PWMU.CO – Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Prof Masdar Hilmy menyatakan, relasi antara Islam, Indonesia, dan China sejatinya memiliki kesatuan identitas yang berbeda tapi tidak terpisahkan. Dan, masing-masing saling menguatkan.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam sesi dialog acara The 5th Zhenghe International Peace Forum di UINSA Surabaya, Rabu (18/7/19). Mengusung tema Indonesia and China: Sharing Values of Religions, Cultures and Societies kegiatan ini diikuti oleh perwakilan 12 negara.
Masdar mengatakan, budaya yang saat ini berkembang di masyarakat Indonesia, misalnya, tidak bisa terlepas dari percampuran budaya Islam dan China. Bahkan, akulturasi (percampuran) budaya Tionghoa telah lama mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia. “Dan itu harus diakui,” ucapnya.
Salah satu contoh paling sederhana dari proses alkulturasi budaya itu adalah banyaknya kuliner asli China di Indonesia.
“Hampir bisa dipastikan orang telah lekat dengan makanan seperti siomay, bakso, bakpia, pakpao, mi, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan masakan khas Tionghoa yang sekarang dijual oleh masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Sayangnya, kata dia, hingga kini masih muncul stigma negatif yang mempersoalkan tata hubungan antara Islam, Indonesia, dan China seiring dengan berkembangnya istilah pribumi dan nonpribumi.
Parahnya lagi, katanya, istilah nonpribumi itu kerap kali hanya ditujukan pada etnis Tionghoa. Padahal, di Indonesia ini juga ada keturunan Arab, Eropa, dan lain sebagainya. “This is not good to say, but this is reality,” tuturnya. Menurutnya hal itu tidak baik diungkapkan tapi realitasnya begitu.
Masdar menegarai, stigma negatif itu sengaja dikembangkan untuk kepentingan politik tertentu. “Kita harus jujur ada ‘Politik Identitas yang kembangkan untuk mendeskriditkan etnis Tionghoa di Indonesia,” sebutnya.
Masdar menyatakan, Undang-Undang Republik Indonesia sejatinya telah tegas menyatakan bahwa warga negara sama di mata hukum. Meski, diakunya, masih ada di sebagian pemikiran tentang konsep pribumi dan nonpribumi.
“Ketika kita bicara mengenai pribumi dan nonpribumi, perlakuan kita tidak sama. Yang pribumi itu mana sih? Yang nonpribumi itu mana?” Masdar mempertanyakan.
Maka, ia mengajak setiap orang di negeri ini untuk membangun kesadaran bahwa Indonesia adalah negara Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tapi tetap satu jua.
“So, I would like to thanks to participants from four countries who have been present at this forum and give significant contributions,” tandasnya. Maksudnya, dia ingin mengucapkan terima kasih kepada peserta dari empat negara yang telah hadir di forum ini dan memberikan kontribusi yang signifikan.
Sementara, Prof Song Xiuju dari Central China Normal University, kendati Zhenghe dikenal sebagai panglima perang besar China, tapi selama ia menjalankan misi menjelajah dan tiba di suatu tempat, tidak pernah melakukan penjajahan.
“Zhenghe alias Cheng Hoo tidak pernah mengambil sesenti pun tanah dan kekuasaan,” paparnya. “Zhenghe ini sendiri merupakan seorang Muslim keturunan Arab yang diketahui merantau ke Negeri China,” imbunya.
Prof Song menyebut, Cheng Hoo datang ke berbagai tempat di dunia, tak terkecuali Indonesia, membawa misi damai. “Jadi tak heran jika Cheng Ho dikenal sebagai tokoh perdamaian serta toleransi,” tandasnya. (Aan)
Discussion about this post