Kenangan Manis bersama Mohammad Nadjikh

Kenangan Manis bersama Mohammad Nadjikh ditulis oleh Ustadz Nur Cholis Huda Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Kenangan terakhir. Mohammad Nadjikh (berjas hitam kiri) ketika menjadi saksi pernikahan putra Nur Cholis Huda (berjas hitam kanan), pada tanggal 1 Maret 2020. (Istimewa/PWMU.CO)

Kenangan Manis bersama Mohammad Nadjikh ditulis oleh Ustadz Nur Cholis Huda Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

PWMU.CO – Banyak hal-hal kecil yang belum terungkap di media, termasuk dalam buku biografi beliau: Mohamamd Nadjikh sang Teri Menggurita. Berikut beberapa peristiwa kecil yang mengesankan: Kenangan Manis bersama Mohammad Nadjikh.

Desa Maling

Hari itu kami duduk bertiga. Saya, dia dan bu Asnah, ibunya, yang juga bibi saya. Kami mebicarakan sesuatu yang serius. Mengapa jumlah pencuri di desa kami, Karangrejo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik makin banyak? Biasanya mereka mencuri ikan di tambak. Mencuri seperti menjadi mata pencarian baru.

Mereka datang ke tambak kadang tidak lagi membawa keranjang tetapi membawa mobil pickup. Maka ikan yang dicuri jauh lebih banyak. Jika tidak ada ikan, apapun yang dilihat diambil. Seperti pompa air dan barang lain. Apakah ini masih disebut mencuri atau merampok? Pemilik tambak kadang tahu terjadi pencurian tetapi diam tidak berdaya.

“Wong lesu iku nekat Nak” kata Bu Asnah. Artinya orang lapar itu nekat. Kami sepakat mereka mencuri karena kepepet. Sangat terpaksa. Bukan orang jahat. Punya anak istri tetapi tidak ada penghasilan. Sampai ada yang menyebut desa kami Desa Maling. Mungkin berguarau mungkin sungguhan. Karena setiap kali pencuri tertangkap hampir selalu orang desa kami. Desa Maling.

Hilangkan Stigma Desa Maling

Waktu itu Nadjikh masih merintis usaha di Tuban. Masih sangat kecil. Mula-mula yang membantu kerja adalah adik-adiknya. Lalu sanak famili. Kemudian orang-orang desanya yang banyak menganggur itu.

Sesuai perkembangan perusahaan, makin banyak yang direkrut. Sampai ke tetangga desa. Akhirnya tidak ada pengangguran. Dampaknya sangat nyata. Tidak ada lagi maling. Semua sudah bekerja. Sudah punya penghasilan.

Nadjikh tidak pernah pidato tentang dosa mencuri. Ancaman neraka atau rezeki halal haram. Orang lapar memang tidak butuh pidato. Butuh isi perut. Dia tidak pidato tetapi memberi pekerjaan. Pekerjaan bisa membuat perut kenyang dengan cara terhormat.

Banyak pekerja naik angkutan umum. Itu membuat mereka kadang datang terlambat. Juga ada pengeluaran tambahan. Waktu itu kredit sepeda motor belum membudaya. Nadjikh lalu membuat jalan keluar. Membeli tiga bus. Dua bus tiap pagi diparkir di Karangrejo. Satu bus di desa tetangga. Karyawan dapat antar jemput gratis. Tidak lagi mengeluarkan biaya transport. Tidak lagi terlambat.

Itulah yang paling menggembirakan Bu Asnah, ibunya. Nadjikh bisa membantu membuat lapangan kerja untuk warga desanya. Tidak ada lagi sebutan Desa Maling.

Bimbang Menikah

Beberapa bulan sebelum menikah, hampir tiap pekan dia datang ke rumah. Menanyakan pernik-pernik pernikahah. Saya tahu bukan soal pernik-pernik itu sebenarnya yang menjadi kegelisahannya. Saya tahu karena saya juga pernah mengalaminya.

Saya anak tertua dari 10 bersaudara. Nadjikh anak tertua dari delapan bersaudara. Kami memang keluarga besar. Nadjikh sangat perhatian kepada adik-adiknya. Ayahnya sudah meninggal. Maka dia mengambil alih tugas orangtua.

Setelah lulus dari IPB, sebentar dia mengajar di almaternya. Beberapa bulan keluar. “Kurang tantangan,” katanya. Dia lalu melamar, diterima kerja di dua tempat. Pertamina di Jakarta dan pabrik coklat di jalan Tidar Surabaya.

Gaji di Pertamina lebih besar tetapi dia pilih di pabrik coklat supaya dekat dengan adik-adiknya di Gresik. “Kalau saya pilih di Jakarta, siapa yang membantu emak dan mengawasi adik-adik. Bapak sudah tidak ada. Saya tidak tega emak menanggung beban berat sendiri,” katanya suatu hari .

Di pabrik coklat dia diangkat menjadi menejer produksi. Masih bujang. Usia 23 tahun. Meskipun masih melamar dia sudah menetapkan syarat. Dia minta harus disediakan perumahan, kendaraan. dan telephon.

Saat itu memasang telepon rumah tidak mudah. Belum ada HP. Ternyata dia diterima dan permintaanya dipenuhi. Sebagai kompensasi dia berjanji akan meningkatkan produksi. Jika gagal perusahaan boleh memecatnya. Tahun pertama produksi yang semula melorot menjadi stabil. Tahun kedua meningkat tiga kali.

Nadjikh akhirnya saat itu tinggal di rumah relatif besar. Rumah perusahaan. Beberapa adiknya diajak tinggal bersamanya. Agar bisa sekolah dan kuliah di Surabaya.

Tentang kebimbangan menikah? Karena dia memikirkan adik-adiknya. Seperti saya dulu. Jika menikah sekarang, bagaimana dengan adik-adik saya? Masihkah saya mampu membantu mereka?

Tetapi kalau menunggu mereka besar semua, berapa belas tahun lagi baru akan menikah? Sudah menjadi lansia. Saya sampaikan itu kepada Nadjikh. Dia tertawa karena merasa saya bisa menebak kegelisahan hatinya. “Yan nanti akan ada rezekinya sendiri.” katanya.

Akhirnya dia menikah. Acaranya amat sederhana. Saya yang melamarkan kepada calon mertuanya. Saya yang khutbah nikah. Dia mempersunting Titik Widajati, dokter hewan, gadis berkulit kuning dari Jalan Jolotunda Surabaya.

Kini mereka dikaruniai anak: tiga putra dan satu putri. Kepada orang lain Nadjikh sering mengatakan saya konsultan pernikahannya.

Memberi Tunjangan

Sudah banyak diceritakan ketika Nadjikh kuliah di IPB, ekonomi keluarga sedang terpuruk. Tidak ada biaya sama sekali. Di Bogor dia kuliah sambal bekerja. Ketika dia pulang ke Gresik tidak ada ongkos kembali ke Bogor. Maka untuk kelanjutan studinya, emaknya yang jualan bubur itu harus menjual sebagian rumahnya. Dulu ada bagian rumah disebut pawon, rumah bagian belakang tempat masak dan kegiatan dapur lainnya.

Maka pawon itu dibeli tetangganya. Dengan cara itu Nadjikh bisa kembali ke Bogor dan melanjutkan kuliah. Nampaknya peristiwa ini sangat membekas di hati Nadjikh. Emaknya sampai menjual bagian rumah adalah pengorbanan luar biasa.

Ketika Nadjikh sudah mapan, dia tidak melupakan peristiwa itu. Sebagai ungkapan terima kasih, Nadjikh memberi tunjangan bulanan kepada tetangga yang membeli rumahnya dulu. Saya tidak tahu berapa besar tunjangan itu. Tetapi diberikan seumur hidup sampai sang pembeli itu meninggal.

Amien Rais for President

Di desa kami Karangrejo, Muhammadiyah itu minoritas. Sama dengan di tempat lain. Hanya sekitar lima persen. Artinya, selebihnya bukan Muhammadiyah. Mereka ada yang tidak suka. Ada yang sangat tidak suka pada Muhammadiyah.

Sutu hari datang tamu dari desa. Dia termasuk sangat tidak suka. Waktu itu masa kampanye pilpres. Salah satu calonnya Pak Amien Rais. Di rumah juga ada gambar Pak Amien. Tamu itu tiba-tiba bilang: “Saya nanti pilih Pak Amien”. Sambil menunjuk gambar Pak Amien. Saya kaget. Tapi pura-pura tenang. Jangan-jangan dia sedang ada maunya.

Ketika Pilpres, ternyata pemilih Pak Amien di desa saya mayoritas dibanding calon lain. Tentu saya kaget dan heran. Mestinya paling tinggi lima persen. Itu kalau seluruh orang Muhammadiya memilih Pak Amien. Bagaimana ini bisa terjadi?

Jawabannya sederhana. Karena warga desa Karangrejo banyak yang menjadi karyawan Kelola Mina Laut, perusahaan Moh Nadjikh. Sedang bosnya ini memilih Amien Rais. Entah bagaimana cara Nadjikh kampanye. Ada yang bilang Nadjikh tidak menyuruh. Hanya mengatakan calon presiden yang baik itu Pak Amien Rais. Lalu dikuti karyawannya.

Banyak kenangan indah bersama Nadjih. Bukan soal bisnis karena saya buta huruf bisnis. Tapi soal-soal kemanusiaan. Kecil-kecil tapi berharga. Kini peristiwa kecil-kecil itu menjadi kenangan manis.

Semoga Allah menerima semua kebaikannya dan mengampuni semua kesalahannya. Dan semoga tulisan Kenangan Manis bersama Mohammad Nadjikh ini menginspirasi. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version