Nadjib Hamid Minta Majelis Tarjih dan Tajdid Lebih Responsif pada Isu Aktual

Nadjib Hamid. (Slamet Hariadi/PWMU.CO)

PWMU.CO – Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) hendaknya menjadi penunjang dakwah dengan memfasilitasi kegiatan-kegiatan Persyarikatan, termasuk kegiatan majelis, lembaga, dan organisasi otonom (ortom).

Hal itu disampaikan H Nadjib Hamid MSi dalam pembukaan Kajian Fiqih Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla), Sabtu, (5/10/19).

Wakil Ketua PWM Jatim mendorong agar AUM bersinergi, sehingga mempunyai fungsi ganda. Selain sebagai penunjang kegiatan persyarikatan, juga jalan bagi AUM bersangkutan untuk media promosi secara gratis.

“Sebelum ada kegiatan ini, saya kira belum semua kawan-kawan se-Jatim pernah berkunjung ke Umla, setidaknya bagi utusan Banyuwangi dan Madura. Karena ada momentum inilah, maka menjadi ajang promosi gratis bagi Umla,” ujarnya.

Nadjib berharap dalam kegiatan seperti ini, MTT bisa melibatkan unsur Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) setempat. Karena menurut dia, berapa pun yang hadir, toh biayanya sama. Kalau sedikit yang hadir, berarti yang mendapat manfaat tidak banyak.

“Karena itu lebih baik kita hadirkan sebanyak-banyaknya, utamanya daerah-daerah yang ditempati, agar melibatkan semua PCM-nya. Sehingga mereka punya pengalaman dalam proses pembahasan hukum,” jelasnya.

Pria kelahiran Paciran Lamongan itu juga memberi masukan pada MTT agar lebih responsif terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Misalnya, menghadapi Pilkada 2020, MTT melakukan kajian tentang kepemimpinan publik dalam perspektif Islam, di tengah sistem politik yang liberal seperti sekarang.

“Supaya publik tidak lagi gamang menyikapinya. Pasti nanti ada soal money politik, kualitas calon pemimpin politik yang dipersyaratkan, dan termasuk peran politik perempuan dalam era demokrasi,” ujarnya.

Sebagian peserta Kajian Fikih MTT PWM Jatim. (Slamet Hariadi/PWMU.CO)

Sikap Salafis
Di bagian lain, Nadjib menyinggung soal banyak aktivis Muhammadiyah yang bersikap sangat salafis, yang pandangan keagamaannya, dalam semua hal (baik bersifat ta’abbudi maupun taaqquli), sangat beorientasi pada masa lalu, dan tidak punya konteks masa sekarang.

“Misalnya, ada beberapa mahasiswa di kampus Muhammadiyah tidak mau bekerja di lab dengan alasan bersentuhan dengan alkohol itu haram. Ini kan namanya belum belajar tarjih. Alkohol itu diharamkan menyentuhnya atau meminumnya?” tanya dia.

Nah, sambungnya, di lingkungan kader kita banyak pula yang kerap mengibadahmahdhahkan hal-hal di luar ibadah mahdhah, sehingga gampang membidahkan.

“Padahal jelas, larangan bidah itu hanya ada pada soal-soal yang berhubungan dengan ibadah mahdhah. Kalau dalam muamalah duniawiyah, malah dianjurkan membuat bidah sebanyak-banyaknya. Kan kata Nabi, antum a’lamu bihi (Anda lebih paham masalahnya). Di situlah perlunya ijtihad terus menerus,” paparnya. (*)

Konntributor Slamet Hariadi. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version