Profesor Sosialis dan Profesor Kapitalis

Penulis Dhimam Abror Djuraid

Wartawan Senior dan Dewan Pakar MPID PWM Jatim

PWMU.CO – Gelar guru besar atau profesor adalah gelar akademik yang mentereng, dan pasti menjadi kebanggaan. Tapi tidak bagi Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Miftahul Wahid, PhD. Ia mengeluarkan surat edaran yang menyatakan dirinya tidak mau ditempeli gelar profesor pada namanya.

Tindakan ini disebutnya sebagai gerakan kultural untuk melakukan desakralisasi dan dekonstruksi terhadap jabatan guru besar, yang belakangan ini menjadi incaran orang-orang tertentu untuk meningkatkan status sosial dan memperkuat prestise politik.

Fathul kecewa terhadap fenomena jalan pintas menjadi profesor yang sekarang ramai menjadi sorotan. Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, sekarang menjadi sorotan karena diduga mengambil jalan pintas untuk menjadi guru besar.

Kalangan akademik memprotes tetapi tidak ada yang berani mengambil sikap kongkret. Tindakan yang dilakukan Fathul Wahid menjadi salah satu bentuk protes yang keras, tajam, tapi tetap intelek.

Gerakan dekonstruksi dan desakralisasi gelar akademik muncul dalam bentuk humor, atau lebih tepatnya dark humor. Karena sifatnya candaan maka kategori-kategori akademik yang muncul bukan merupakan hasil riset ilmiah, tapi sekadar pengamatan empiris sehari-hari.

Ada enam tipe akademisi di Indonesia. Pertama, tipe akademis. Mereka aktif mengumpulkan prestasi-prestasi akademis, sehingga kepangkatan dan jabatan fungsionalnya cepat naik dan berhasil menjadi guru besar pada usia relatif muda, sebelum 50 tahun. Akademisi jenis ini sering disebut sebagai ‘’dosen kupu-kupu’’, kuliah-pulang, kuliah-pulang.

Kedua, akademisi politis yang senang mengejar jabatan-jabatan struktural baik di lingkungan perguruan tinggi maupun di luar kampus. Dosen kelompok ini merasa terhormat jika memegang jabatan struktural.

Ketiga, tipe sosialis yang menjadikan profesi akademik sebagai status sosial yang bergengsi di masyarakat. Umumnya dosen sosialis telah memiliki status ekonomi yang mapan dari sumber pendapatan lain yang lebih banyak, sehingga yang mereka butuhkan adalah status sosial. Para politisi, anggota dewan, dan pimpinan parpol yang ngebet ingin jadi profesor masuk dalam tipe sosialis.

Keempat, akademisi kapitalis yang berusaha memperbanyak kekayaan finansialnya baik melalui kegiatan akademis, politis, maupun bisnis, dengan memanfaatkan nama kampusnya. Tidak jarang mereka juga melakukan kegiatan bisnis dengan dan di lingkungan kampusnya. Dosen tipe ini sering disebut juga sebagai dosen ‘’diktator’’, jual diktat untuk beli motor.

Kelima, dosen selebritis yang pandai menganalisis fakta dan mengolah kata-kata, serta sering tampil di berbagai media diskusi, debat publik, seminar, talk show, dan sejenisnya.
Keenam, dosen agamis yang menjadikan profesi dosen demi pengabdian dan ibadah kepada Tuhan. Aktivitas utama mereka adalah mengajar demi mengejar pahala surga.

Masing-masing tipe menghadapi tantangan tersendiri untuk menjadi guru besar. Tapi sekarang muncul kecenderungan tipe akademisi sosialis yang paling cepat mencapai jenjang guru besar, karena punya koneksi dan kekuasaan. Kasus Megawati Soekarnoputri, Bambang Soesatyo, dan Sufmi Dasco bisa menjadi contoh kasus.

Guru besar adalah puncak pendakian karir akademik. Banyak guru besar yang kemudian merasa puas dan menikmati hasil jerih payahnya, terutama berupa tunjangan sertifikasi profesor yang besarnya tiga kali lipat tunjangan dosen yang bukan profesor.
Aktivitas ilmiah yang terpenting adalah menulis satu buku dan satu jurnal internasional bereputasi, atau satu buku dan tiga jurnal internasional, setiap tiga tahun untuk mempertahankan agar tunjangan profesornya tetap mengalir setiap bulan.

Karena mengejar jalan pintas, banyak guru besar yang menjadi profesor tukang palak, mengambil hasil penelitian mahasiswa bimbingannya, memasukkannya ke jurnal internasional, kemudian menempelkan namanya sebagai first author dan menempatkan mahasiswanya sebagai second author.

Sistem pengelolaan perguruan tinggi sekarang lebih menuntut pembuatan laporan keuangan dibanding laporan penelitian. Kendala para dosen dan profesor akademis dalam menghasilkan karya ilmiah dan buah pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemaslahatan masyarakat bukan hanya masalah dana, melainkan administrasi laporan keuangan.

Di negara yang terkenal korupsinya ini, laporan keuangan justru dianggap lebih penting daripada laporan penelitian. Selain harus menyerahkan prototipe penelitian dan memuatnya di jurnal internasional seorang profesor juga harus mempertanggungjawabkan laporan keuangan setiap rupiah yang digunakan. Jika diduga bersalah, dia harus siap diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau kejaksaan.

Karena itu sejumlah profesor tidak lagi tertarik menjadi peneliti unggulan dan penulis buku bermutu. Mereka lebih suka menjadi pejabat pemerintah, pejabat kampus, politisi, konsultan, nara sumber, penceramah, atau malah selebritas bintang iklan.

Peter Fleming, akademisi Amerika menerbitkan buku ‘’Dark Academia: How Universities Die’’. Fleming mengungkap sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa tradisi intelektual kampus sudah mati, dan kampus hanya menjadi puing yang bahkan menara gadingnya pun sudah ambruk.

Fleming menganggap kampus sudah mampus dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang dari pada penghasil cendekiawan.

Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. Di Indonesia kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan. Para ilmuwan dan intelektual–yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus–berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.

Undang-undang Omnibus Law 2020 semakin membuat kondisi kampus mengenaskan. Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri. Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit. Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.
Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci. Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari. Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.

Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang. Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang. Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mengaku dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’. Sang dosen masih memaksa para mahsiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.


Kematian universitas adalah fenomena internasional akibat neoliberalisme politik dan ekonomi. Peter Fleming menggambarkan suasana kampus yang kelam di Amerika dan Eropa. Tekanan beban kerja yang sangat berat tidak diimbangi dengan remunerasi dan kompensasi yang memadai.

Di Indonesia situasi diperburuk dengan intervensi politisi dan pejabat publik yang berambisi menjadi guru besar dengan segala cara. Profesor sosialis, profesor kapitalis, dan profesor diktator sekarang menjadi fenomena umum yang menandai matinya dunia akademik Indonesia.(*)

Editor Azrohal Hasan

Exit mobile version