Leviathan, Perang Monster Istana Vs Petamburan

Korporasi Nggragas Para Taipan, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior, tinggal di Surabaya.
Dhimam Abror Djuraid penulis Leviathan, Perang Monster Istana Vs Petamburan

Leviathan, Perang Monster Istana Vs Petamburan, kolom ditulis oeh Dhimam Abror Djuraid, waratawan senior.

PWMU.CO – Tidak seperti biasanya, raut muka Presiden Joko Widodo kali ini tegang dan serius, dan pernyataan yang ia ucapkan sangat serius. “Negara tidak boleh kalah.”

Waduh. Tak boleh kalah lawan siapa, nih?

Malam sebelumnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto juga tampil tak kalah sangar. Dengan seragam loreng dan kumisnya yang tebal Panglima TNI akan menindak semua ancaman terhadap negara kesatuan NKRI.

Flashback lagi. Malam sebelumnya secara mendadak dua kapolda, Metro dan Jabar, diganti di tengah malam karena dianggap tidak mampu mencegah kerumunan massa di tengah kondisi pandemi yang masih panas.

Flashback lagi beberapa hari sebelumnya, tepat 10 November, Habib Rizieq Shihab (HRS) baru mendarat dari Arab Saudi setelah tiga setengah tahun menetap di sana.

Ini dia rupanya pangkal persoalannya. Kedatangan HRS yang dilanjut dengan pengumpulan massa puluhan ribu di Petamburan menimbulkan ketegangan yang benar-benar tegang seperti ada monster lepas. Monster yang mengancam kesatuan. Monster yang mengancam jalan demokrasi.

Jalan demokrasi adalah jalan panjang, terjal, berbatu, licin, gelap, dan berbahaya. Di kanan kiri terdapat jurang menganga yang curam dan membahayakan. Terpeleset ke kiri bisa bahaya, terpelanting ke kanan bisa celaka.

Jalan demokrasi ibarat lorong sempit yang tidak gampang untuk dilalui, sekali kita masuk ke dalamnya buka berarti kita akan aman dan bisa terus-menerus berada di jalur yang benar. Lengah sedikit kita akan terpelanting dan teperosok keluar dari koridor sempit itu, dan bisa terhempas kedalam jurang yang menyakitkan.

Monster Leviathan

Di kiri-kanan lorong sempit itu hidup sesosok monster yang siap memangsa kita setiap saat. Thomas Hobbes (1588-1679) menggambarkan makhluk itu sebagai Leviathan, berbentuk monster laut berwajah ganda, di tangan kanan memegang pedang besar, di tangan kiri memegang tongkat raja.

Hobbes menjadikannya sebagai judul buku yang diterbitkan pada 1651. Dengan pendekatan empirisme-materialisme Hobbes menggambarkan manusia hidup dalam kondisi ”warre”, saling memangsa satu sama lainnya. Hidup dalam kondisi “warre” adalah hidup yang “short, brutish, nasty, poor, solitary” (pendek, brutal, keji, melarat, dan sepi).

Kondisi yang buruk, manusia saling memangsa, “homo homini lupus“, manusia adalah srigala bagi sesamanya. Hidup manusia digambarkan menjadi pendek, brutal, keji melarat, dan sepi.

Karena kondisi yang buruk dan saling memangsa itu maka harus ada kekuatan yang bisa mengatasi.
Maka negara hadir menjadi kekuatan monster Leviathan untuk mengatasi kekacauan dan memberi kesejahteraan.

Namanya juga monster berwajah ganda, Leviathan bisa menjadi monster baik budi yang mewujudkan commonwealth, kesejahteraan umum, tapi juga bisa menjadi monster pemangsa yang ganas.

Negara harus hadir dengan kekerasan untuk mengatasi kekerasan. Karena itu monster Leviathan bertangan ganda, bisa membawa kesejahteraan dan juga bisa menciptakan penderitaan.

Karena itu keseimbangan harus dijaga. Negara tidak boleh terlalu kuat sehingga menjadi semena-mena, tapi juga tidak boleh terlalu lembek karena bakal kehilangan wibawa.

Kalau negara kehilangan wibawa dan masyarakat menjadi terlalu kuat yang muncul kemudian adalah anarkisme.

Hampir 450 tahun berselang sejak Hobbes memublikasikan Leviathan, kondisi hidup manusia modern ternyata tidak banyak berubah. Leviathan jahat masih tetap bermunculan di mana-mana. Kita semua masih harus terus berjuang menghadapi sang monster jahat itu. Pada sisi lain, anarkisme juga masih tetap menjadi ancaman yang harus kita waspadai.

Daron Acemoglu dan James Robinson (2019) melihat bahwa sejarah masyarakat dunia berada dalam bayang-bayang Leviathan, dan harus selalu berjuang untuk mencapai keseimbangan sehingga ancaman Leviathan jahat dalam bentuk kekuasaan yang otoriter bisa dihilangkan. Di sisi lain, masyarakat tetap hidup tenteram tanpa gangguan anarkisme dari kekuatan masyarakat yang tidak terkontrol.

Dalam buku The Narrow Corridor: State, Societies, and the Faith of Liberty (2019) Acemoglu dan Anderson mengatakan bahwa demokrasi adalah lorong sempit (the narrow corridor) yang rumit dan sulit untuk dimasuki. Untuk bisa menembus lorong itu masyarakat harus bisa menjinakkan sang monster Leviathan jahat, dan setelah itu harus bisa menjaga keseimbangan tatanan masyarakat.

Ketika Leviathan jahat berkuasa maka negara akan menjadi despotik, otoriter, dan anti-demokrasi. Hak-hak rakyat akan dikebiri dan hidup rakyat senantiasa dalam bahaya karena kebebasan (liberty) sudah diberangus. Negara menjadi terlalu kuat dan yang berkuasa pada keadaan seperti ini adalah monster Leviathan yang despotik (Despotic Leviathan).

Tapi, ketika masyarakat bisa menundukkan Leviathan maka tidak otomatis kondisi akan baik. Bisa jadi kondisi akan sama buruknya karena ketiadaan Leviathan bisa jadi akan diisi oleh kekuasaan masyarakat yang anarkis yang menghasilkan chaos karena absennya hukum setelah monster Leviathan sudah tidak ada lagi. Inilah kondisi yang disebut Absent Leviathan.

Lantas bagaimana solusi idealnya? Acemoglu dan Anderson menawarkan konsep keseimbangan antara kekuatan negara dan civil society (masyarakat madani), sebagaimana yang dikenal dalam konsep checks and balances.

Negara tidak boleh terlalu kuat supaya tidak menjadi despotik dan melahirkan “Despotic Leviathan“. Sebaliknya, masyarakat tidak boleh menjadi terlalu kuat karena akan terjadi anarki karena tidak adanya kekuatan Leviathan (Absent Leviathan).

Keseimbangan ini amat rumit dan tidak bisa dianggap remeh, taken for granted, dan membutuhkan perjuangan dan komitmen yang terus-menerus.

Konsep keseimbangan ini oleh Acemoglu dan Anderson disebut sebagai “Efek Ratu Merah” (Red Queen Effect) yang diambil dari kisah klasik “Alice in Wonderland” (Lewis Carrol, 1865). Dalam sebuah episode digambarkan Alice tetap berjalan di tempat kendati sudah berlari kencang untuk mengejar Ratu Merah. Alice tidak akan bisa mengejar Ratu Merah selama sang ratu tidak memperlambat jalannya sehingga Alice bisa menyusul.

Dalam terminologi modern Efek Ratu Merah ibarat orang berjalan di atas treadmill, tidak boleh terlalu cepat tapi tidak boleh terlalu lambat, harus selalu pas dan sejajar untuk menjaga keseimbangan.

Ketika kekuatan masyarakat dan negara berada pada keseimbangan, maka demokrasi berada pada posisi ideal. Ketika tercapai keseimbangan itu maka koridor akan terbuka dan masyarakat akan menikmati kebebasannya.

Acemoglu melihat Amerika sebagai contoh ideal negara yang masuk dalam koridor demokrasi, karena keseimbangan kekuatan negara vs masyarakat yang seimbang karena saling mengontrol. Sedangkan China dianggap berada di bawah kekuasaan monster Leviathan yang despotik karena kekuasaan negara yang terlalu kuat.

Tetapi, empat tahun terakhir pemerintahan Donald Trump ada kecenderungan Amerika bergeser ke arah Despotic Leviathan. Banyak yang bersyukur Trump yang despotik akhirnya kalah oleh Joe Biden yang akan membawa kembali Amerika ke jalur tengah dengan pendekatan Biden yang centris-right, kanan tengah.

Dimana Indonesia berada? Adakah kita berada di dalam koridor sempit demokrasi? Beberapa perkembangan terbaru membuat kita harus waspada supaya Efek Ratu Merah tetap bisa kita pertahankan, karena potensi Despotic Leviathan maupun Absent Leviathan ada di depan mata.

Beberapa perkembangan mutakhir menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menjadikan negara menjadi lebih kuat dibanding civil society. Saat ini, praktis tidak ada kekuatan oposisi yang efektif untuk mengontrol negara.

DPR nyaris mutlak dikuasai partai-partai pendukung kekuasaan. Lembaga anti-korupsi seperti KPK telah terkooptasi menjadi bagian dari korporatisme negara. Pengesahan UU Cipta Kerja yang tetap mulus meskipun demo buruh dan mahasiswa kencang juga menjadi bukti tambahan.

Media yang diharapkan menjadi pilar keempat demokrasi pengontrol kekuasaan belum bisa berperan optimal.

Perkembangan ini membuat kekuasaan negara makin kuat vis a vis masyarakat. Potensi Despotic Leviathan sudah menjunjukkan tanda-tanda kemunculan.

Kemunculan kembali HRS akankah membawa keseimbangan kembali ke jalan demokrasi yang sempit atau malah akan tergelincir ke kiri atau ke kanan?

Tarik-menarik itulah yang sekarang tengah terjadi. Kekuatan monster negara vs kekuatan monster civil society. Kekuatan Istana vs kekuatan Petamburan.

Di tengah tarik-menarik yang penuh ketegangan ini ada sedikit hiburan yang lumayan mengendorkan saraf. Selebgram Nikita Mirzani menyeruak seperti sideshow, pertunjukan sampingan, dengan pernyataan yang sekadar bunyi tapi ternyata banyak menuai reaksi.

Pernyataannya soal habib jualan obat seperti memancing di air keruh yang ternyata berhasil mendapatkan banyak ikan juga.

Reaksi yang bermunculan bermacam-macam, ada yang simpati ada yang mencaci. Ada yang lebay sampai mau menggeruduk rumah segala.

Adu perang meme di medsos tak kalah ramai.
Ada tiga foto berjejer. Foto pertama perempuan cantik dengan caption: Nikita Willy. Gambar kedua ada foto seksi dengan caption: Nikita Mirzani. Gambar ketiga ada foto dengan caption: Nikita Lengserin. (*)

Leviathan, Perang Monster Istana Vs Petamburan: Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version