KH Mas Mansur di Tengah Lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945

KH Mas Mansur dialog
KH Mas Mansur di Tengah Lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945

KH Mas Mansur di Tengah Lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan

PWMU.CO – Situasi dan kondisi Surabaya yang terancam pendudukan NICA setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, mendorong KH Mas Mansur pulang kampung ke Surabaya hingga pecah pertempuran 10 sampai 30 Nopember 1945. 

Bertahan di dalam Kota Surabaya setelah 30 Nopember 1945 sebagai piihan berani ketika sebagian besar pejuang mengungsi dan melanjutkan perang gerilya di luar Kota Surabaya. Pilihan jihad fisabilillah di tengah perjuangan masyarakat dan arek-arek Suroboyo mengantar beliau syahid pada 25 April 1946.

Tanggal 22 Oktober ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri Nacional untuk memperingati lahirnya Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Resolusi sebagaimana fatwa, kehadirannya berdasarkan permintaan masyarakat dalam menyikapi situasi dan kondisi yang sedang berkembang. 

Fatwa tidak bisa muncul secara langsung dari ulama tanpa permintaan dari masyarakat dalam menghadapi masalah  tertentu. Saat itu situasi dan kondisi yang sangat mendesak adalah mempertahankan kemerdekaan hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 dari ancaman Inggris dan Belanda. 

Para pejuang, pemuda, dan ulama muda meminta fatwa dalam meneguhkan pilihan hidup mereka di jalan jihad fisabilillah mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung. 

Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo, Dul Arnowo, Ruslan Abdulgani, Sungkono, Mustopo dan KH Mas Mansur sebagai tokoh-tokoh muda Surabaya yang mengajak masyarakat mempertahankan Kota Surabaya. Didukung tokoh-tokoh birokrasi Residen Surabaya Sudirman dan Gubernur Jawa Timur R. Suryo beserta alim ulama, arek-arek Suroboyo siap menyambut kedatangan pasukan sekutu setelah kekalahan Jepang.

Tamu “Agung”

Sepanjang bulan September, Oktober, dan Nopember 1945 seluruh kota besar di Indonesia termasuk Surabaya kedatangan tamu “agung” pemenang perang dunia kedua. Misi pasukan Inggris sebagai pemimpin negara-negara sekutu tampak “mulia” yaitu melucuti persenjataan bala tentara Jepang dan membebaskan orang-orang Eropa yang teraniaya selama pendudukan Jepang. 

Menyadari fakta di lapangan banyaknya persenjataan bala tentara Jepang yang telah berpindah tangan ke para pejuang membuat Inggris murka. Terjadi perang opini tentang sah tidaknya tindakan para pejuang yang mengambil senjata bala tentara Jepang. 

Hukum internasional menyatakan tindakan para pejuang sebagai kesalahan besar, sebaliknya para pejuang yang brilian menganggap tindakannya sah dengan berpegang pada semangat nasional mempertahankan kemerdekaan dari beragam kemungkinan ancaman.

Surabaya sebagai wilayah yang baru saja merayakan kebahagiaan merdeka tidak bersedia tunduk pada aturan-aturan pasukan asing baik sisa-sisa bala tentara Jepang atau pasukan Inggris yang baru datang. Sikap demikian menjadikan konflik antara pejuang dengan sisa-sisa tentara Jepang dan pasukan Inggris yang baru hadir berlangsung hampir setiap hari di bulan September dan Oktober 1945. 

Pengepungan dan pembobolan gudang-gudang senjata bala tentara Jepang terjadi sepanjang bulan September dan Oktober. Memasuki bulan Oktober sampai Nopember konflik lanjutan terjadi antara pejuang dengan pasukan Inggris.    

Peran KH Mas Mansur

KH Mas Mansur tokoh yang tidak bisa dipandang kecil kehadirannya di tengah kancah perjuangan arek-arek Suroboyo tahun 1945, meskipun sejarah tidak terlalu banyak menulis kiprahnya. Hal ini disebabkan peran dia lebih banyak di belakang layar tetapi sangat menentukan, juga tenggelam oleh kharisma KH Hasyim Asy’ari sebagai ulama paling senior di jamannya. 

Kiprah KH Mas Mansur dalam membangkitkan semangat jihad di kalangan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) dan pemuda telah berlangsung sejak beliau masuk jajaran Empat Serangkai Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Sukarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

Perkenalan dan kedekatan KH Mas Mansur dengan Kasman Singodimejo sebagai Komandan Peta Jakarta membawa KH Mas Mansur sering diberi kesempatan memberi tausiah di tengah pasukan Peta. Kedekatan KH Mas Mansur dengan pasukan Peta sempat mengkhawatirkan Sukarno akan keselamatan KH Mas Mansur. 

Berkali-kali KH Mas Mansur diperingatkan Sukarno agar berhati-hati dalam menyampaikan tausiah dan diperingatkan akan bahaya Kempetai, polisi militer Jepang yang selalu mengawasi aktivitas pergerakan. 

KH Mas Mansur berhasil selamat dari ancaman Kempetai bahkan dipercaya oleh pemerintah militer Jepang masuk dalam keanggotaan Dekoritsu Junbi Coosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia bentukan Jepang. 

KH Mas Mansur tetap aktif dalam pergerakan usaha-usaha kemerdekaan Indonesia sampai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 meskipun posisi beliau sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah telah digantikan Ki Bagus Hadikusumo

Kedekatan KH Mas Mansur dengan Kasman Singodimedjo yang ditunjuk sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 memungkinkan beliau duduk sebagai “wakil rakyat” di Jakarta.  

Tokoh Nasionalisme

KH Mas Mansur meninggalkan kesempatan menjadi anggota KNIP dan memilih jalan perjuangan bukan terjadi pada tahun 1945 saja. Menjelang kedatangan pasukan pendudukan Jepang tahun 1942, KH Mas Mansur sempat mendapat tawaran pindah ke Australia dari pemerintah Hindia Belanda. 

Maksud dan tujuan dari tawaran tersebut yaitu rencana menjadikan KH Mas Mansur sebagai tokoh propaganda anti-Jepang di Australia. Tawaran ditolak karena KH Mas Mansur ingin bersama dengan sahabat dan rakyat di Indonesia. Sedianya telah disiapkan sebuah kapal selam untuk membawa KH Mas Mansur ke Australia secara cepat dan rahasia.   

Sikap nasionalisme KH Mas Mansur bersama arek-arek Suroboyo telah dibentuk dan berproses dalam jangka panjang, bukan instan. Berdirinya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya tahun 1911 sebagai hasil pengembangan Sarekat Dagang Islam di Surakarta sejak 1905 ikut membentuk semangat nasionalisme arek-arek Suroboyo termasuk KH Mas Mansur. Dalam organisasi CSI yang diketuai Cokroaminoto, KH Mas Mansur duduk sebagai penasihat.

Interaksi Cokrominoto dengan KH Ahmad Dahlan yang sering melakukan dakwah di Surabaya ikut memengaruhi KH Mas Mansur, juga Sukarno. Semakin tertarik pada Muhammadiyah, KH Mas Mansur bergabung dan ditunjuk menjadi konsul Muhammadiyah Surabaya. 

Tidak berhenti hanya sebagai konsul, dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1936 dan 1939 KH Mas Mansur didaulat menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sampai dengan tahun 1942. Jejak monumental KH Mas Mansur di Muhammadiyah adalah berdirinya Majelis Tarjih guna mengkaji permasalahan aktual dan faktual di masyarakat berdasarkan al Quran dan sunnah. Kepemimpinan selama dua periode dan pendirian Majelis Tarjih menjadi bukti kapasitas KH Mas Mansur.

Aktivitas KH Mas Mansur di Muhammadiyah tidak mengurangi sumbangsih beliau dalam pergerakan nasional. KH Mas Mansur aktif menggelorakan semangat nasionalisme dengan menghubungkannya dengan nilai-nilai Islam. Tulisan-tulisan KH Mas Mansur di beragam penerbitan tentang  sikap nasionalisme bukan ashabiyah atau sikap yang membangga-banggakan suku bangsa dan negara mendapat pujian dari tokoh-tokoh pergerakan nasional. 

Tulisan dan sikap nasionalisme KH Mas Mansur semakin meneguhkan nasionalisme pemuda dan tokoh-tokoh pergerakan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan termasuk para pemuda dan tokoh pergerakan yang beragama Islam.      

Jashijau, jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama. Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan peran Islam dalam sejarah. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version