Kebangkitan Keluarga di Masa Pandemi

Kebangkitan Keluarga
Daniel Mohammad Rosyid

Kebangkitan Keluarga di Masa Pandemi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.

PWMU.CO– Pandemi Covid-19 telah membawa banyak masalah dan penderitaan, tapi bisa membawa kebaikan bila disikapi cerdas. Pandemi memberi kesempatan pada keluarga untuk bangkit mengambil alih kembali tugas pendidikan yang selama ini diserahkan ke guru di sekolah, sekaligus tugas produktif yang selama ini diserahkan ke korporasi besar.

Selama pandemi, banyak sekolah menjadi gudang dan guru satpamnya. Banyak korporasi besar yang merugi dan bangkrut lalu tutup.

Sebelum pandemi, monopoli radikal persekolahan telah menyebabkan biaya sekolah makin tinggi dengan efektivitas yang justru menurun. Terutama sejak internet makin tersedia. Kita perlu mensyukurinya sebagai blessing in disguise dengan mengambil prakarsa berani sekaligus kreatif.

Sejak revolusi industri 200 tahun silam, peran keluarga secara perlahan tapi pasti makin berkurang. Bahkan konsep keluarga yang selama ini kita kenal, nyaris hampir dilupakan di Inggris di mana revolusi industri pertama terjadi.

Penemuan mesin uap yang diikuti mekanisasi luas, memerlukan buruh terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sebagai wujud mekanisasi ini. Misi sekolah adalah menyiapkan buruh terampil untuk menjalankan mesin-mesin itu.

Melemahnya Keluarga

Di negeri-negeri jajahan seperti Indonesia, sekolah mengemban misi tambahan: menyiapkan buruh yang patuh dan taat untuk bekerja bagi kepentingan penjajah dan investor asing.

Semula hanya anak laki-laki yang disekolahkan. Tapi industrialisasi membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, maka anak-anak perempuanpun mulai dikeluarkan dari rumah untuk disekolahkan.

Lulusan sekolah ini kemudian bekerja di pabrik-pabrik, dari pagi hingga petang. Interaksi bebas di pabrik-pabrik itu kemudian mengubah pola hubungan lelaki-perempuan menjadi lebih bebas. Lahirlah kemudian revolusi seks dan alat kontrasepsi.

Saat institusi pernikahan kehilangan relevansi, berkembang pesat seks bebas di luar nikah, pornografi, dan, belakangan, LGBT.

Begitulah wajah dunia selama 100 tahun terakhir dibentuk oleh dua institusi utama ini: persekolahan dan korporasi. Di manapun, persekolahan adalah instrumen teknokratik penyediaan prasyarat budaya bagi masyarakat industri.

Gelombang industrialisasi ini kemudian diikuti urbanisasi besar-besaran di seluruh dunia dan mendorong marginalisasi sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, serta perikanan. Usia petani dan nelayan makin tua, karena anak-anak muda yang telah disekolahkan lebih suka hidup di perkotaan sebagai buruh pabrik, penjaga toko, PNS atau profesional.

Dengan menggantungkan gaji bulanan yang pasti, perbankan mulai ikut membangun budaya utang yang bisa dicicil bulanan pula. Begitulah budaya utang konsumtif subur berkembang.

Memberdayakan Keluarga

Kebangkitan internet, lalu pandemisasi Covid-19 menunjukkan bahwa banyak hal dalam pendidikan dan produksi bisa dilakukan di rumah. Tidak sekadar dari rumah, tapi benar-benar di rumah. Dari study from home menjadi study at home, dari work from home menjadi work at home.

Bahkan dengan kebangkrutan massal beberapa korporasi besar, keluarga perlu mulai memberdayakan diri menjadi simpul-simpul produktif berskala kecil.

Kegiatan produktif di tingkat keluarga, dan kesempatan belajar yang muncul dan berkembang saat kegiatan produktif itu terjadi akan memperkuat keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang penting. Hubungan antara ayah, ibu dan anak-anak akan semakin intens, akrab dan bermakna. Keluarga menjadi sehat dan kuat. Inilah saatnya kebangkitan keluarga.

Kita harus menyikapi tantangan pandemi ini dengan mengambil sikap baru, tidak sekadar normal baru. Jangan sampai SFH menjadi pintu bagi gaya hidup physically inactive dan gadget addict  pada anak dan cucu kita.

Parenting makin penting untuk memberdayakan dan kebangkitan keluarga sebagai satuan edukatif dan produktif. Sekolah berperan melengkapi keluarga, tidak melemahkannya. Masyarakat juga perlu berpartisipasi mendidik warga muda. Sebagai warga negara yang hidup di negeri Pancasila ini, kita tidak mungkin hidup sejahtera lahir batin di atas puing-puing keluarga.

Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 31/5/2021

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version