Pengalaman Sakit Covid-19: Ada Hikmah di Balik Musibah

Mantan Sekretaris Umum MUI Jatim Ainul Yaqin (depan, kedua dari kanan) di Masjid Besar Barat Linxia, Cina berfoto bersama para santri. (Foto tahun 2017 oleh Mohamamd Nurfatoni/PWMU.CO)

Pengalaman Sakit Covid-19: Ada Hikmah di Balik Musibah, oleh Ainul Yaqin, Apoteker, tinggal di Kabupaten Gresik

PWMU.CO – Setiap musibah yang terjadi tidak pernah lepas dari kehendak Allah SWT. Semua sudah ditulis di Lauhul Mahfudz ketentuannya. Ilmu Allah Maha Luas dan azali sesuai dengan ke-azalian-Nya.

Setiap manusia menginginkan keadaan yang selalu enak. namun tidak selamanya keinginan itu tercapai. Ada kalanya manusia tidak berdaya menghadapinya ketika Allah sudah menunjukkan sifat kuasa-Nya.

Itulah yang terjadi dengan pandemi Covid-19. Manusia tidak berdaya. Rumah sakit penuh. Tenaga kesehatan berjatuhan. Setiap hari terdengar berita kematian.

Beberapa daerah terasa mencekam karena berlaku kebijakan setempat yang kadang-kadang membuat warga merinding. Tetapi patut kita yakini, kalau tidak dikehendaki ollah Allah terkena bencana pasti tidak akan terkena.

Sempat Bercanda

Pengalaman dengan musibah Covid-19 pun sempat menjangkiti saya bersama orang-orang di sekitar. Entah dari mana awalnya terpapar, malam itu sepulang memberikan pengarahan pada alumni PKU Unida di Wisma Pregolan Surabaya, saya merasakan ada demam-demam ringan. Setelah minum paracetamol, akhirnya reda.

Esok hari pagi-pagi, perasaan sedikit meriang muncul. Saya, yang tinggal di Desa Kedungruken, Kecamatan Benjeng, Kabupaten Gresik—pinggiran Gresik dekat perbatasan dengan Lamongan—lalu minum paracetamol dan vitamin C. Beberapa saat kemudian merasa reda juga.

Kebetulan pagi itu ada kegiatan pembagian sembako yang merupakan program MUI Jatim. Saya juga kebagian tugas untuk ikut membagikannya. Hari itu, kebagian tugas membagi di wilayah Gresik.

Sore harinya pulang ke rumah, saya masih mengkonsumsi paracetamol karena rasa meriang dan pegal-pegal di persendian muncul. Lagi-lagi dengan paracetamol gejala sakit itu bisa sembuh walaupun kemudian berulang, hilang dan muncul lagi.

Paginya lagi hari Jum’at, saya masih sempat memberi khutbah Jum’at. Malam harinya malam Sabtu, kondisi tubuh mulai merasa lebih drop. Dingin sekali rasanya dan diare. Lagi-lagi dengan obat simptomatik reda juga gejalanya. Dengan meminum attapulgite sembuh juga diarenya.

Sampai saat itu saya tidak pernah berfikir bahwa yang sedang berjangkit adalah indikasi terkena Covid-19, sehingga tidak terbersit usaha untuk melakukan pemeriksaan swab.

Lebih-lebih sebelum-sebelumnya, dua pekan sekali saya melakukan rapid tes dan hasilnya selalu non reaktif. Hal ini karena setiap bertugas ke daerah, yang dikunjungi mempersyaratkan membawa hasil rapid tes yang non reaktif. Saya juga patuh dengan protokol kesehatan.

Sabtu paginya, kondisi tubuh semakin tidak fit, dingin menggigil begitu tersasa. Tapi karena saya masih ada tugas menyalurkan sembako di daerah Jombang, saya memaksakan diri berangkat juga.

Di tengah perjalanan saya membuka-buka grup WA. Salah satu yang saya lihat selain grup Ka-MUI (grup pengurus MUI Jatim), juga grup shilaturrahim JDA (Jamaah Dakwah Al-Haromain). Di grup yang terakhir ini ada yang memposting video shalawat, lalu ada yang berkomentar “Sejuk rasanya”.

Dengan maksud bercanda saya mengomentari, “Saya malah butuh hangat-hangat”. Rupanya hari itu saya benar-benar sakit. Saya tidak mampu lagi melanjutkan aktivitas. Sesampai di Jombang saya minta diantar ke rumah kakak. Saya istirahat di sini tidak ikut membagikan sembako.

Naluri Ibu

Siangnya saya diantar pulang. Di tengah perjalanan, ibu saya—yang tinggal di Babat Lamongan—tiba-tiba menelepon menanyakan kabar. Saya jawab, “Alhamdulillah baik-baik.” Saya tidak menyampaikan kalau sakit, khawatir Ibu berpikir macam-macam. Ibu saya memang seperti itu. Tidak tahu, beliau begitu peka. Setiap saya sakit seolah-olah beliau tahu, menelepon. dan menanyakan kabar.

Hari Ahad pagi, Ibu menelepon lagi meminta agar saya mengunjungi beliau. Saya tidak datang karena kondisi sakit. Namun saya meminta istri dan anak untuk mengunjungi Ibu. Saat bertemu Ibu, istri saya tidak bercerita, kalau saya kondisi sakit. Kata istri, ibu kondisinya tampak letih kendati suaranya jelas. Beliau menyampaikan, kalau terus menerus mendoakan keselamatan untuk semua anak, cucu dan cicitnya.

Saya pun Positif

Siang hari, saya merasakan sakit sekali. Perut terasa teriris-iris, mual, dan muntah. Nafsu makan hilang sama sekali. Meski begitu pikiran saya masih rasional. Saat istri datang dari menjenguk Ibu di Babat Lamongan, segera saya minta untuk membuatkan bubur encer. Pikir saya biar mudah masuk. Bubur itu pun saya minum, karena kalau dimakan akan susah masuknya.

Tak kuat sakitnya, sore itu juga saya diantar istri ke rumah sakit untuk periksa di poliklinik Spesialis Penyakit Dalam. Rupanya oleh dokter saya didiagnosis gangguan asam lambung. Obat yang diresepkan ditebus oleh istri. Ada sukralfat dan kombinasi antasida, multivitamin, dan beberapa obat lain.

Dua hari lebih saya mengonsumsi obat-obat gangguan asam lambung, tapi tak berkurang juga rasa sakitnya. Nafsu makan tidak ada, tubuh terasa sakit semua, letih, lemas, demam, dan nafas tersengal-sengal.

Rabu pagi ada teman menjenguk saya, Mas Salman. Siang harinya Kak dr Anas Machfud juga ke rumah.

Oleh sahabat yang disebut terakhir di atas, saya pun dibawa ke Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan dengan didampingi istri. Di rumah sakit saya memperoleh pemeriksaan swab PCR. Hasilnya dinyatakan positif SARS CoV-2. Baru jelaslah, ternyata penyakit yang saya derita adalah Covid-19. Itulah Covid-19, penyakit dengan aneka gejala yang kadang tidak spesifik, sehingga bisa mengecoh dalam diagnosis.

Di rumah sakit saya sempat mencari informasi tentang hal ini. Akhirnya saya dapat perjelasannya, bahwa manifestasi Covid-19 dengan berbagai gejala adalah karena virus Covid-19 (SARS CoV 2) dalam tubuh menjalin ikatan dengan reseptornya yaitu Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2).

Enzim ini merupakan enzim yang terdapat pada membran atau permukaan luar sel yang ada di beberapa organ, antara lain paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus. Keberadaan ACE2 yang ada di berbagai organ di tubuh ini memungkinkan munculnya manifestasi gejala yang berbeda-beda. Inilah penjelasan rasionalnya yang saya dapat.

Istri juga Positif

Istri saya akhirnya juga diperiksa dengan swab PCR. Hasilnya juga positif. Rupanya ada hikmah dengan hasil pemeriksaan istri yang menunjukkan positif SARS CoV-2. Padahal istri saya sebenarnya tidak merasakan sakit selain hanya sedikit batuk.

Andai istri saya tidak positif, dia harus pulang dan saya harus sendirian di rumah sakit. Tetapi dengan istri berstatus positif SARS CoV2, ada alasan untuk bisa dirawat satu kamar. Rupanya ini rahasianya, saya bisa ditemani istri saat sakit, suatu yang wajib disyukuri.

Selama ini saya sering tugas ke luar kota sampai menginap. Ketemu istri tidak setiap hari. Selama di rumah sakit saya malah berduaan terus bersama istri. Saya betul-betul istirahat total. Untuk mengisi kejenuhan paling banyak saya gunakan untuk membaca al-Quran. Dalam satu hari dapat beberapa juz, sehingga saat pulang dari rumah sakit bisa mengkhatamkan al-Quran.

Anak Negatif

Bahwa saya dan istri dinyatakan positif SARS CoV2, maka atas saran Kak dr Abdul Ghofir akhirnya anak saya juga diperiksa swab PCR. Anak saya memang sama sekali tidak ada keluhan dan ternyata hasilnya, alhamdulillah, negatif. Tetapi justru ini yang aneh.

Saat saya sakit di rumah, saya sudah meminta istri untuk beristirahat di kamar lain. Sementara itu selama sakit, saya sering minta anak untuk memijat. Saat selesai memijat beberapa kali sempat tertidur satu tempat tidur dengan saya. Dia juga tidak mengenakan masker.

Secara nalar mestinya anak saya yang justru lebih berpotensi terular daripada istri. Namun itulah kenyataannya, apapun yang dikehandiki Allah akan berjalan sesuai kehendak-Nya. Semua musibah sudah digariskan-Nya.

Itu yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an, “Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami’. Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (at-Taubah 51).

Total delapan hari saya dirawat di rumah sakit. Masuk hari Rabu, pulang Rabu pekan berikutnya. Awalnya, kata Kak dr Anas Machfud yang merawat saya, diperkirakan saya pulang hari Kamis. Tapi akhirnya pulang Rabu sore.

Ibu Wafat

Rupanya ada rahasia Allah di balik kepulangan yang maju sehari. Kamis dini hari saya mendapat pesan WA dari adik: innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’un Ibu wafat. Kejadiannya tepat tengah malam.

Andai saya pulang hari Kamis, saya tidak bisa ikut shalat jenazah ibu. Tetapi dengan pulangnya diajukan Rabu, saya akhirnya bisa menyempatkan ke Jombang sebentar untuk mengikuti shalat jenazah Ibu dan sesudah itu langsung kembali pulang.

Ibu saya wafat di rumah adik di Babat, Lamongan. Jenazahnya dibawa ke Jombang untuk dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga. Lima hari sebelum wafat yakni saat saya masih dirawat inap di rumah sakit, beliau sempat menelepon menyampaikan kalau kondisi tubuhnya lemah, meminta saya menjenguknya.

Saya tidak menyampaikan kalau kondisi sakit, tetapi hanya berjanji secepatnya akan mengunjungi. Ternyata melalui telepon itu, saya mendengar suara beliau yang terakhir.

Lanjutkan Isolasi di Rumah

Saat itu berita seputar Covid-19 masih gencar disiarkan setiap hari di semua stasiun televisi. Cara menyampaikan yang dramatis justru tidak membuat masyarakat tercerahkan. Hal yang terjadi malah paranoid, ketakutan berlebihan.

Bahkan saking takutnya, terhadap mantan pasien yang sudah sembuh pun tidak ada yang berani mendekat. Rasanya penderita Covid-19 lebih ditakuti masyarakat melebihi penderita lepra. Itu yang sempat saya alami bersama keluarga.

Selama rawat inap di rumah sakit saya memperoleh kabar bahwa di rumah sedang banjir besar. Banjir kali ini memang lebih parah dari biasanya dan masuk rumah. Sepulang saya bersama istri dari rumah sakit, banjir sudah surut. Hanya saja bekas banjir itu masih tersisa, yaitu lumpur yang sudah memadat di lantai.

Dalam suasana kami yang baru keluar dari rumah sakit karena Covid-19, ternyata tidak mudah mencari bantuan orang untuk mau membersihkan rumah. Pembantu pun pulang, belum berani kembali.

Di sisi yang lain, selama saya dan istri melanjutkan isolasi mandiri di rumah, saya dan keluarga justru tidak kekurangan sama sekali kebutuhan makanan. Bahkan, tidak perlu memasak.

Ada saja saudara, teman, dan tetangga yang mengirimkan makanan. Meskipun menyampaikannya tidak berani langsung, tetapi ditaruh di depan rumah. Itu kenikmatan yang luar biasa, memperlihatkan suasana kebersamaan dan kepedulian yang tinggi.

Perhatian Kiai Ihya Ulumiddin

Saya juga merasakan perhatian yang begitu besar dari teman, saudara, dan juga kolega. Begitu empatinya mereka. Guru saya Kiai Ihya Ulumiddin yang dengan difasilitasi HP milik drg Lila Muntadir, juga menelepon memberi semangat. Saat itu kebetulan beliau sendiri sedang dirawat.

Sudah tentu, harus saya sebut juga. Perhatian besar dan bantuan terbaik dari Kak dr Anas Machfud. Beliau fasilitasi segalanya saat saya dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan.

Saya mendoakan untuk semua kebaikan mereka. Semoga menjadi amal kebajikan yang diterima oleh Allah, aamiin.

Sebuah Pelajaran

Suatu saat, bahkan makanan di rumah berlebih banyak. Ada roti, kue, dan nasi yang dikirim oleh saudara dan teman. Agar tidak mubadzir karena tidak mungkin termakan semua, istri saya meminta anak untuk mengantarkan dan memberikan sebagian ke tetangga dan pembantu. Rupanya karena khawatir tertular dan masih paranoid, mereka menolak menerimanya.

Musibah itu tidak sampai dua bulan akhirnya berlalu. Musibah berupa kesulitan itu memang hanya sebentar. Tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan nikmat yang diberikan Allah.

Dalam hadits qudsi, Allah berfirman: “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” Maka, Rasulullah SAW mengajari kita untuk selalu memuji Allah. Bila kondisi sulit ucapkanlah, “Alhamdulillaahi ‘alaa kulli haal”. Bila kondisi lapang ucapkanlah, “Alhamdulillaah alladzii bini’matihii tatimmus shaalihaat”.

Saat tulisan ini saya buat, anak saya yang sebelumnya sehat tidak terpapar, justru sekarang dinyatakan positif Sars Cov2 ketika dia tinggal di tempat yang cukup terisolasi, yakni di pesantren.

Sebagai akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa musibah yang menimpa, semua mengandung hikmah; Bisa jadi menguji kesabaran, bisa jadi pula sebuah peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar.

Bisa pula teguran agar manusia senantiasa mengingat Allah. Maka, sekecil apapun musibah yang diterima, walau hanya tersandung atau tersedak, diajarkan untuk mengucapkan istirja’ dengan ungkapan, “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun”. Hal ini, manifestasi tawakal kepada Allah.

Musibah juga mempunyai makna perkenalan Allah dengan sifat kekuasaan-Nya. Seperti ungkapan Ibnu Athaillah, “Mataa a’thaka asyhadaka birrahu, wa mataa mana’aka asyhadaka qahrayu

Ketika Allah memberimu atau mengabulkan keinginanmu, Allah menunjukkan sifat al-bir-Nya kepadamu. Ketika Allah tidak memberimu atau tidak mengabulkan keinginanmu, Allah memperkenalkan sifat kekuasaan atau sifat memaksa-Nya kepadamu.” (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version