Muhammadiyah dan Tragedi Piala Dunia

Muhammadiyah
Dhimam Abror Djuraid

Muhammadiyah dan Tragedi Piala Dunia oleh Dhimam Abror Djuraid, pengamat sepak bola.

PWMU.CO– Indonesia batal menjadi tuan rumah turnamen sepak bola Piala Dunia Usia 20 yang rencananya digelar mulai 20 Mei sampai 11 Juni 2023.

Otoritas sepak bola dunia FIFA memutuskan untuk mencoret Indonesia sebagai tuan rumah, setelah munculnya penolakan terhadap kehadiran Israel sebagai peserta turnamen tersebut.

Ada dua tokoh Muhammadiyah yang berada pada pusaran utama peristiwa itu, yaitu Prof. Muhadjir Effendy yang sekarang menjadi Plt Menteri Pemuda dan Olahraga, dan Prof. Haedar Nashir sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Dua tokoh itu kebetulan sama-sama gibol alias gila bola. Prof. Muhadjir dikenal sebagai Manchunian, penggemar berat Manchester United. Prof. Haedar adalah Madridistas, pendukung berat Real Madrid.

Ketika isu kedatangan timnas Israel mulai menjadi kontroversi, PP Muhammadiyah sudah langsung mengeluarkan pernyataan penolakan. Prof. Haedar mengingatkan pemerintah agar konsisten terhadap amanat pembukaan UUD 1945 yang menolak segala jenis penjajahan di muka bumi. Pendudukan Israel atas Palestina adalah bagian dari penjajahan dan pendudukan yang ditentang oleh Indonesia.

Di sisi lain, Prof. Muhadjir berada pada posisi sulit karena ketiban sampur dan ketiban awu anget. Ia ditunjuk menjadi plt menteri pemuda dan olahraga setelah Zainudin Amali mundur karena fokus menjadi wakil ketua umum PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia). Penunjukan ini berlangsung di tengah panasnya isu penolakan kedatangan Israel ke Indonesia.

Gelombang penolakan muncul dari Muhammadiyah dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang kemudian diikuti dengan unjuk rasa oleh beberapa Ormas Islam. Masalah ini mengembang menjadi isu politik setelah PDIP ikut menolak kehadiran timnas Israel.

Dua orang gubernur PDIP, I Wayan Koster dari Bali dan Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah, menolak kehadiran timnas Israel.

PDIP sebagai partai pemerintah kali ini berada pada posisi berlawanan dengan pemerintah. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto secara terbuka menolak kehadiran timnas Israel. Hasto menegaskan komitmen partainya terhadap kemerdekaan Palestina dari pendudukan Israel. Menerima kehadiran timnas Israel oleh Hasto dianggap mencederai komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina.

Pertentangan terbuka antara PDIP dan pemerintah tidak terhindarkan. Presiden Joko Widodo secara terbuka menyatakan akan menjamin keamanan timnas Israel di Indonesia.

Pernyataan Jokowi ini mereduksi isu kedatangan Israel sebagai masalah keamanan saja, padahal yang digugat adalah komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, sebagai bagian dari amanat pembukaan UUD 1945.

Dalam rilis resminya FIFA tidak menyebut masalah penolakan kedatangan Israel sebagai penyebab pencoretan. Tetapi media-media mainstream Eropa dengan jelas menyebut faktor penolakan itu sebagai penyebab utama.

Dalam rilisnya FIFA malah mengungkit kembali tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 dan menyebabkan tewasnya 135 suporter Arema, Malang.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah sepak bola dunia. Gianni Infantino datang langsung ke Indonesia beberapa waktu setelah peristiwa terjadi. Tapi kehadiran Infantino malah memantik kecaman luas dari suporter sepak bola Indonesia.

Alih-alih datang ke Malang untuk bertemu dengan keluarga korban, Infantino malah bermain fun football dengan pengurus PSSI, termasuk ketua PSSI saat itu, Mochamad Irawan.

Sebelumnya, Infantino melakukan rapat dengan jajaran pengurus PSSI, kemudian bertemu dengan Presiden Jokowi. Alih-alih menjatuhkan sanksi, Infantino malah mendukung pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dan transformasi sepak bola Indonesia.

Sikap baik Infantino ini merupakan hasil dari lobi Erick Thohir yang langsung menemui Infatino di Qatar bersamaan dengan pelaksanaan Piala Dunia tahun lalu. Erick yang pernah menjadi presiden klub Seri A Italia Inter Milan, bisa meyakinkan Infantino supaya tidak menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia.

Keluarga korban dan ratusan ribu suporter Arema menuntut agar tragedi ini diselesaikan secara tuntas, termasuk mengadili semua yang terlibat.  Alih-alih mendapat perlakuan hukum yang memuaskan, keluarga korban dan para suporter disuguhi keputusan hukum yang sangat tidak memuaskan.

Dua orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pertandingan hanya dihukum satu setengah tahun dan satu tahun. Dua orang anggota polisi yang dianggap bersalah memerintahkan penggunaan gas air mata malah divonis bebas.

Belum lagi pemilik Arema FC Iwan Budianto yang masih tetap tidak tersentuh hukum. Rangkaian keputusan ini menambah tragis tragedi Kanjuruhan.

Dua menteri kabinet Jokowi, Menteri BUMN Erick Thohir dan Menpora Zainuddin Amali, kemudian ditugaskan untuk mengambil alih PSSI. Erick sudah melihat turnamen Piala Dunia sebagai panggung politik yang bisa mendongkrak citranya sebagai bakal calon presiden. Tetapi skenario itu bubar.

Sepak bola Indonesia rugi besar oleh pencoretan ini. Perhelatan Piala Dunia diperkirakan akan bisa menyedot 1,4 juta turis asing dan jutaan turis lokal. Turnamen ini diperkirakan akan menghasilkan devisa triliunan rupiah dari kehadiran turis dan multiplier effect yang diakibatkannya. Belum lagi faktor promosi gratis bagi pariwisata Indonesia.

Pemerintah Qatar dengan sangar cermat dan cerdik mendesain Piala Dunia sebagai sarana promosi yang luar biasa. Qatar bisa menjadi penyelenggara yang sukses sekaligus bisa menunjukkan jati dirinya sebagai negara Islam. Dengan bekingan penuh dari Gianni Infantino, Qatar berani menolak pemakaian lambang LGBT dan menolak penjualan alkohol.

Sayangnya, kali ini Infantino tidak berani pasang badan dengan menjamin kehadiran Israel di Indonesia. Mungkin Infantino sadar bahwa dia sudah melakukan kesalahan pada kasus Kanjuruhan. Dia tidak mau melakukan dua kali kesalahan dengan menjamin kehadiran Israel ke Indonesia.

Sebagai gibol, Prof. Muhadjir dan Prof. Haedar tentu kecewa tidak bisa menonton bintang-bintang muda sepak bola dunia berlaga di Indonesia. Tetapi risiko perjuangan membuat keduanya harus menerima kenyataan ini.

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version