Pesan Haedar Nashir: Keluarga Tanpa Kanopi

Haedar Nashir dan Nazaruddin Malik (Rektor UMM) (muhammadiyah.or.id/PWMU.CO)

PWMU.CO – Keluarga tanpa kanopi adalah gambaran dari kehidupan yang penuh mobilitas, di mana waktu untuk berhenti sejenak dan merefleksikan diri nyaris tidak ada. 

Mereka selalu bergerak, beraktivitas tanpa henti, sehingga tidak ada waktu untuk merenung, baik secara fisik maupun batin.

Haedar Nashir

“Keluarga tanpa kanopi adalah keluarga yang hidup dalam mobilitas yang tinggi, kemudian nyaris di rumah tidak ada waktu jeda untuk berefleksi, baik refleksi kaki maupun hati,” ucap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara Pengajian Dosen dan Karyawan Universitas Muhammadiyah Malang pada Rabu (03/07/2024).

Keluarga semacam ini sering kali tidak pernah merasa puas dengan pendapatan yang dimiliki. Keinginan mereka terus bertambah, mengindikasikan ada sesuatu yang hilang dalam hidup mereka, yaitu nilai (value/qimah) tentang kehidupan.

“Keluarga tanpa kanopi biasanya tidak puas dengan suatu pendapatan. Keinginannya terus bertambah. Kondisi seperti ini menandakan ada sesuatu yang hilang, yaitu nilai (value/qimah) mengenai hidup. Dunia itu penting, tapi kalau mengejar terus melampaui batas, akhirnya dunia menjerat kita, bukan kita yang mengendalikan dunia,” terang Haedar.

Selain itu, teori relasi keluarga seperti emansipasi semakin memperumit hubungan suami dan istri. Hubungan mereka tidak lagi dibangun di atas konsep ajwaz, melainkan konsep persaingan. 

Emansipasi memang baik dalam mengangkat posisi perempuan, namun ketika tuntutannya melampaui nilai ajwaz, sakinah, dan rahmah, yang muncul adalah kesadaran untuk selalu menuntut hak dari kedua belah pihak.

Menurut Haedar, teori emansipasi ini berakar dari neo-marxisme, di mana setiap individu terlibat dalam kepentingan untuk menyadari hak-haknya. 

Namun, ketika hak-hak tersebut dituntut terlalu jauh, aspek kewajiban sering kali terabaikan. Ketegangan yang terus dibangun akhirnya menghilangkan harmoni.

“Ketika hak itu dituntut terlalu jauh, maka sering aspek kewajiban terabaikan. Ketika ketegangan-ketegangan terus dibangun, aspek harmoni itu jadi luput,”

ucap Haedar

Haedar menuturkan bahwa membangun rumah tangga seharusnya didasarkan pada konsep ajwaz, dengan tujuan mencapai sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sakinah bersifat ruhani, mawaddah terkait dengan materi, dan rahmah adalah kasih sayang. 

Meski demikian, dinamika dalam keluarga tetap ada. Untuk menjaga keharmonisan, diperlukan sosok imam dalam keluarga. Seorang imam harus memiliki tanggung jawab, ilmu, kearifan, sifat baik, dan konsep hidup yang jelas.

Dengan demikian, keluarga yang harmonis dan bahagia adalah keluarga yang memahami nilai-nilai dasar ini dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan begitu, umat Islam bisa membangun rumah tangga yang kokoh, penuh dengan kedamaian, cinta, dan kasih sayang, meskipun dinamika kehidupan terus berjalan.

Editor Azrohal Hasan

Exit mobile version