Kupas Psikologi Remaja, Dosen UMG Bagikan Cara Menjadi Teman bagi Remaja

Dosen UMG Ima Fitri Sholichah SPsi MA menjadi pembicara di Pelatihan Motivator Pashmina dan Kader Kesehatan. (Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO)

PWMU.CO – Kupas Psikologi Remaja, Dosen UMG bagikan cara menjadi teman bagi remaja, Sabtu (11/5/2024) siang.

Ialah Ima Fitri Sholichah SPsi MA, Dosen Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) yang hadir sebagai pembicara di Pelatihan Motivator Pashmina dan Kader Kesehatan. Ia menjadi pemateri kedua pada pelatihan hari pertama yang diadakan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur itu.

Di hadapan 100 peserta yang hadir sebagai motivator Pashmina, Fitri menegaskan, tahap remaja berusia 11-21 tahun itu termasuk krusial. “Masa remaja menantang. Ingin tahunya besar tapi ada tembok yang besar,” ujarnya di aula Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jawa Timur, Jalan Kawi Nomor 41 Kota Malang. 

Suasana pelatihan berubah interaktif kala Fitri mengarahkan peserta mengisi Mentimeter tentang apa yang mereka pikirkan tentang remaja. Beragam jawaban muncul di layar.

Jawaban terbanyak dan Fitri benarkan ialah labil, pencarian jati diri, perubahan fisik, butuh pengakuan karena ingin melihat otoritasnya diakui, dan masa transisi.

“Dibilang anak-anak tidak, dewasa juga belum stabil dari sisi ekonomi, emosi, dan  problem solving (pemecahan masalah). Belum bisa dibilang mandiri secara utuh,” ungkap Tim Psikologi KONI Jatim itu.

Berdasarkan pengalamannya menangani kasus, karakteristik perubahan fisiklah yang bikin remaja paling bingung. “Yang remaja laki-laki, kok suara saya sudah besar duluan, akhirnya dibully teman. Remaja tidak siap tapi mau tidak mau mereka alami di masa peralihan,” ujarnya.

Kata Fitri, orang dewasa bisa memahami perubahan itu menandakan mereka sudah remaja. Tapi remaja tidak memikirkan itu. “Yang dilihat, lingkungannya memperhatikan dia dan itu tidak biasa. Itu bikin stres,” jelas lulusan Universitas Gadjah  Mada (UGM) itu.

Ia juga menyampaikan, ciri khas remaja yang belum muncul di Mentimeter: perubahan minat. “Ini memunculkan kesalahpahaman orangtua terhadap minat anak. Dulu Matematikanya bagus pas SD kok sekarang jelek padahal sudah saya leskan,” contoh Fitri.

Padahal, kata alumnus Universitas Negeri Surabaya itu, di masa ini memang minatnya berubah. Lebih suka jurnalis misalnya. Karena itulah nilainya di mata pelajaran tertentu menurun.

Digital Native

Fitri lalu mengungkap, perbedaan kondisi di era kini memunculkan gap perbedaan usia orangtua dengan anak. “Di era sekarang, anak bangun tidur main HP. Lalu mengajak orangtua main Tiktok,” ujarnya.

Jika respon orangtua melarang, misal dengan alasan tidak boleh joget, ini bisa bikin anak tidak mau komunikasi lagi. Padahal, remaja kini memang tergolong digital native.

“Lebih cari informasi ke HP sehingga orangtua perlu waspada, jangan-jangan ideologinya berubah, tidak sesuai ideologi kita,” terangnya.

Kemudian, Fitri mengungkap karakter mood swing. “Kita jangan motret mood swingnya tapi cari tahu kenapanya. Karena remaja belum bisa berpikir, kalau putus cinta misalnya, bisa cari yang lain. Akhirnya melukai dirinya,” tuturnya.

Fitri juga menjelaskan, remaja yang akan mereka hadapi itu termasuk generasi z dan alpha. Kelahiran tahun 2000 ke atas.

“Dikenal sebagai digital native. Mulai dari kandungan sampai besar, sudah dekat dengan teknologi. Anak dalam kandungan di USG lalu kita publikasikan di media sosial,” contohnya.

Alhasil, kata Fitri, mau tidak mau, remaja dekat dengan teknologi. Karena itulah, menurutnya, mereka juga harus belajar digital agar bisa mengimbangi remaja.

Hypercognitive

Ciri selanjutnya, hypercognitive (kognitifnya sangat tinggi). Ia meyakini, remaja bisa lebih mandiri kalau orang di sekitarnya bisa memahami karakter hypercognitive ini. Sebab, remaja sebenarnya punya kelebihan cepat mencari data dari beberapa sumber.

Fitri lebih lanjut menjelaskan, saat anak pakai laptop, jarinya terampil membuka beberapa tab. “Generasi hypercognitive ini bisa multitasking kognitifnya. Kalau kita tahu, kita bisa memanfaatkan agar remaja mempelajari teknologi lebih dalam. Anak remaja sekarang lebih kreatif pakai digital,” jelasnya.

Dampaknya, remaja menghadapi banjir informasi. Jadi mereka cepat mendapatkan informasi. “Mereka bisa membedakan benar dan hoax dengan digital. Kalau kita, masih mencari validasi,” ujarnya.

Ia juga menegaskan, karakter remaja sekarang suka berkomunikasi dengan visual dan teks singkat. “Kalau kita chat, dibalas stiker. Kalau kita tidak paham, kita mengira itu tidak sopan. Padahal remaja itu tinggal kita arahkan. Boleh pakai emoticon, tapi juga pakai teks sedikit agar orang paham yang kamu maksud,” kata Fitri.

Selanjutnya, remaja mudah mengintegrasikan pengalaman luring dan daring. “Penyesuaian dirinya lebih cepat,” ujar Fitri.

Di sisi lain, remaja pandai memfilter pusat perhatiannya. Maka ia yakini, remaja bisa lebih kreatif, empati, peduli di lingkungan sekitarnya yang bisa memahami karakter hypercognitive.

Kalau lingkungannya tidak bisa memahami, muncullah perasaan lonely (kesepian). “Merasa tidak diperhatikan atau dipahami temannya,” ujarnya.

Isi Otak Remaja

Isi otak remaja pun Fitri tunjukkan. “Yang besar itu love (cinta). Remaja perlu banyak kasih sayang. Kalau tidak, memicu permasalahan. Lebih stres. Misal, muncul pemikiran orangtuaku lebih sayang adikku,” ujarnya.

Ketika orangtua mampu memenuhi cinta yang remaja butuhkan, Fitri menegaskan remaja itu akan aman dalam hal lainnya.

Katanya, yang paling dekat dari love adalah self image. Konsep diri remaja dipengaruhi hormon, ideologi, dan gap usia anak dengan ortunya. Ia mengungkap, remaja tidak nyaman kalau dibilang tambah cantik tapi juga dikomentari soal kemunculan jerawatnya. Lalu ditanya terkait apa makanan dan hal yang mereka pikirkan sehingga timbul jerawat.

Yang remaja pikirkan ketika mendengar itu bisa memengaruhi konsep dirinya. “Kalau konsep diri tidak bagus, remaja bisa mengalami bulimia atau anorexia,” jelasnya.

Kemudian, Fitri menyatakan, ego di otak remaja juga besar komposisinya. “Kalau punyaku ya punyaku, kamu izin dulu,” contohnya.

Karakter selanjutnya yang juga erat dengan remaja ialah pemberontakan. Muncul saat apa? Yakni ketika dia sedang mencari jati diri dan orangtua tidak mengakui apa yang diinginkannya. “Keinginanku harus diakomodasi ortuku. Padahal ortu punya beda persepsi. Maka harus ada diskusi. Perlu ada kasih sayang,” tegasnya.

Menurutnya, remaja juga perlu diajak komunikasi, misal terkait apa yang harus dilakukan ketika bangun pagi. Fitri yakin, komunikasi bisa meminimalkan isu masalah remaja.

Isu remaja sekarang, lanjutnya, suka begadang. “Scroll HP dulu kalau mau tidur.  Padahal itu merusak kognitifnya karena paparan radiasi. Ini habit generasi yang berbeda dengan zaman sebelumnya,” jelasnya.

Adapun untuk mengatasi konsep dirinya, Fitri menyarankan untuk mengajarkan, “Boleh temanmu katakan kamu gendut. Yang terpenting, apa yang bisa dilakukan untuk berubah menjadi lebih baik.”

Sebab, lanjutnya, kita tidak bisa memodifikasi lingkungan. Yang bisa kita ubah adalah diri kita.

Fitri juga mengajak peserta peka melihat ketika ada remaja yang sudah tinggi sekali tapi jalannya membungkuk. “Anak tidak siap ketika tubuhya tinggi, jalannya jadi bungkuk. Apakah kena self image kok dia tinggi banget tapi tidak siap?” tuturnya.

Tak hanya cemas tentang perubahan dirinya, remaja juga mengalami cemas tentang masa depannya. “SD ditanya mau jadi dokter. Pas remaja bingung mau jadi apa,” ungkapnya.

Selain itu, kerap muncul masalah withdraw from family (menjauh dari keluarga) dan perundungan.

Teman Remaja

Bagaimana jadi teman remaja? Fitri mengungkap harus punya pondasi sebagai teman. Tentunya, sebelum itu harus mengenal karakternya.

Ia lantas menguraikan tata cara menjadi teman bagi remaja. Pertama, approach. “Dekati dan tanyakan dia. Hari ini lagi ngapain? Kenapa? Boleh kok cerita, ini jadi rahasia kita,” ujarnya.

Kedua, listening not judging. “Kita dengarkan tanpa penghakiman. Jadi teman terbaik. Singkirkan HP agar remaja nyaman,” tuturnya.

“Jangan dijudge. Validasi saja, oh rasanya sakit ya. Kalau aku jadi kamu juga merasakan begitu,” contohnya.

Ketiga, berikan support. “Aku dulu juga pernah salah dalam hal ini. Lebih baik seperti ini….” katanya. 

Keempat, larikan ke profesional. Sebelumnya, ia menyarankan bertanya dulu untuk mengetahui pemahaman dan penerimaannya tentang layanan kesehatan mental.

“Persepsimu gimana ke psikolog? Psikolog bukan hanya untuk orang gila. Sekarang sudah ada aplikasi Halodoc,” contoh Fitri.

Terakhir, berikan tips untuk lebih produktif. “Kalau ketemu dia dan mangkel, lakukan teknik pernapasan ini,” imbuhnya. (*)

Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version