Belajar dari Dosa

Muhsin MK– Aktivis PCM Cipedak Jakarta Selatan

Oleh: Muhsin MK (Aktivis PCM Cipedak Jakarta Selatan)

PWMU.CO – Belajar adalah aktivitas untuk memahami dan mengetahui sesuatu, serta menambah pengetahuan bagi manusia. Proses ini dimulai sejak lahir hingga menjelang hari tua, sebelum datang sakratul maut.

Dalam Islam, belajar adalah kewajiban bagi setiap manusia, sebagaimana disampaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat pertama kali menerima wahyu. (Qs. al-Alaq, 96:1-5).

Proses dan aktivitas belajar dalam ayat ini adalah “membaca (iqra) dan menulis (qalam)”. Dari kedua aktivitas utama tersebut, manusia dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan, baik berkaitan dengan agama (addin) maupun dunia. Namun sebelum proses itu berjalan, manusia pertama kali belajar dan mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Qs. al-Baqarah, 2:31).

Selain itu, manusia juga belajar dari lingkungan dan pengalaman hidupnya, seperti yang dialami Nabi Adam ‘Alaihis Salam dan Hawa ketika masih berada di surga. Akibat terpengaruh bujuk rayu syaitan, mereka tergelincir dan dikeluarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari surga. (Qs al-Baqarah, 2:36).

Dari peristiwa itu, Nabi Adam ‘Alaihis Salam belajar dari kesalahan dan dosanya. Dengan mengikuti bujuk rayu syaitan, dia celaka, sehingga kebahagiaan yang dirasakannya bersama istrinya di surga hilang.

Hikmah

Beberapa pelajaran yang didapatkan dari peristiwa itu adalah: Pertama, syaitan adalah musuh yang nyata karena telah menyesatkan dan mencelakakan manusia ke dalam lembah dosa. (Qs al-Baqarah, 2:168-169).

Kedua, dengan berbuat kesalahan dan dosa, manusia akan mendapat hukuman dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti yang dialami Nabi Adam ‘Alaihis Salam dan istrinya. Mereka dikeluarkan dari surga, termasuk syaitan yang menggodanya, dan diturunkan ke bumi. (Qs al-Baqarah, 2:38).

Hukuman terhadap syaitan, yang saat itu ditimpakan kepada Iblis, rajanya syaitan, jauh lebih berat dari Adam ‘Alaihis Salam. Selain dosanya tidak diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dia dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi dalam keadaan terkutuk, hidup gentayangan sampai hari kiamat, dan kelak menjadi penghuni neraka. (Qs Shaad, 38:77-78 dan 85).

Ketiga, dengan menyadari bahwa manusia telah melakukan dosa terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka yang sadar akan berusaha memohon ampun dan bertaubat agar dosanya diampuni. Seperti yang dilakukan Nabi Adam ‘Alaihis Salam saat dia mengakui kesalahan dan dosanya setelah memakan buah yang dilarang-Nya. (Qs al-Baqarah, 2:37).

Dari sejarah dosa Nabi Adam ‘Alaihis Salam yang kemudian diampuni setelah bertaubat, Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa tidak ada dosa turunan. Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mendapatkan berbagai cobaan dalam hidupnya sejak diangkat menjadi Rasulullah, tidak berkaitan dengan penebusan dosa.

Artinya, dosa manusia tidak berkaitan dengan orang lain, bahkan orang tua dan nenek moyang sekalipun, sebab tidak ada dosa warisan. Dosa manusia adalah ulah dan perbuatannya sendiri yang harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Namun, selama masih di dunia, dosa bisa diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala apabila memohon ampun dan bertaubat. (Qs Ali ‘Imran, 3:135).

Kisah putra Nabi Adam ‘Alaihis Salam, Qabil, yang melakukan dosa dengan membunuh saudara kandungnya, Habil, juga banyak memberikan pelajaran kepada manusia. Pertama, pembunuhan ini merupakan peristiwa kejahatan tertua dalam sejarah. (Qs al-Maa-idah, 5:30).

Kedua, kisah ini menunjukkan bahwa syaitan berhasil menyesatkan manusia untuk melakukan dosa dalam bentuk pembunuhan. Habil telah berusaha mengingatkan saudaranya, Qabil, agar tidak melakukan pembunuhan terhadap dirinya. (Qs al-Maa-idah, 5:29).

Ketiga, pembunuhan adalah tindak kejahatan dan perbuatan dosa pertama yang dilakukan manusia di bumi dengan sengaja. Sejak itu, ditetapkan hukum larangan membunuh manusia tanpa alasan yang haq. (Qa al-Maa-idah, 5:32).

Keempat, pertumpahan darah pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga. Padahal, orang yang memiliki hubungan darah harus saling berbuat baik dan menjaga silaturrahim.

Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Abu Ayyub (Khalid) bin Zaid Al-Ansari Radhiallahu Anhu berkata: “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amal yang dapat memasukkan ke dalam surga dan menjauhkan dari api neraka?” Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjaga silaturrahim.” (HR. Bukhari, Muslim).

Kelima, perbuatan dosa dalam bentuk pembunuhan dilakukan karena iri, dengki, dan hasad, seperti yang dilakukan Qabil terhadap Habil. Korban Habil diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sementara Qabil tidak. (Qs al-Maa-idah, 5:27).

Keenam, peristiwa pembunuhan pertama kali ini mengajarkan manusia cara mengubur jenazah yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (QS. Al-Maa-idah, 5:31).

Dengan beberapa pelajaran dari dosa yang dilakukan oleh Nabi Adam ‘Alaihis Salam dan putranya Qabil, kita belajar untuk introspeksi dan menghisab diri masing-masing sebelum dihisab oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (QS. Al-Hasyr, 59:18).

Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan

Exit mobile version