tidak aktif dan bukan simpatisan PKI. Semata-mata ia pernah hadir di acara pertemuan dan ikut menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Tidak lebih.

Atas jaminan dan perlindungan dari seorang tokoh Muhammadiyah, orang tersebut akhirnya berani pulang, hidup dengan aman, bekerja dan dan berkeluarga di Karangrejo sampai akhir hayatnya.

Dalam suasana kisruh politik, emosi massa memang mudah disulut. Kejernihan pikiran hilang dan mudah memakan korban. Dalam situasi seperti itu orang Muhammadiyah desa memberi perlindungan kemanusiaan. Jangan sampai orang yang tidak mengerti apa-apa dan tidak ikut bersalah turut menjadi korban. 

Muhammadiyah memberi perlindungan atas dasar kemanusiaan. Meskipun orang lain itu berada pada “barisan” yang berbeda. Tidak turut mengganyang hanya karena orang itu berbeda pandangan. Justru memberi perlindungan dan rasa aman.

Kelas tiga tsanawiyah, Nur Cholis diminta menyampaikan khutbah Jumat di desanya. Sebagai khatib pengganti. Ini semacam cara untuk menakar pengetahuan agama dan melatih tingkat kematangannya. Nur Cholis berhasil melewatinya. Anak muda yang diberi ruang untuk berkembang. Meskipun cara khotbahnya sempat dikoreksi Pimpinan Pesantren Maskumambang.

Ketika sudah menjadi pegawai negeri dan kuliah di FIAD (Fakultas Ilmu Agama, Jurusan Dakwah—Universitas Muhammadiyah Surabaya) waktu libur ia kadang pulang ke desa beberapa hari. Mengajar pramuka murid-murid madrasah, mengajari cara berdzikir. Ada permainan cerdas cermat  seperti yang ada di TV, masa itu. Meskipun anak-anak itu hanya duduk di gelaran tikar, anak-anak madrasah Muhammadiyah ini mendapat pengalaman yang meningkatkan kepercayaan diri.

Di desanya Nur Cholis adalah generasi pertama anak Muhammadiyah yang menginjak bangku kuliah. uga ada sepupunya, Suprapto (alm) dam familinya, Yazid Abu Hasan (alm). Ketiganya pernah mondok di Pondok Karangasem, Paciran, Lamongan.

Setelahnya disusul Mohammad Nadjikh (alm), yang juga sepupunya. Nadjikh bersama adiknya, Zainul Wasik, merintis usaha ekspor hasil laut, Kelola Mina Laut (KML). Nadjikh berhasil menghilangkan sebutan “desa maling” di kampungnya dengan merekrut orang-orang desa bekerja di perusahaannya. Ia menyantuni orang-orang desa dengan cara terhormat: memberi pekerjaan. Merekrut jadi karyawan (Kenangan Manis Bersama Mohammad Nadjikh).

Setelahnya lagi makin banyak anak-anak Muhammadiyah yang mengenyam bangku kuliah. Ada yang kuliah di luar negeri. Kini ada juga yang menjadi guru besar. Macam-macam

Kisah lengkapnya memang ada dalam buku Nur Cholis Huda: Rumput Hijau di Muhammadiyah, dan Nur Cholis Huda menjadi salah satu penandanya berdirinya Muhammadiyah di desa. 

Yang lebih penting adalah bagaimana spirit bermuhammadiyah dibangun, dirawat dan dikelola sehingga Muhammadiyah bisa terus berkembang, melewati berbagai tantangan, dan memberi maslahah bagi sesama, seperti tujuan buku ini. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Untuk pemesanan buku Nur Cholis Huda Rumput Hijau di Muhammadiyah ini bisa menghubungi Harijaya (0878-5331-7612) atau Kuntari (0857-4893-2540) sebelum tanggal 29 Februari 2024.

Exit mobile version