Hukum Shalat Ghaib Dikupas Tuntas Majelis Tarjih, Begini Kesimpulannya

KH Ahmad Munir, kiri, dan Dr H Syamsuddin dalam Kajian Fiqih di UMLA. (Falah/pwmu.co)

PWMU.COMajelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur mengadakan Kajian Fiqih di Aula Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla), Sabtu (5/10/19).

Perkara yang dikaji Shalat Ghaib: Sejarah, Hukum, dan Problematikanya di Kalangan Ulama Muhammadiyah. Menghadirkan dua pengulas yaitu Dr H Syamsuddin MAg (Wakil Ketua PWM Jawa Timur) dan KH Ahmad Munir (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur).

Di awal paparannya, KH Ahmad Munir menceritakan, sesungguhnya menshalati mayat yang berada di tempat lain itu sudah pernah dilakukan oleh Nabi SAW terhadap mayat Najasyi, Raja Habasyah, yang bernama Ashhamah pada hari kematiannya.

Nabi menshalatinya secara berjamaah bersama beberapa sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Jabir, Imron bin Hushain, dan Khudzaifah bin Asid radhiyallahu ‘anhum. Karena itu, lanjut Ahmad Munir, beberapa hadits Nabi yang mendasari shalat ghaib ini bersumber dari nama-nama sahabat Nabi tadi.

Dia juga memaparkan tiga perbedaan pendapat dalam memahami dalalah hadits Nabi Muhammad saw tentang shalat ghaib ini, sehingga mereka berbeda pendapat tentang hukumnya.

Pertama, kata Munir, shalat ghaib tidak disyariatkan, kecuali apabila mayat tersebut berada di negeri yang tidak ada orang yang menshalatinya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Pendapat ini juga diikuti oleh Al-Khoththobi, Sholih al-Muqbili, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan Syekh Sholih Al-Utsaimin.

Ada enam alasan yang dikemukakan. Di antaranya adalah Nabi Muhammad melakukan shalat ghaib atas Najasyi karena di negerinya (Habasyah) tidak ada yang menshalatinya.  Merujuk kitab Naiul Author 2/704 dan Aunul Ma’bud juz  7/190.

”Pendapat kedua, shalat ghoib disyariatkan secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad,” tandasnya.

Tujuh argumentasi diajukan untuk pendapat ini. Di antaranya melakukan shalat ghaib bukan khushushiyah Nabi saw. Karena ketika menshalati Najasyi, Nabi mengajak atau menyuruh para sahabatnya untuk menshalatinya.

Pendapat ketiga, shalat ghaib disyariatkan untuk orang-orang yang mempunyai peran atau jasa besar kepada Islam dan kaumi muslimin. Karena Nabi tidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali untuk Najasyi yang besar jasanya kepada Islam saat melindungi kaum muslimin yang hijrah ke negaranya.

Di antara ketiga pendapat tersebut, Ahmad Munir mentarjih, memilih yang lebih kuat, dari  ketiga pendapat tersebut. Menurut kiai Pondok Moderen Paciran itu, pendapat yang lebih kuat (rojih) adalah pendapat yang kedua dengan ragam argumentasinya. Yaitu hadits tentang Nabi Muhammad saw menshalati Najasyi tidak diragukan keshahihannya, maka tidak diragukan bahwa Nabi telah melakukan shalat ghaib.

Alasan kedua, semua perbuatan (fiil) Nabi saw menjadi ikutan umatnya, meskipun hanya satu kali mengerjakannya. Selama tidak ada dalil sahih yang melarang mengikutinya.

”Karena tidak ada dalil yang sahih yang melarang untuk melakukan shalat ghaib, maka berlaku kaidah fiqhiyah  Al-ashlu fi kulli amrin min al-umur asy-syar’iyyah ‘adam al-khushushiyyah hatta yaquma ad-dalil ‘alaiha. Artinya pada dasarnya dalam setiap perkara syar’iyah tidak ada kekhususan sampai  ada  dalilnya,” tandas pria asal Lamongan ini.

Peserta Kajian Fiqih di UMLA. (Falah/pwmu.co)

Sementara Dr Syamsuddin mengungkapkan kembali pendapat Ahmad bin Muhammad al-Khattabiy yang wafat tahun 288 H, seorang muhaqqiq dari mazhab Asy-Safi’i dalam kitab Ma’aalim as-Sunan yang merupakan syarah atas Sunan Abi Dawud.

Dalam kitab itu Ahmad Al Khattabiy mengatakan, menurut hemat saya an-Najasyi adalah seorang muslim yang telah beriman kepada Rasulullah saw dan membenarkan kenabiannya. Hanya saja dia menyembunyikan keimanannya.

Seorang muslim jika ia meninggal dunia, maka kaum muslimin berkewajiban untuk menshalatkannya, kecuali jika dia berada di tengah-tengah kaum kafir, sementara itu tidak ada seorangpun di sekelilingnya yang bersedia menshalatkannya.

 (Dalam kondisi seperti itu) Rasulullah saw mengharuskan diri untuk mengerjakan shalat tersebut, karena beliau adalah nabi sekaligus walinya serta orang yang paling berhak atasnya. Mungkin inilah, wallahu a’lam, alasan yang mendorong Nabi saw untuk mengerjakan shalat jenazah dari kejauhan (shalat ghaib).

Kesimpulannya, berdasarkan hal tersebut, maka jika ada seorang muslim meninggal dunia di sebuah negeri (wilayah), kemudian kewajiban shalat jenazah atasnya sudah ditunaikan, maka tidak perlu lagi orang lain yang berada di negeri (wilayah) lain untuk mengerjakan shalat ghaib untuknya.

Dan jika dia mengetahui bahwa yang meninggal dunia tersebut tidak dishalatkan karena adanya rintangan atau sebab lain yang menghalanginya, maka disunnahkan untuk menshalatkannya dan hal itu tidak boleh ditinggalkan hanya karena jaraknya yang jauh.

Jika mengerjakan shalat atas jenazahnya, maka mereka harus menghadap kiblat, dalam arti tidak perlu menghadap ke arah negeri di mana jenazah tersebut berada, manakala negeri tersebut terletak tidak searah dengan kiblat. (Ma’alim as-Sunan, I/310).

Kajian Fiqih ini diikuti oleh pimpinan dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Jawa Timur dan PCM se- Lamongan. Acara dibuka oleh Wakil Ketua PWM Drs H Nadjib Hamid MSi.

Dalam kesempatan ini  hadir juga Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur, ketua dan anggota PDM Lamongan dan beberapa ulama Muhammadiyah Lamongan di antaranya tampak KH Anwar Mu’rob, KH Afnan Anshori, KH Dawam Sholeh.

Sebelum dimulainya kajian terlebih dahulu dilaunching Lembaga Bantuan Hukum Muhamadiyah (LBHMu) Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Pimpinan Daerah Aisyiyah Lamongan. (*)

Penulis Maslahul Falah  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version