Guru Menulis
Rosyidin melempar pertanyaan retorik, “Mengapa guru harus menulis?” Menurutnya, banyak alasan yang mendasari. Yaitu untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan. “Ilmu yang ditulis lebih mengikat dibanding ilmu yang disampaikan secara verbal,” terangnya.
Hal ini mengingatkan dia pada ungkapan Pramodya Ananta Toer: menulis itu bekerja untuk keabadian. “Seseorang boleh mati sampai ratusan tahun, tapi karya-karyanya selalu kita baca dan pelajari,” ungkap Rosyidin.
Alasan selanjutnya, kata dia, lebih bersifat pragmatis. Yaitu bisa menjadi syarat kenaikan pangkat atau jabatan dan mendapat insentif atau royalti. “Menulis itu cukup menguntungkan secara materi kalau ditekuni,” terangnya.
“Mungkin di sekolah Bapak Ibu menerapkan insentif bagi guru yang cukup produktif menulis. Misalnya, kalau menerbitkan buku nasional, insentifnya berapa,” tuturnya. Dia kemudian menceritakan bagaimana sistem insentif di kampus memotivasi para dosen untuk menulis.
Menulis juga bisa untuk mencari reputasi (membangun nama). “Kita dinilai sebagai orang yang ahli atau pakar itu dinilai dari tulisan kita, bukan dari apa yang kita omongkan,” ujar penulis aktif jurnal Scopus itu.
Orang Jawa, kata dia, mengenal istilah ‘Jeneng dulu baru jenang‘. “Jadi kita harus membangun nama dengan membuat karya yang magnificient (luar biasa) sehingga dikenal banyak orang, diakui kepakarannya, pada akhirnya nanti rezeki akan mengikuti,” ternagnya.
Selain itu, menulis juga bisa mengekspresikan ide. Dia menegaskan, guru juga bisa menulis opini pencerahan untuk masyarakat. Misal, mengkritik kebijakan merdeka belajar di media sehingga bisa diakses publik.
Alasan terakhir, lebih bersifat religius, adalah mencari amal jariah. “Ilmu itu ibadah yang pahalanya tidak terputus,” ungkap Rosyidin.
Manfaat Menulis
Rosyidin akhirnya menegaskan beberapa manfaat menulis. Pertama, melatih berpikir analitis dan sistematis. “Orang yang sudah terbiasa menulis akan berbicara secara sistematis, terstruktur, dan koheren,” ujarnya.
Sebab, ketika orang berbicara, idenya bisa melompat-lompat. “Ketika menulis, tidak bisa (melompat-lompat), kita harus fokus ke satu topik bahasan dan membahasnya secara mendalam,” tuturnya.
Kedua, menyebarluaskan gagasan atau ilmu pengetahuan. Ketiga, cara belajar paling efektif (mengasah kepakaran). Rosyidin memaparkan, “Ketika menulis, kita recall (mengingat) kembali pengetahuan, mencari supporting evidence (bukti pendukung) dari buku, artikel, mana pun.”
Kemudian, menulis juga menyehatkan otak. “Karena otak kita terus aktif, maka terhindar dari demensia (pikun),” ungkap dia.
Selain itu, menurutnya juga bisa memperpanjang usia imajiner (bukan usia biologis). “Jadi sampai kapanpun kita akan abadi. Jasadanya mungkin sudah berkalang tanah, tapi namanya akan tetap abadi di pikiran orang-orang!” tegasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post