Beda Muhammadiyah dengan Salafi, Bahasan Kopdar Majelis Tabligh PDM Surabaya

Muhammad Nurul Humaidi (kedua dari kanan) membahas beda Muhammadiyah dengan salafi (Syahroni Nur Wachid/PWMU.CO)

PWMU.CO – Beda Muhammadiyah dengan salafi jadi pembahasan kopi darat (kopdar) alias pertemuan Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Surabaya, di Pusat Dakwah Muhammadiyah (Pusdam) Surabaya, Sabtu (25/5/2024).

Peserta kopdar adalah Majelis Tabligh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) dan takmir masjid Muhammadiyah se-Kota Surabaya. Mereka membahas tema Eksistensi dan Pergerakan Salafi pada Masjid Muhammadiyah

Pembicara kopdar Ketua PDM Kabupaten Malang Dr H Muhammad Nurul Humaidi MAg mengawali penjelasan tentang manhaj salaf yaitu orang yang mengikuti salafus shalih. Gerakannya didominasi oleh corak pemikiran skripturalisme, fundamentalisme, atau radikal. 

Karakteristik gerakan salafi bersifat Islam transnasional. “Ideologi gerakannya tidak lagi bertumpu pada konsep national state, melainkan konsep umat,” terang Nurul Humaidi.

Dia menjelaskan modus pengembangan salafi berbasis pesantren. Gerakan salafi di Indonesia umumnya bertabrakan langsung dengan konstituen Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini sudah terjadi di Nusa Tenggara Barat, di mana sejumlah konflik terbuka sudah berlangsung.

Lebih lanjut dia memaparkan persamaan salafi dengan Muhammadiyah. “Dalam aspek akidah dan ibadah mereka cenderung sama dengan Muhammadiyah, sehingga merasa cocok dengan tempat-tempat ibadah Muhammadiyah,” terangnya.

Beda Muhammadiyah dengan Salafi

Nurul Humaidi memberikan lima gambaran perbedaan antara Muhammadiyah dan salafi sebagai berikut:

Pertama, Muhammadiyah dan salafi mempunyai slogan yang sama yaitu kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun Muhammadiyah memahami dengan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa agama Islam, sedangkan salafi memahami secara literal. 

Kedua, Muhammadiyah menerima kemodernan dan melakukan modernisasi. Salafi menolak modernisasi, tapi menerima produk teknologi.

“Muhammadiyah menerima budaya Barat yang sesuai dengan ajaran Islam dan menolak yang tidak sesuai. Sedangkan salafi menolak budaya Barat,” jelasnya,

Ketiga, Muhammadiyah menerima budaya lokal dan melakukan islamisasi terhadap budaya lokal yang tidak sesuai. Sementara salafi menolak budaya lokal dan mengacu pada budaya Arab yang tergambar dalam hadits.

Keempat, Muhammadiyah berpandangan perempuan memiliki peran domestik dan publik. Perempuan boleh menjadi pejabat publik dan boleh bepergian tanpa mahram bila keadaan aman dan terjaga dari fitnah. Sedangkan salafi peran perempuan adalah sektor domestik, sedangkan sektor publik adalah milik laki-laki. Perempuan bepergian harus bersama mahram.

Kelima, Muhammadiyah berpandangan bermusik, bernyanyi, bermain drama, teater diperbolehkan dan bisa menjadi media dakwah. Bagi salafi, seni jenis itu adalah bid’ah dan haram, hiburan termasuk hal yang dilarang.

Selain itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang tersebut menjelaskan sejarah munculnya salafi di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Awalnya LPBA (Lembaga Pengembangan Bahasa Arab) di Jakarta yang sekarang dikenal LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) melahirkan alumni angkatan pertama, kini menjadi tokoh-tokoh terkemuka di kalangan salafi. Gerakan ini berkembang dengan dukungan Pemerintah Arab Saudi. Tokoh sentral gerakan ini adalah Bin Baz, Nashiruddin Al-Albani, dan Syaikh Muqhbil.

“Generasi pertama LIPIA tersebut sangat antiterhadap kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Tabligh, dan Darul Islam. Di Indonesia, banyak sekali kalangan salafi termasuk Sururiyah atau yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan salafi puritan,” terangnya.

Ketua Majelis Tabligh PDM Surabaya Imam Sapari SHi MPdI mengungkapkan alasan pemilihan tema kopdar ini. “Akhir-akhir ini viral video Ustadz Adi Hidayat yang di-tahdzir hingga dikatakan kafir oleh Salafi. Maka dari itu kami berusaha menjawab dengan menghadirkan narasumber yang bisa memberikan jawaban persoalan tersebut,” ujarnya. 

Selain itu Wakil Ketua PDM Kota Surabaya Suhadi M Sahli MAg berpandangan salafi boleh shalat di masjid Muhammadiyah namun tidak diberikan tempat untuk ceramah. “Dipastikan masjid Muhammadiyah diisi oleh ustadz yang minimal sudah memiliki NBM (nomor baku Muhammadiyah),” ungkapnya. (*)

Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Muhammad Nurfatoni/MS

Exit mobile version