Politik Debat Kusir

Politik Debat Kusir (Ilustrasi freepik.com)

Politik Debat Kusir; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.  

PWMU.CO – Amat memprihatinkan melihat kontestasi politik melahirkan komunikasi yang buruk, apa lagi di media sosial. Tidak tampak diskusi produktif dalam membahas sebuah gagasan. Para pendukung kontestan terkesan asal bunyi, yang dalam bahasa Jawa dikenal istilah waton suloyo, asal bunyi sokor jeplak, tanpa dipikirkan. 

Maka tidak heran media sosial dipenuhi debat kusir, hate speech atau ujaran kebencian dari kontestan dan para pendukungnya. Data dan fakta tidak lagi menjadi bahasan utama. Yang menjadi fokus justru bagaimana mencari celah kelemahan lawan untuk kemudian menghabisinya secara kroyokan. Satu isu yang diunggah akan menjadi komoditi empuk bagi para heaters.

Maka penting bagi kita “yang masih waras” berpikir logis, sistematis, terukur, berdasar pada premis-premis yang sahih. Sebenarnya ajaran Islam telah memberikan konsep-konsep bagaimana agar manusia bisa santun dalam mengemukakan pendapat, gagasan bahkan dalam perdebatan.

Beberapa konsep dalam Islam agar tidak terjerumus pada hate speech dan debat kusir berkepanjangan diantaranya: pertama, qaulan sadida berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong, dan tidak berbeli-belit, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). 

Disebut saddid berarti dibangu di atas landasan yang kuat. Seorang politisi yang baik akan menyampaikan gagasannya secara cerdas namun benar, bukan asal menyampaikan.

Kedua, qaulan makrufan, artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Perkataan yang baik ini juga merupakan bukti bahwa seorang pemimpin negarawan mampu mengendalikan emosinya dalam berkata-kata. Kata-kata kotor dan umpatan kepada kompetitor politik hanya akan mengobarkan menambah aroma permusuhan. Lebih parah lagi jika para pendukungnya digiring untuk saling olok, saling ejek dengan kata atau kalimat kasar yang diucapkan.

Ketiga, qaulan baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Sikap bertele-tele biasanya dipengaruhi oleh penguasaan substansi yang kurang. Kemampuan mencerna setiap konsep dan mengkomunikasikannya adalah ciri pemimpin yang cerdas.

Apa lagi ketika ada keterbatasan waktu dalam menyampaikan gagasan, maka kemampuan untuk memanfaatkannya untuk menyampaikan mengelola kalimat efektif yang mencerahkan amatlah penting.

Biasanya qaulan balighan berlaku diterapkan komunikasi antara kedua belah pihak yang setara. Seperti pemerintah dengan oposisi, antar caleg setingkat, antar calon komisaris, antar calon presiden dan seterusnya. Ucapan yang digunakan oleh kontestan politik kepada pihak kontestan lain adalah qaulan balῑghan, yakni ucapan yang efektif dan bisa membangkitkan perdebatan produktif. 

Sepadan dengan qaulan balighan adalah qaulan maysura (maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami. Bukan kalimat jebakan yang menelikung lawan bicara. 

Baca sambungan di halaman 2: Perkataan Lembut

Politik Debat Kusir (Ilustrasi freepik.com)

Perkataan Lembut

Keempat, qaulan layyinan merupakan perkataan yang lembut, artinya perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Kelembutan bisa dilakukan dengan memilih kalimat, diksi dan intonasi yang tepat. Sayangnya, syahwat politik sering mengalahkan budaya kesantunan bangsa Indonesia.

Kelima; Qaulan Karima yang merupakan adab dalam bertutur kata dengan sopan santun yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi adab ini merupakan hal yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Qaulan karima sangat menjunjung etik dan martabat kemanusiaan, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertata krama. 

Andai saja para kontestan dan para pendukungnya memahami konsep-konsep di atas tentu kesantunan, adab, tata krama pada wilayah publik tetap baik. Dulu saling mengolok-olok dengan kampret dan cebong. Sekarang menggunakan kata-kata yang kurang pantas dalam mengomentari postingan lawan politik. 

Kata-kata yang rusak atau qaulan fasida biasanya disebabkan oleh sempitnya informasi yang diterima, adanya kesombongan dalam diri seseorang, tidak menguasai pokok bahasan, sikap emosional sehingga tidak mampu mengontrol logikanya sehingga menghasilkan kata-kata yang kurang elok. Politik transaksional dengan biaya mahal cenderung mengabaikan etika karena hanya terfokus pada kemenangan belaka.

Mestinya menjadi tugas para ustadz, kiai, penceramah untuk mencerahkan umat, namun sayangnya ada sebagian dari mereka justru menjadi pelaku qaulan fasida.

Keberpihakan dan fanatisme yang ditutupi oleh amplop tebal bisa membuat pendakwah menjadi gelap mata,gelap hati dan tidak mampu memberikan teladan yang baik, bahkan tidak mampu memberikan pandangan yang adil. Bukankah kita diingatkan Tuhan agar jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum membuat kita tidak mampu berbuat adil, baik perkataan maupun perbuatan. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version