Cerita Rindu Sekolah Guru Muhata

Cerita sebal rindu Covid-19 Guru Muhata ketika dua bulan menjalani proses pembelajaran dari rumah. Seperti yang disampaikan Humaiyah SPd, Selasa (5/5/20).
Gedung SMP Muhata. Ada cerita rindu sekolah (Humaiyah for PWMU.CO)

PWMU.CO – Cerita rindu sekolah guru Muhata ketika dua bulan menjalani proses pembelajaran dari rumah. Seperti yang disampaikan Humaiyah SPd, Selasa (5/5/20).

Merebaknya Covid-19 yang membuat dua bulan pembelajaran dilakukan dari rumah menimbulkan kerinduan. Tidak hanya siswa, para guru pun merasakan hal yang sama. Mereka rindu tingkah polah, celetuk, maupun sapaan para siswanya.

Tak terkecuali para guru Muhammadiyah Boarding School (MBS) SMP Muhammadiyah 4 Tanggul Jember (Muhata). Di sekolah tersebut, banyak lahan masih kosong serta baru beberapa bulan menempati gedung sekolah. Di tempat itulah, para guru menyaksikan cerita sebal rindu dan senda gurau para siswa.

Celana Robek

Salah satu cerita datang dari suatu tempat yang menjadi ciri khas SMP Muhata. Tempat tersebut adalah jalan persimpangan di depan kantor sekolah. Jalan yang sudah dipasang pavling itu terdapat dua jalur. Kanan di depan kelas putra untuk siswa laki-laki. Untuk siswa perempuan berada di kiri, di depan kelas putri.

Ada sebuah kesepakatan di Muhata, setiap siswa ketika hendak ke masjid, atau baru datang ke sekolah, mereka harus melalui jalur masing-masing dan tidak boleh melanggar.

Jalan persimpangan SMP Muhata (Humaiyah for PWMU.CO)

Pernah ada kejadian lucu yang menghebohkan dengan jalan persimpangan itu. Usai kuis seni budaya di kelas VIII-A, sesuai kesepakatan awal, tim yang kalah menggendong tim yang menang. Sambil memutar halaman satu kali melalui jalur kelas puteri. Kebetulan siswa puteri sedang pembelajaran di dalam kelas.

Guntur, salah seorang anggota tim yang kalah, menggendong Adit, sapaan Fikar Aditya Putra. Guru Seni Budaya Humaiyah memberikan instruksi menggendong dengan berjalan saja, tidak berlari. Namun, instruksi sang guru ternyata tidak dijalankan dengan baik.

Awalnya Guntur berjalan, namun sesampainya di depan kelas puteri, dia berlari. Tak ayal, karena tidak bisa mempertahankan keseimbangan tubuh, dia terjatuh. Demikian juga dengan Adit yang digendongnya.

“Gedebuk, waduh,” terdengar teriakan Guntur. Sambil meringis dia tetap menggendong Adit sampai garis finish.

“Kenapa lari, Mas. Ibu sudah bilang jalan saja?”  tanya Humaiyah.

“Malu, Bu, lewat kelas cewek,” jawab Guntur.

Humaiyah lalu memeriksa kaki Guntur dan Adit. Lutut Adit lecet sedikit. Tapi tidak dengan Guntur, dia baik-baik saja, hanya celananya yang robek.

“Waduh Mas, gimana ini,” kata Humaiyah sambil mengeryitkan dahinya. Guntur hanya tersenyum malu. Teman-teman saling berpandangan sambil cekikian. Melihat Guntur jalannya melenggak lenggok sambil menutupi pantatnya.

“Mau ganti celana yang ada di sekolah atau celana robeknya dijahit,” tanya Humaiyah.

“Saya jahit saja Bu,” jawab Guntur. Humaiyah lalu mengambilkan jarum dan benang ke kantor.

“Baiklah, kebetulan memasuki waktu dhuhur, kamu jahit celanamu. Nanti sholat sendiri saja,” ujar Humaiyah. Saat teman-temannya menjalankan shalat Dhuhur. Guntur menutup rapat kelas kemudian menjahit celana yang robek.

Lukmanul Hakim sang Muadzin

Siswa lain yang yang tidak kalah uniknya adalah Lukmanul Hakim. Siswa pindahan ini banyak polah dan tingkah. Bicaranya ceplas-ceplos, sering membuat guru dan temannya jengkel. Sudah seringkali diingatkan dan berkali-kali pula diberi hukuman karena lontaran kata-katanya yang tak pantas.

Pernah suatu hari, saat pelajaran Kemuhammadiyahan di kelasnya, Humaiyah menjelaskan siapa sosok  Lukmanul Hakim, nama manusia mulia yang disebut dalam al-Quran.

“Kalian tahu tidak, Lukmanul Hakim adalah manusia yang dimuliakan Allah. Beliau bukan Nabi atau Rasul. Akan tetapi namanya diabadikan Allah dalam al-Quran menjadi salah satu nama surat,” ujarnya.

Setiap kata yang diucapkan Lukmanul Hakim, lanjutnya, mengandung mengandung  hikmah yang sangat dinantikan. “Nasehat-nasehatnya selalu dirindukan umat,” tutur Humaiyah.

Tiba-tiba, salah seorang siswa di kelas bernama Saydad Amzad Arrasi nyeletuk menggunakan bahasa Madura. “Begh, Bu Guru, ibunya Lukman tepak ka se lopot (waduh Bu Guru, Ibunya Lukman keliru memberi nama ),” kata Aksay, sapaannya. Sejurus kemudian tawa memenuhi ruangan.

Ada satu kelebihan siswa yang bernama Lukman. Dia memiliki suara merdu. Sering kali setiap memasuki waktu shalat dhuhur atau ashar, dia diminta mengumandangkan adzan. Hingga suatu hari, dia pernah protes karena sering disuruh adzan. Lalu dijawab oleh sang guru.

“Insyaallah kamu nanti jadi muadzin di Masjid al-Haram. Nah sekarang latihannya di sekolah dulu,” kata Humaiyah. Lukman pun tersenyum sumringah mendengarnya. (*)

Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version