Perlukah Mewujudkan Kalender Islam Global?

Dr Zahid Mubarok SThI MEI

Oleh Dr Zahid Mubarok SThI MEI – Pimpinan Muhammadiyah (PDM) Kota Bogor dan Dosen IAT UIKA Bogor

PWMU.CO – Pro dan kontra dalam sebuah ide dan gagasan adalah hal yang lumrah dan wajar karena akibat banyak hal cara pandang dalam memandang suatu permasalahan. Termasuk dalam hal menanggapi usaha Muhammadiyah untuk mewujudkan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT).

Kalender berdasarkan peredaran bulan (lunar) sebenarnya sudah digunakan jauh sebelum berkembangnya Islam di Jazirah Arab pada era Rasulullah SAW.

Sistem Penanggalan Lunar sudah digunakan pada tahun 32.000 SM. Buktinya sudah ditemukan oleh para arkeolog di gua-gua Eropa. Fungsinya untuk membangun sistem penanggalan dari banyak budaya yang berbeda-beda di zaman kuno. Tujuan lainnya dari kalender lunar ini adalah untuk perkara keagamaan dan pertanian. Terutama untuk mengetahui siklus palawija atau biji-bijian yang cocok ditanan pada bulan–bulan yang ada pada sistem fase peredaran bulan.

 Kalender lunisolar yang digunakan saat ini, seperti kalender Tiongkok, Korea, Vietnam, Hindu, Ibrani, dan Thailand, berakar pada siklus fase bulan yang sudah ditemukan pada dinding gua dan tulang binatang sejak zaman kuno sebelum Masehi.

Dasar Penggunaan KHGT

Dalam upaya menyatukan penanggalan umat Islam di seluruh dunia, terdapat isyarat dalam al-Qur’an yang dapat menjadi dasar syar’i untuk penerapan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT). Meskipun tidak ada redaksi yang secara tegas menyebutkan KHGT, beberapa ayat dianggap memberikan isyarat penting.

Misalnya, Qs. al-Baqarah ayat 189 yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.'”

Ada juga dalam Qs. At Taubah ayat 36 yang artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Ayat ini mengandung dua makna penting. Pertama, ayat tersebut menegaskan bahwa kalender Islam adalah kalender lunar (bulan), yang menggunakan perhitungan berdasarkan siklus bulan.

Kedua, ayat ini memberikan isyarat bahwa kalender Islam bersifat global. Hal ini terlihat dari pernyataan “lin-nas” (bagi manusia), menunjukkan bahwa kalender Islam berlaku secara universal bagi seluruh umat manusia di muka bumi.

Isyarat ini dapat dijadikan dasar bagi bentuk kalender Islam global yang harus dipilih untuk menyatukan penanggalan umat Islam di seluruh dunia. Kalender lunar hijriyah ini berlandaskan prinsip sederhana satu hari, satu tanggal di seluruh dunia. konsep ini bertujuan untuk menciptakan kesatuan di anatara umat Islam, menghapus perbedaan waktu dan tanggal yang sering kali membingungkan.

Hambatan Penerapan KHGT

Namun, hambatannya ialah KHGT belum banyak dipahami terkait konsep, arti penting, dan keperluannya. Meskipun KHGT memiliki tujuan luhur untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia, namun masih banyak kalangan yang belum sepenuhnya memahami konsep di baliknya.

Arti penting dari keseragaman waktu dan tanggal dalam konteks global belum sepenuhnya terserap oleh semua pihak.

Kendati KHGT menetapkan kriteria yang jelas untuk menentukan awal bulan baru, masih banyak kalangan yang kuat berpegang kepada tradisi rukyat fisik. Hal ini menjadi hambatan karena Kalender Hijriah Global, seperti kalender Islam pada umumnya, membutuhkan penggunaan hisab dan tidak dapat mengandalkan metode rukyat dalam penentuan awal bulan baru.

Oleh karena itu perlu diakui bahwa perubahan budaya dan kebiasaan memerlukan waktu untuk diterima oleh masyarakat luas. Maka sangat perlu upaya lebih lanjut untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang lebih mendalam tentang keunggulan dan kepraktisan KHGT.

Pendidikan dan sosialisasi terkait konsep ini dapat membantu mengatasi hambatan ini dan merangsang adopsi yang lebih luas.

Para ahli, termasuk ahli astronomi dan falak, serta ahli syariah dan fikih, juga masih belum banyak memahami pembuatan Kalender Islam global (KIG). Mereka juga masih belum tergerak untuk mengapresiasi arti penting dan keperluan hadirnya kalender Islam global tersebut, khususnya dalam rangka penepatan jatuhnya hari ibadah tertentu.

Para pemikir dan ahli cenderung lebih tertarik pada aspek teknis, terutama dalam menangani masalah kriteria yang memungkinkan hilal dapat dirukyat. Diskusi dan penelitian mereka lebih sering berkutat pada metode pengamatan dan perhitungan astronomi, daripada pemahaman konsep kalender secara menyeluruh.

Tidak sedikit di antara para ahli yang melihat upaya penyatuan kalender Islam secara global sebagai pekerjaan yang tidak rasional. Dengan nada ‘sumbang’, sebagian dari mereka menyatakan bahwa mencoba menyatukan kalender nasional saja masih menjadi hal yang sulit, apalagi jika berbicara tentang penyatuan kalender secara global.

Di lain pihak, ada pula yang menggunakan analogi untuk mengekspresikan skeptisisme mereka. Mereka menyatakan penyatuan kalender Islam secara global itu seperti pungguk merindukan bulan, merujuk pada sesuatu yang sulit dicapai atau bahkan tidak bermanfaat.

Kendati demikian, perlu diakui bahwa perubahan selalu memerlukan waktu dan upaya yang serius untuk diterima. Langkah-langkah pendidikan intensif dan dialog yang konstruktif antara ahli astronomi, falak, ahli Syariah dan fikih dapat membuka jalan menuju pemahaman tentang manfaat dan kebutuhan KHGT.

Di sisi lain kaum muslimin melakukan penyatuan global dengan menerima kalender berdasarkan kriteria global, seperti kalender Turki 2016 atau kalender global lainnya. Jika kita semua di Indonesia menerima kalender ini, maka kita akan bersatu secara lokal (di Indonesia) karena kita telah memiliki satu kalender bersama.

Keuntungan lainnya adalah kita memiliki peluang mengajak bangsa lain untuk mengikuti kalender yang kita terapkan di Indonesia. Kalender tersebut bersifat global dan dapat diterapkan di berbagai belahan dunia, memungkinkan keseragaman waktu dan tanggal dalam skala yang lebih luas.

Dengan demikian, penyatuan global melalui penerimaan kalender berdasarkan kriteria global memberikan potensi untuk menciptakan kesatuan tidak hanya dalam skala lokal, tetapi juga dapat mempromosikan keseragaman di tingkat internasional. Pilihan ini memberikan peluang untuk mengembangkan kerjasama dan pengakuan bersama antara komunitas muslim di seluruh dunia, menciptakan landasan bagi pemahaman bersama tentang penanggalan dalam konteks global.

Dengan adanya kalender global ini, diharapkan hari-hari penting dalam agama Islam bisa di satukan dan dapat jatuh pada hari yang sama di seluruh dunia.

Wallahu A’lam Bisshawab (*)

Editor Wildan Nanda Rahmatullah

Exit mobile version