Pemilu 2024: Lemahnya Advokasi Perempuan di Sektor Politik dan Pemerintahan

Alfiah Sufiani SE, Sekretaris PRA Nginden Jangkungan dan Kepala LKSA Muhammadiyah Putri Al Mu’minuun. (Istimewa/PWMU.CO).
Alfiah Sufiani SE, Sekretaris PRA Nginden Jangkungan dan Kepala LKSA Muhammadiyah Putri Al Mu’minuun. (Istimewa/PWMU.CO).

Alfiah Sufiani SE – Sekretaris PRA Nginden, Surabaya

PWMU.CO – Sejarah penyelenggaraan pemilu pasca reformasi ternodai dengan dipecatnya Ketua KPU Pusat dalam sidang DKPP atas laporan dari salah satu anggota PPLN Belanda atas tindak asusila pada Ketua KPU Pusat. Pemecatan ini menjadi sebuah validasi bahwa hingga saat ini di tahun 2024, perempuan masih sangat rentan menjadi korban kekerasan.

Validasi semakin kuat bahwa, dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 sebagaimana temuan Komnas Perempuan, ditemukan adanya intimidasi dan teror terhadap caleg perempuan di Aceh dan NTT, pencurian dan pengalihan suara caleg perempuan di Papua, serta pemecatan caleg perempuan terpilih oleh salah satu partai politik di Sulawesi Selatan.

Kondisi tersebut juga terjadi di tahun 2024 dengan tambahan empat tindakan asusila dari laki-laki yang memiliki kuasa terhadap perempuan, dua di antaranya dilakukan oleh Ketua KPU Pusat yang sudah diberhentikan dengan tidak hormat oleh DKPP pada tanggal 3 Juli 2024. 

Pada titik ini, dengan beban sejarah penyelenggaraan pemilu yang masih tidak bersahabat dengan perempuan, harusnya penyelenggara pemilu lebih peka dan mengenali kerentanan perempuan dalam beragam bentuk kekerasan. Baik kekerasan yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, ekonomi maupun siber, seperti yang telah terjadi. Dan plot twist nya pada tahun 2024 ini, kekerasan pada perempuan dilakukan sendiri oleh Ketua KPU Pusat.

Kalau kita ingin memetakan bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan di pemilu pasca reformasi, kekerasan seksual berupa penyerangan seksual terhadap calon kepala daerah perempuan pernah terjadi di Depok, Makassar, dan Tangerang Selatan pada Pilkada tahun 2020.

Kekerasan berupa ujaran kebencian dan tindakan rudapaksa dengan unsur SARA pernah terjadi pada Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017. Memaksa dan mengintimidasi caleg perempuan agar mundur setelah mengetahui jumlah suara nya paling banyak. Intimidatif yang dilakukan oleh petinggi-petinggi parpol sering dilakukan pada caleg-caleg perempuan dengan berbagai alasan.

Kondisi- kondisi kekerasan pada perempuan yang telah terjadi, seolah dibiarkan oleh negara. Negara, yang diwakili oleh penyelenggara pemilu, abai dengan kondisi ini. Sehingga sangat wajar jika memunculkan kekhawatiran para perempuan yang tinggal di daerah rawan konflik terhadap keamanan dirinya. Baik sebelum, saat pelaksanaan, dan pasca pemilihan.

Advokasi Perempuan di Pemilu

Aisyiyah memiliki sejarah panjang dalam pemberdayaan perempuan dan mitigasi kekerasan pada perempuan. Dua aktivitas ini disinkronkan dengan berbagai kegiatan sosial di lingkungan terdekat para kader Aisyiyah ini berada.

Kekerasan pada perempuan di pemilu tahun 2024 yang telah lalu, tercatat ada empat kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dari empat kasus itu, dua kasus melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari sebagai pihak teradu. Satu kasus Nomor 90/PKE-DKPP/V/2024 telah diputus dengan keputusan Ketua KPU dipecat sebagai Ketua sekaligus Komisioner KPU.

Sedangkan dua kasus kekerasan seksual lainnya yaitu, yang diduga dilakukan oleh Ketua KPU Manggarai Barat dan Ketua KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Selain itu masih ditemukan perempuan yang mengalami kekerasan dalam politik yang berbasis gender. Korbannya sangat beragam dan berbagai kelompok masyarakat secara acak. Mulai dari pemilih perempuan dan kelompok rentan, perempuan kelompok ekonomi rendah, perempuan kepala keluarga, minoritas gender, disabilitas, LSM, lansia, akademisi, penyelenggara pemilu, caleg perempuan, hingga jurnalis perempuan.

Kekerasan demi kekerasan pada perempuan menorehkan luka yang sangat dalam. Ada konsekuensi logis yang tak bisa dihindari dari pembiaran kekerasan pada perempuan.

Pertama, jumlah perempuan dan kelompok rentan yang mencalonkan diri untuk jabatan politik dan/atau untuk penyelenggara pemilu, tentu akan semakin sedikit. Jika ini yang terjadi, maka afirmasi politik perempuan menjadi stuck dan jalan di tempat.

Ada ketakutan dan trauma yang mendalam pada perempuan, entah yang menjadi korban secara langsung ataupun tidak. Perempuan akan enggan terlibat dalam wilayah konflik yang menguras energi dan mentalnya. 

Kedua, terbatasnya visibilitas perempuan dan kelompok rentan dalam partai politik dan/atau dalam penyelenggaraan pemilu, akan semakin mempersulit kandidat perempuan dan kelompok rentan untuk dikenal oleh masyarakat secara luas.

Ketiga, masyarakat secara luas akan terbiasa untuk membiarkan adanya tindakan kekerasan pada perempuan ketika, akan, sedang dan telah berlangsungnya Pemilu. Jika ini yang terjadi, maka perempuan selamanya akan menjadi warga kelas dua yang sulit masuk di ranah politik.

Bentuk Kekerasan selama Pemilu 2024

Beberapa bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi selama Pemilu 2024 dipetakan sebagai berikut:

Pertama, Kekerasan dan Penyerangan berbasis gender yang dilakukan secara online. Ini bentuk baru dari kekerasan terhadap perempuan di Pemilu. Penyerangan ini berdampak besar terhadap elektabilitas caleg perempuan. Stigma negatif membuatnya sulit untuk terpilih.

Kedua, ditemukan caleg perempuan yang mendapat kampanye hitam di media sosial. Secara langsung itu sudah pasti mempengaruhi bagaimana publik melihat, bagaimana animo dari caleg perempuan ini sendiri dan kondisi kesehatan mental dari caleg perempuan ini.

Ketiga, pada saat pelaksanaan dan pada saat penghitungan suara, berapa banyak caleg perempuan yang ”dipaksa mundur” dan ”dipaksa” memberikan suaranya pada caleg laki-laki, yang suaranya tidak sebanyak dirinya. Bahkan ada beberapa caleg perempuan yang suaranya sedikit, tanpa permisi, dialihkan pada caleg parpol lain yang tentu saja ini melibatkan pihak PPK dan parpolnya.

Aisyiyah yang telah berusia 117 tahun, memiliki sejarah panjang dalam pemberdayaan perempuan dan mitigasi kekerasan pada perempuan. Sudah seharusnya dan semestinya dijadikan mitra oleh pemerintah untuk bisa meng-advokasi, agar perhelatan PEMILU yang sejatinya sebuah pesta demokrasi negara tersebut bebas dari tindak kekerasan berbasis gender.

Aisyiyah dengan slogan perempuan berkemajuan, sangat dekat dengan SDGs yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). SDGs adalah serangkaian tujuan yang ditujukan untuk mencapai kehidupan di muka bumi ini menjadi lebih baik dan berkelanjutan bagi semua orang. Ada 17 tujuan SDGs yang saling terkait dan saling mendukung untuk mengatasi berbagai tantangan global kekinian. SDGs ini disusun dengan prinsip inklusif, terintegrasi, no one left behind, serta partisipatif.

Bappenas pun sudah mengadopsi SDGs ini agar relate dengan program-program pembangunan di segala aspek, termasuk juga dalam perhelatan pemilu. Artinya, program advokasi kekerasan pada perempuan yang terjadi sebelum, saat, dan setelah PEMILU melibatkan dan disinkronkan dengan program dari  organisasi-organisasi perempuan, Aisyiyah salah satunya.

Kekerasan pada perempuan umumnya terjadi karena garis patriarki masih kuat mengakar di masyarakat kita. Selain itu, kesadaran pada hukum dan ketaatan pada perintah agama yang tipis menjadi pemicu lainnya. Akar kekerasan berbasis gender dalam pemilu disebabkan ideologi patriarki dan norma gender, ketimpangan relasi kuasa, dan kurangnya regulasi dan perlindungan. 

Kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik juga menjadi salah satu akar penyebab kekerasan pada perempuan. Aisyiyah mengambil peran penting ini, yaitu advokasi di bidang politik dengan perempuan berkemajuannya.

Negara dan lembaga politik perlu berkomunikasi yang aktif dan intens berbasis partisipatif dengan organisasi perempuan. Negara juga perlu mengadopsi dan menegakkan kebijakan yang melindungi perempuan dari kekerasan, termasuk mekanisme pelaporan yang aman dan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan terutama ketika perhelatan pemilu.

Aisyiyah secara istiqomah melakukan advokasi terwujudnya pemilu yang inklusif dan berkeadaban secara massif.

Pada titik ini, tidak perlu diragukan lagi bahwa  Aisyiyah memberikan garis demarkasi yang jelas dan tegas. Bahwa secara institusi, Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang menjunjung tinggi nilai, etika, dan moralitas politik.

Tetapi, di sisi lain Aisyiyah sangat mendukung kadernya yang ingin berjuang dalam pertarungan yang lebih luas agar membawa visi misi dakwah perempuan berkemajuan lebih progresif dan konstruktif. Membangun komunikasi yang sehat dan bermartabat dengan organisasi perempuan yang lain adalah salah satu istiqomah yang harus dilakukan oleh Aisyiyah.(*)

Exit mobile version