Musik dan Nyanyian di Zaman Rasulullah, Ini Pandangan Tarjih Muhammadiyah

Aji Dmanuri: Musik dan Nyanyian di Zaman Rasulullah, Ini Pandangan Tarjih Muhammadiyah

Musik dan Nyanyian di Zaman Rasulullah, Ini Pandangan Tarjih Muhammadiyah; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.  

PWMU.CO – Lagi-lagi masalah khilafiah bikin gadung umat Islam. Bahkan ada yang sampai men-tahdzir sesat dan kafir bagi yang berseberangan. Tentu ini sangat ironis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akses pendidikan dan ilmu sedemikian mudah tidak serta-merta membuat orang menjadi bijaksana dalam berpandangan.

Perbedaan atau ikhtilaf tentang hukum musik sebenarnya telah lama terjadi, bahkan sejak masa Rasulullah SAW. Bangsa Arab jahiliah memiliki tradisi bahkan peradaban seni yang sudah cukup tinggi, khususnya syair. Selain syair, bangsa Arab jahiliah dikenal dengan keterampilannya memahat pedang beserta dengan gagangnya, seni kaligrafi, dan tarian. 

Namun di antara kesenian tersebut yang paling dominan adalah syair karena sering digunakan untuk menyerang al-Quran. Bahkan al-Quran menantang mereka membuat satu ayat yang semisal al-Qur’an.

Rasulullah termasuk yang menyukai syair atau musik yang baik. Bahkan ketika tersandung dan kakinya berdarah beliau malah bersenandung. Sahabat-sahabat penyair seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawayah, dan Ka’ab bin Malik yang sangat dekat dengan Rasulullah.

Banyak hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dalam sahihnya di Kitab Adab Bab Syiir. Di antaranya:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ سَمِعْتُ جُنْدَبًا يَقُولُ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي إِذْ أَصَابَهُ حَجَرٌ فَعَثَرَ فَدَمِيَتْ إِصْبَعُهُ فَقَالَ هَلْ أَنْتِ إِلَّا إِصْبَعٌ دَمِيتِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا لَقِيتِ


Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al Aswad bin Qais saya mendengar Jundub berkata; “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamberjalan, tiba-tiba beliau tersandung batu kemudian beliau terjatuh hingga menyebabkan jari (kakinya) berdarah. Lalu beliau bersabda: “Bukankah engkau hanya sebatang jari yang berdarah? Dan ini terjadi ketika engkau ikut ber-jihad fi sabilillah.” (HR Bukhari)

Ketika Rasulullah dan para sahabat berangkat perang pada malam hari, para sahabat mengatakan bahwa di antara mereka ada penyair atau penyanyi, yaitu Amir bin Akwa. Maka Rasulullah memintanya untuk menyanyi. 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَيْبَرَ فَسِرْنَا لَيْلًا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ لِعَامِرِ بْنِ الْأَكْوَعِ أَلَا تُسْمِعُنَا مِنْ هُنَيْهَاتِكَ قَالَ وَكَانَ عَامِرٌ رَجُلًا شَاعِرًا فَنَزَلَ يَحْدُو بِالْقَوْمِ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَاغْفِرْ فِدَاءٌ لَكَ مَا اقْتَفَيْنَا وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا وَأَلْقِيَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا إِنَّا إِذَا صِيحَ بِنَا أَتَيْنَا وَبِالصِّيَاحِ عَوَّلُوا عَلَيْنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هَذَا السَّائِقُ قَالُوا عَامِرُ بْنُ الْأَكْوَعِ فَقَالَ يَرْحَمُهُ اللَّهُ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ وَجَبَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ لَوْلَا أَمْتَعْتَنَا بِهِ 

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma’il dari Yazid bin Abu ‘Ubaid dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; “Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Khaibar, maka kami mengadakan perjalanan di malam hari, seorang anggota pasukan dari suatu kaum berkata kepada ‘Amir bin Al Akwa’: 

“Tidakkah kamu mau memperdengarkan kepada kami sajak-sajakmu? Salamah berkata; ‘Amir memang seorang penyair, kemudian dia turun sambil menghalau unta dan berkata; “Ya Allah, kalau bukan karena (hidayah-Mu) maka tidaklah kami akan mendapat petunjuk, kami tidak akan bersedekah, dan tidak akan mendirikan shalat. Oleh karena itu, ampunilah kami, sebagai tebusan Engkau atas kesalahan kami. Dan teguhkanlah pendirian kami jika bertemu dengan musuh. Tanamkanlah ketenangan di hati kami, apabila di teriaki kami kan datang. Dan dengan teriakan, mereka kan menangis kepada kami.” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapakah orang yang menghalau unta sambil bersyair itu?” 

Mereka menjawab: “Amir bin Al Akwa’.” 

Beliau bersabda: “Semoga Allah merahmatinya.” 

Lalu seorang anggota pasukan bertanya; “Betulkah begitu ya Rasulullah? Alangkah baiknya sekiranya Anda menyuruhnya supaya menghibur kami terus.” (HR Bukhari)

Nyanyian dan musik juga berfungsi sebagai sarana publikasi pernikahan. Nabi SAW pernah menghadiri pesta pernikahan yang diiringi alat musik dan nyanyian, yaitu pada pesta pernikahan al-Rubai’ binti Mu’awwiz dengan Iyas bin al-Bukair al-Laysii. Al-Rubai’ berkata: 

“Rasulullah SAW pernah menghadiri pesta perkawinanku pagi hari. Beliau duduk di atas dipanku layaknya dudukmu ini. Beberapa orang budak perempuan mulai memukul rebana sembari menyanyi dan memuji para Syuhada di perang Badar. Tiba-tiba salah satu dari mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi di hari kemudian.” Lalu Nabi SAW bersabda, ‘Tinggalkanlah omongan itu, dan teruskanlah apa yang kamu nyanyikan’.” (HR Bukhari)

Aisyah juga meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Umumkanlah pernikahan ini, dan laksanakan di masjid-masjid, serta pukullah rebana untuknya.”(HRTirmidzi).

Rasulullah SAW menganjurkan untuk mempublikasi adanya pernikahan dengan memainkan alat musik dan melantunkan syair dan nyanyian. Hal ini penting karena orang jahiliah banyak yang menikah secara diam-diam, sehingga banyak yang mengaku belum menikah padahal sudah, hal ini menimbulkan problem sosial. Maka Rasulullah mensyariatkan untuk melakukan walimah (pesta) dan mengumumkan lewat musik. 

Bahkan menabuh rebana menjadi perintah:

عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوْا هذا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالْغرباَل

“Dari Aisyah Ra. dari Nabi SAW, Beliau bersabda ‘Umumkanlah pernikahan ini dan tabuhlah rebana’.” (Sunan Ibnu Majah)

Musik juga sebagai ekspresi kegembiraan saat hari raya. Hal itu berdasarkan riwayat Aisyah: 

“Abu Bakar pernah datang ke rumahnya, saat itu dia bersama dua orang budak perempuan Anshar, keduaya bernyanyi dengan apa yang diucapkan oleh kaum Anshar saat Hari Bu’as. Aisyah menambahkan bahwa keduanya bukanlah Muganniyat (penyanyi yang membangkitkan nafsu birahi untuk bermaksiat). 

Lalu Abu Bakar berkata, ‘Mengapa seruling syetan ada di rumah Rasulullah SAW?’ Sedangkan pada saat itu adalah hari raya. Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Biarkan mereka wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.’” (HR Bukhari dan Muslim)

Aisyah meyakinkan bahwa yang sedang bernyanyi bukan “Mughoniyyat” (profesi yang biasa menyanyi erotis yang haram) atau penyanyi yang berkonotasi negatif.

Rasulullah juga memuji syair sebagaimana dalam hadits:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْأَسْوَدِ بْنِ عَبْدِ يَغُوثَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Bakr bin Abdurrahman bahwa Marwan bin Hakam telah mengabarkan kepadanya bahwa Abdurrahman bin Al Aswad bin Abdu Yaghuts telah mengabarkan kepadanya, bahwa Ubay bin Ka’b telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dalam sya’ir itu terkandung hikmah.” (HR Bukhari)

Hadits Larangan Musik

Namun demikian ada beberapa hadits yang isinya melarang musik, di antaranya: ”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR Bukhari)

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan. (HR Baihaqi)

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Musa telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah dari Salim dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Perut salah seorang dari kalian penuh dengan nanah itu lebih baik daripada penuh dengan bait-bait sya’ir.” (HR Bukhari)

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; saya mendengar Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perut seseorang penuh dengan nanah yang berbau busuk itu lebih daripada penuh dengan bait-bait sya’ir.” (HR Bukhari)

Adapun peralatan musik pada masa Rasulullah SAW setidaknya ada tiga jenis yaitu rebana, gendang, dan seruling. Sebagaimana dalam keterangan dalam hadits:

عَنْ أَبِي مُوسَى ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَهُ يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ

“Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, Beliau bersabda kepada Abu Musa, ‘Wahai Abu Musa, sesungguhnya aku telah diberi seruling dari seruling-seruling-nya keluarga Dawud’.” (Muhammad bin Ismail al-BukhariShahih Bukhari, juz 6 hal 241)

عَنْ مُجَاهِد قَالَ كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ طبل فَأَدْخَلَ أُصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى فَعَلَ ذلك ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ هكذا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dari Mujahid, ia berkata, ‘Aku pernah bersama Ibnu Umar, kemudian tiba-tiba ia mendengar suara dentuman gendang, maka beliau pun memasukkan kedua jarinya ke dalam telinganya dan menjauh. Beliau melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali, kemudian berkata, ‘Demikianlah yang Rasulullah SAW lakukan’.” (Ibnu Majah)

Peralatan musik yang ada adalah produk budaya yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan teknologi. Kiai Dahlan pandai memainkan biola karena biola sudah ada. Pondok pesantren memiliki alat musik modern karena memang sudah diproduksi oleh peradaban. 

Qurais Shihab, mufasir asli Indonesia pengarang kitab Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa alat musik tidak memiliki hukum, perilaku oranglah yang menyebabkan sebuah konsekuensi hukum. Kalau boleh berandai-andai, sekiranya zaman Rasulullah sudah ada piano akankah para sahabat bermain musik dengan piano?

Pandangan Tarjih Muhammadiyah

Lalu bagaimana pandangan Majelis Tarjih dan Tajdi Muhammadiyah tentang musik? 

Sebelum membahas bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang music perlu kita ketahui ayat yang menerangkan tentang syair atau musik ini. 

Saya menyepakati apa yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat karena beliau memang pakar bahasa dan mengenyam pendidikan bidang sastra Arab. Bahwa dalam al-Qur’an tidak ada kata musik sama sekali, maka harus memahami padanannya yang salah satunya adalah syair yang lekat dengan musik.

Ayat al-Quran yang membahas musik yaitu surat asy-Syuara ayat 224-227:

وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاونَ ۗ اَلَمْ تَرَ اَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَّهِيْمُوْنَ ۙ وَاَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَذَكَرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّانْتَصَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ 


Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan, dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(-nya)? Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali. (asy-Syara’: 224-227)

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا  أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang memperjualbelikan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Secara dzahir dalil-dalil di atas tampak bertentangan, namun sebenarnya tidak dalam kaca mata yang luas. Imam Bukhari dalam sahihnya Kitab Adab mengaawali pembahasan haditsnya dengan surat as Syuara: 224-227 dengan menamai babnya Ma yajuzu minal syi’ri, wa rajaz, wal khuda, wama yukrohu minhu, Jika diterjemahkan berarti syair, rajaz, dan hudak yang diperbolehkan dan yang dimakruhkan.

Artinya, sekelas imam Bukhari saja tetap mengakui ada syair atau musik yang boleh dan tidak boleh. Hadits-hadits di atas lebih banyak penulis ambil dari sahih Bukhari, diawali dengan menyodorkan hadits-hadits yang membolehkan kemudian mengemukakan pula hadits-hadits yang mencela syair atau musik.

Hadis-hadis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari memang dimaksudkan untuk menjelaskan Surat asy-Syuara’ di atas, bahwa ada yang diperbolehkaan dan ada yang dilarang. Andai musik mutlaq diharamkan tanpa pengecualian maka tidak akan ada surat as-Syuara 227 dan Rasulullah tentu tidak membiarkan musik dikumandangkan.Sekali lagi siapa yang lebih otoritatif menafsirkan al-Qur’an selain Rasulullah. 

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengklasifikasi hukum musik menjadi tiga klasifikasi: pertama, apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan.

Kedua, apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan semata tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram. 

Ketiga, apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.

Apakah Muhammadiyah menyelisihi atau kufur terhadap ayat al-Qur’an? Tentu tidak. Muhammadiyah mengikuti Rasulullah SAW sebagai mufasir al-Qur’an yang pertama dan utama. Hadits adalah penafsir al-Qur’an bi ma’tsur. Siapa yang lebih hebat menafsiri alQur’an selain Rasulullah?

Muhammadiyah menggunakan musik sebagai media pembelajaran, sebagai penguat rasa perjuangan dengan mars Sang Surya dan kegiatan lainnya. Tentu syair-syair yang baik yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan.

Manhaj Tarjih Muhammadiyah dalam memahami dalil yang tampak bertentangan dilakukan dengan tiga cara. Pertama, al-jam’u wa taufiq (memahami secara komprehensif dengan berbagai disiplin ilmu dan membaca khazanah fikih klasik dan kontemporer). 

Ledua, nasakh wa mansukh (menyelidiki apakah satu hukum telah dihapus dengan hukum lainhya dalam arti dalil). Ketiga, tarjih (menyelidiki dan meneliti dan memilih dalil yang lebih kuat di antara dalil yang sama derajatnya). Keempat tawaquf yaitu sikap pasif atau tidak mengamalkan sebelum ditemukan dalil yang lebih kuat.

Melihat banyaknya dalil tentang musik maka Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah melakukan al-jam’u wa taufiq dengan pemahaman komprehensif dan memutuskan hukum sesuai dengan illat-nya. Majelis Tarjih mengkaji bagaimana para mufasirin menafsiri ayat tersebut, mengeluarkan semua hadits, melihat bagaimana para ulama berbeda pendapat dengan memahami konteksnya, menelisik aspek kesejarahan, mendengar pendapat para ulama kontemporer, kemudian memutuskan.

Ustadz Adi Hidayat memberi tambahan keterangan bahwa pada awalnya surat asy-Syuara ayat 225-226 memang mencela musik karena melalaikan, namun karena beberapa sahabat mengemukakan bahwa mereka juga pemusik yang sering menjawab ejekan pemusik musyrikin dengan syiir yang bagus maka turun lagi ayat ke 227 kecuali orang-orang yang beriman (dalam bersyair). 

Jika ada perbedaan penafsiran maka sikap seorang Muslim adalah tafassakhu fil majalis, memberi ruang bagi pendapat berbeda selama masih menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sandaran dalam ber-istidlalWallahu alam bi shawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version