Bolehkah Shalat Gerhana setelah Ashar?

Dr Syamsuddin MA, penulis Bolehkah Shalat Gerhana Setelah Ashar? (Dokumen PWMU.CO)

Bolehkah Shalat Gerhana Setelah Ashar? Kajian ditulis oleh oleh Dr Syamsuddin MA, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Juga Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

PWMU.CO – Dalam dua hari ini penulis ditelepon tujuh orang. Mereka menyampaikan pertanyaan yang sama, “Waktu pelaksanaan shalat gerhana hari ini, apakah shalat Ashar lebih dulu baru kemudian melaksanakan shalat gerhana, ataukah sebaliknya.”

Pertanyaan ini muncul karena hari ini tanggal 21 Juni 2020 akan terjadi gerhana matahari cincin yang melintas pada sebagian kota besar di Indonesia termasuk Jawa Timur.

Dalam Maklumat Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.1/E/2020, dijelaskan gerhana matahari cincin terlihat di Surabaya mulai pukul 15.01-15.41 WIB.

Masalah ini sebenarnya cukup populer dalam literatur fikih, karen masuk dalam pembahasan waktu-waktu terlarang mendirikan shalat. Jadi tidak sulit untuk merujuknya. Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 15 Tahun 2018 misalnya, sudah menurunkan artikel tentang masalah ini.

Waktu Ibadah

Syariat Islam mengajarkan supaya umat Islam mendirikan shalat— baik yang fardu maupun yang sunnah—pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Allah berfirman dalam Surat an-Nisa Ayat 103:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَت عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Selain itu, Islam juga mengajarkan agar umat Islam tidak mendirikan shalat pada waktu-waktu tertentu, karena hikmah dan argumentasi yang terkadang tidak diketahui. Semua itu sebagai ujian ketaatan kepada Allah.

Waktu-waktu yang dilarang mendirikan shalat ada lima, yaitu: 1) Setelah shalat Subuh sampai terbit matahari; 2) Saat terbit matahari sampai naik sekitar satu anak panah; 3) ketika matahari tepat di atas kepala sampai waktu shalat Zhuhur.

Juga 4) saat matahari berwarna kekuningan hingga terbenamnya matahari, dan 5) waktu setelah shalat Ashar sampai terbenamnya matahari.

Waktu nomor 1 dan 5 dilarang shalat berdasarkan kepada hadis dari Abi Sa’id al-Khudri RA riwayat al-Bukhari.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ ) رواه البخاري (

Dari Abu Said al-Khudri EA, ia berkata: Saya mendengar rasulullah saw. bersabda: Tidak boleh shalat setelah subuh sampai matahari naik (sedikit), dan tidak boleh shalat setelah asar sampai matahari menghilang (terbenam).

Sedangkan waktu nomor 2, 3, dan 4 dilarang shalat berdasarkan kepada hadis Uqbah bin Amir RA riwayat Muslim:

عن عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِىَّ يَقُولُ: ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ – رواه مسلم

“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, ia berkata: ‘Tiga waktu yang Rasulullah SAW melarang kami untuk shalat dan menguburkan orang yang mati di kalangan kami pada waktu-waktu tersebut:

Ketika matahari terbit sampai naik, ketika matahari berada di kulminasi (titik tertinggi) sampai tergelincir, dan ketika matahari condong untuk terbenam sampai terbenam.'”

Apabila direnungkan, lima waktu yang dilarang shalat tersebut bisa dirangkum menjadi tiga waktu seperti berikut. Pertama, qaktu setelah shalat Subuh sampai matahari naik agak tinggi. Kedua, waktu matahari tepat di atas kepala sampai waktu shalat Dhuhur, dan waktu setelah shalat Ashar sampai terbenamnya matahari.

Namun perlu dijelaskan di sini bahwa shalat yang dilarang pada waktu-waktu di atas bukan semua shalat, tetapi yang dilarang adalah shalat rawatib setelah Subuh dan Asharm serta shalat sunnah tanpa sebab.

Yang dimaksud shalat sunnah tanpa sebab adalah shalat sunnah mutlak, yaitu yang didirikan tanpa sebab apapun selain mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun shalat fardu lima waktu yang tertinggal—demikian pula shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab tertentu— maka shalat-shalat tersebut boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang seperti di atas.

Umpamanya, ada orang yang belum shalat Dhuhur karena lupa atau tertidur, maka ia harus segera mengerjakannya ketika bangun atau mengingatnya, meskipun saat itu adalah waktu terlarang.

Dalilnya adalah hadis berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ نَبِىُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا رواه مسلم

“Dari Anas bin Malik ia berkata: Nabi SAW, bersabda: Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur darinya, maka tebusannya adalah ia mendirikan shalat tersebut apabila ia mengingatnya.” (HR Muslim).

Demikian pula shalat-shalat sunnah yang ada sebabnya, Semua itu boleh dikerjakan pada waktu-waktu terlarang. Contoh shalat sunnah khusuf atau shalat gerhana bulan, shalat sunnah tahiyyatul masjid, shalat sunnah setelah thawaf, shalat sunnah kusuf (gerhana), shalat sunnah istisqa‘ (minta hujan), termasuk shalat jenazah yang hukumnya fardu kifayah.

Rasulullah SAW pernah shalat sunnah dua rakaaat pada waktu terlarang yaitu setelah shalat Ashar. Namun beliau melakukannya karena ada sebab yaitu karena sibuk melayani umatnya, sebagaimana riwayat berikut:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ – رواه البخاري

“Dari Ummu Salamah EA Nabi SAW, shalat dua rakaat setelah Ashar, dan beliau bersabda: Orang-orang dari kabilah Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat tersebut setelah Zhuhur (HR al-Bukhari).”

Dalil lainnya:

عَن أَبِي هُرَيرَةَ قَالَ: قَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَال حَدَّثَنِي بِأرْجَى عَمَلٍ عَمَلْتَهُ مَنْفَعَة فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي قَدْ سَمِعْتُ اللَّيْلَةَ خشف نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَي فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ: مَا عَلِمْتُ يَا رَسُولَ اللهِ فِي الْإِسْلَامِ عِنْدِي عَمَلًا أَرْجَى مَنْفَعَة مِن أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّر طُهُورًا تَامًا قَطّ فِي سَاعَةٍ مِن لَيْلٍ أَو نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ لِرَبِّي مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّي – رواه ابن خزيمة

“Dari Abu Hurairah ia berkata: Nabi Allah SAW, bersabda kepada Bilal tatkala shalat Subuh: Hai Bilal ceritakan kepadaku amal apakah yang telah kamu kerjakan yang paling kamu harapkan manfaatnya di dalam Islam, karena sungguh aku mendengar suara kedua sandalmu malam ini di hadapanku di dalam surga.

Bilal menjawab: Wahai Rasulullah, saya tidak mengetahui amal di dalam Islam yang lebih saya harapkan lebih dari bahwa saya tidak bersuci dengan sempurna baik pada waktu malam maupun siang melainkan saya shalat karenanya untuk Tuhanku seberapa banyak yang telah ditentukan untukku bershalat.” (HR Ibnu Khuzaimah)

Hadis ini menunjukkan disunnahkannya shalat sunnah wudhu pada waktu siang maupun malam, baik waktu terlarang maupun bukan.

Adapaun shalat jenazah bakda Ashar atau bakda Subuh dibolehkan, karena ia merupakan shalat dengan sebab tertentu.

Terdapat atsar atau perbuatan sahabat Nabi SAW, dalam hal ini adalah perbuatan Abdullah bin Umar, yang melaksanakan shalat jenazah pada saat setelah asar dan setelah subuh, sebagaimana riwayat berikut ini:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مَالِكٌ، وَابْنُ سَمْعَانَ، وَاللَّيْثُ أَنَّ نَافِعًا، أَخْبَرَهُمْ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، ” أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ عَلَى الْجَنَازَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَبَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ إِذَا صَلَّاهُمَا لِوَقْتِهِمَا “

“Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata, Malik, Ibnu Sam’an dan Al Laits mengabarkan kepadaku, bahwa Nafi’ mengabarkan kepada mereka dari Abdullah bin Umar bahwa dia shalat jenazah setelah Asar dan setelah shalat Subuh setelah dia melaksanakan shalat Asar dan Subuh tersebut.” (HR Malik dalam kitab al-Muwatha).

Larangan shalat jenazah sebagaimana terdapat pada hadis ‘Uqbah bin ‘Amir di atas adalah berlaku ketika seseorang secara sengaja memilih tiga waktu itu untuk shalat.

Ini berbeda ketika dia mengerjakannya bersifat kebetulan, tidak terlarang untuk dilakukan di semua waktu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan hadis Uqbah bin Amir di atas mengatakan:

“Shalat jenazah tidak terlarang dilakukan di waktu ini dengan sepakat ulama. Makna hadis ini adalah seseorang dengan sengaja mengakhirkan waktu pemakaman sampai waktu terlarang tersebut, sebagaimana kita dilarang mengakhirkan shalat Ashar sampai matahari menguning tanpa ada alasan yang dibenarkan.

Namun jika pada saat pemakaman berbenturan dengan tiga waktu larangan ini di luar kesengajaan, maka tidak ada masalah.” (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah min Majmu’ Fatawa/ 82).

Adapun menunaikan shalat sunnah gerhana pada waktu-waktu terlarang sebagaimana dalam hadis Amir bin Uqbah al-Juhani di atas, patut kita perhatikan hal -hal sebagai berikut:

Pertama, menurut pendapat yang rajih, shalat di waktu terlarang berlaku untuk shalat sunnah rawatib dan shalat sunah mutlak, yaitu shalat sunah tanpa sebab tertentu.

Kedua, shalat gerhana termasuk shalat sunah muakkad yang memiliki sebab tertentu , yaitu adanya gerhana matahari atau bulan. Sehingga shalat ini boleh dilakukan, sekalipun di waktu terlarang.

An-Nawawi mengatakan, Jika fajar telah terbit dan terjadi gerhana bulan setelah fajar terbit, maka pendapat Imam asy-Syafii dalam al-Qaul al-Jadid, shalat gerhana dianjurkan untuk dilakukan, (al-Majmu’, 5/54).

Ketiga, shalat gerhana dikerjakan disebabkan melihat gerhana. Sehingga selama pengaruh gerhana itu masih kelihatan, tetap disyariatkan untuk shalat.

Nabi SAW pernah berkhutbah seusai shalat kusuf. Dalam khutbahnya, beliau bersabda;

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى الصَّلاَةِ

“Jika kalian melihat gerhana maka segeralah mengingat Allah Azza wa Jalla, dan melaksanakan shalat.” (HR ad-Darimi 1569).

Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat, jika terjadi gerhana bulan setelah shalat Subuh, maka tetap dianjurkan untuk melaksanakan shalat gerhana sampai matahari bersinar terang. Karena bulan akan pudar dan gerhana tidak kelihatan, sehingga tidak dianjurkan mengerjakan shalat. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, XIII / bab shalat Kusuf)

Keempat, jka shalat belum selesai sementara gerhananya sudah lenyap, maka shalat tetap dilanjutkan sampai selesai. Waallahu a’lam. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version