UAH dan Tafsir Surat para Pemusik

UAH
Heri Rifhan Halili

UAH dan Tafsir Surat Para Pemusik oleh Dr Heri Rifhan Halili MPdI, anggota Asosiasi Doktor Muhammadiyah Indonesia (ADMI) dan dosen Ilmu Dakwah Institut Ahmad Dahlan Probolinggo.

PWMU.CO – Tafsir surat asy-Syuara oleh Ustadz Adi Hidayat (UAH) rupanya mendapat tanggapan dari orang Salafi dengan tensi tinggi di media sosial sampai mengafirkan UAH.

Perbedaan pendapat tentang hukum musik dalam Islam semestinya bisa menahan diri dari hujatan, mendahulukan ukhuwah di tengah perbedaan khilafiyah kaum muslimin, tidak bercerai berai dengan terus berdebat, dengan menghujat, menyindir, dan menumbuhkan konflik.

Tafsir surat asy-Syuara yang menurut Ustadz Adi Hidayat bisa juga diartikan sebagai para pemusik, awalnya UAH sedang menggunakan apa yang disebut dengan definisi paradigmatis yang kemudian dikaitkan dengan arti surat asy-Syuara.

Penggunaan definisi paradigmatis ini sesuatu yg justru sangat menarik sebagai sebuah penekanan dalam suatu retorika dakwah.

Jika kita mau mempelajari lebih jauh, jenis-jenis definisi sendiri banyak macamnya. Ada definisi nominal, definisi formal, definisi operasional, definisi riil, definisi paradigmatis, definisi luas, dan lainnya.

Definisi paradigmatis maknanya adalah disusun berdasarkan pendapat nilai-nilai tertentu, yang berfungsi untuk mengembangkan pola berpikir, memengaruhi sikap pembaca atau pendengar, mendukung argumentasi atau pembuktian dan memberikan efek persuasif atau bisa kita artikan mengajak dengan halus (Widjono, 2007; Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Grasindo. hal. 117-121. Cet. 2)

Tahapannya, di awal bisa melihat terlebih dahulu nilai-nilai yang sama-sama bisa dipahami oleh audiens atau bahkan dijelaskan terlebih dahulu tentang maksud kata yang ingin didefinisikan, baru dilakukan pendefinisian sesuai paradigma yang telah disampaikan.

Makna Musik

Dalam hal ini, Ustadz Adi Hidayat terlebih dahulu menjelaskan makna musik. Musik secara umum bisa diartikan sebagai sebuah suara yang berirama, bernada, tidak harus dari alat musik. Maka ada istilah musik alam, misalnya, dari suara gemericik air, pepohonan, atau dedaunan yang tertiup angin.

Juga ada istilah musik patrol yang bahkan hanya menabuh galon kosong, panci, botol yang sebenarnya bukan alat musik.

Ada pula istilah musik akapela atau beatbox yang mengeluarkan suara melalui mulut manusia yang semua itu juga disebut dengan istilah musik meski keluar langsung dari mulut manusia bukan dari alat musik.

Setelah UAH menjelaskan bahwa musik tak hanya suara yang ditimbulkan dari alat musik, tapi setiap suara yang berirama, bernada, berlagu, barulah dengan definisi itu UAH menyampaikan makna tentang musik yang sangat luas.

Syair bisa disebut juga dengan musik, karena syair dibacakan akan keluar suara dengan rima, irama, dan nada tertentu yang bisa dinikmati.

Dengan demikian, jika disebutkan surat asy-Syuara artinya para penyair, maka bisa pula diartikan sebagai para pemusik. Karena musik dipahami sebagai setiap suara yang berirama, bernada.

Inilah runutan defenisi paradigmatis tentang surat asy-Syuara yang dikemukakan UAH dalam pembahasan hukum musik yang terjadi perbedaan pendapat ulama di dalamnya. UAH mengajak untuk bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama itu dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah.

Lalu ada orang Salafi yang memotong video panjang itu hanya menampilkan UAH menyebut surat asy-Syuara bisa diartikan sebagai para pemusik, dan melepaskannya dari konteks definisi paradigmatifnya.

Dalam potongan video pendek itu lalu dia menanggapi dengan menggunakan definisi formal tentang makna asy-Syuara dan musik dengan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau kitab tafsir. Tentu saja tidak akan ada titik temunya, alias tidak nyambung.

Perbandingan

Agar lebih jelas, saya bawakan contoh lainnya. Zakir Naik ahli debat perbandingan agama pernah berkata di depan audiens yang berbeda agamanya: Jika yang dimaksud sebagai penganut agama X itu adalah mengikuti ajaran nabi sebelum Nabi Muhammad saw, dan dalam hal ini nabi tersebut menurut Zakir Naik dalam beberapa ayat yang dikajinya justru menyuruh berkhitan, melarang minum khamr, melarang makan babi, sementara sekarang menurut Zakir Naik kebanyakan yang menganut agama X tadi justru tidak berkhitan, makan daging babi, dan minum khamr, maka kata Zakir Naik berarti saya (Zakir Naik) lebih beragama X dari penganut agama X itu sendiri.

Zakir Naik sedang menggunakan definisi paradigmatis tentang makna agama X tadi. Kemudian misalkan ada orang yang mendengar ceramahnya memotong videonya hanya pada bagian ketika Zakir Naik mengatakan saya lebih beragama X dibanding penganut agama X itu sendiri, kemudian dicari oleh yang memotong videonya tersebut makna agama X dalam definisi yang formal, yang ternyata makna agama X itu adalah yang mengimani tuhan selain Allah SWT, maka si pemotong video akan langsung mengatakan berarti Zakir Naik telah murtad keluar dari Islam, karena Zakir Naik telah mengatakan dirinya sebagai orang yang beragama X atau bahkan lebih beragama X dibanding dengan penganut agama X itu sendiri.

Padahal sebenarnya, Zakir Naik sedang menggunakan definisi paradigmatis dalam retorika dakwahnya yang mengarahkan pada penekanan tertentu. Sementara si pemotong video menggunalan definisi formal, sehingga ya tidak nyambung.

Begitu pula dalam perkara surat asy-Syuara, UAH tidak sedang berfatwa tentang hukum musik, karena hukum musik telah difatwakan para ulama sebelumnya yang terjadi perbedaan ijtihad sejak lama.

UAH hanya menyampaikan perbedaan ijtihad ulama tentang hukum musik itu untuk mengajak menyikapi dengan bijak perbedaan khilafiyah ini, maka dalam penyampaiannya UAH bisa lebih luas memilih berbagai jenis definisi.

Ini bagian dari retorika dakwah yang mengembangkan pola pikir, mengajak dengan persuasif atau kelembutan untuk saling menghargai perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyah di tengah umat Islam.

Alangkah indahnya jika saat kita mendengar perkataan sesama muslim termasuk dari video misalkan, kita merasa ada yang tidak sesuai, maka kita pahami dulu secara utuh, berikan udzur dan husnuzhon kepada saudara kita sesama muslim.

Barangkali kita yang tidak memahami dengan tepat apa yang dimaksud, lalu bisa mengklarifikasinya, menahan diri untuk tidak berkomentar yang justru menimbulkan polemik.

Atau mungkin memang kita menganggap orang lain tersebut bukan lagi saudara muslim kita? Karena kita telah mengafirkan dia hanya karena perbedaan masalah khilafiyah ijtihadiyah dalam masalah hukum musik ini?

Naudzubillah.

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version