Makna di Balik Kata ‘Laallakum Tattakun’ dałam Ayat Puasa

Tertelan Slilit saat Puasa dan Shalat ditulis oleh ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Ketua PWM Jatim.
Dr Syamsudin MAg. Makna di Balik Kata ‘Laallakum Tattakun’ dałam Ayat Puasa (Dokumentasi PWMU.CO)

Makna di Balik Kata ‘Laallakum Tattakun’ dałam Ayat Puasa, oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

Dalam kelompok ayat puasa (al-Baqarah 183-187) terdapat empat kata laalla. Yaitu laallakum tattakun, laallakum tasykurun, laallahum yarsyudun, dan laallahum yattakun

Kata laalla bentuk asalnya adalah alla kemudian ditambahkan huruf lam di permulaannya, jadilah la’alla. Ia memiliki makna yang tidak jauh dengan kata rubama dan kata asa, yaitu pengharapan. 

Itulah sebabnya ia dinamakan harf littarajji, yaitu huruf untuk makna pengharapan yang sifatnya serba mungkin: mungkin terjadi, juga mungkin tidak terjadi. 

Namun demikian ada penjelasan lebih lanjut di kalangan mufasirin terkait kata tersebut. Jika ia merupakan titah Allah, maka yang semula bermakna mungkin, menjadi bermakna pasti, baik laalla ataupun asa

Contoh untuk kata asa bisa dilihat pada al-Isra’: 79.

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

Kata asā ay yab’aṡaka rabbuka maqāmam maḥmụdā, yang semula bermakna “mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”  berubah menjadi “pasti Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. 

Demikianlah kata laallakum tattaqun dalam ayat puasa. Karena ia adalah titah Allah SWT, maka yang semula bermakna “agar kalian bertakwa” berubah menjadi “pasti kalian bertakwa”.

Kaidah Bahasa

Penjelasan berikutnya adalah kaidah bahasa, yaitu jika kata laalla maujud setelah kalimat perintah maka ia menjelaskan sebab musabbab (yufidu atta’lil). Jika dalam al-Baqarah: 183 dikatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian bertakwa,” maka pengertiannya adalah, sebab Allah menginginkan kalian menjadi hamba-Nya yang bertakwa, maka Allah mewajibkan puasa. 

Atau jika seseorang menjalankan kewajiban puasa Ramadhan, maka  sebab hal itu, pasti ia akan menjadi manusia bertakwa baik sekarang ataupun yang akan datang. 

Dikatakan sekarang dan yang akan datang, sebab fi’il atau kata kerja yang digunakan adalah mudhari’ , yaitu kata kerja yang berdimensi waktu sekarang dan seterusnya. 

Dalam tafsir Ruhul Bayan dijelaskan perihal hubungan antara puasa dengan ketakwaan, yaitu bahwasannya takwa akan terwujud manakala seseorang menciptakan pembatas antara dirinya dengan berbagai tindak kemaksiatan. Sementara itu puasa adalah pendobrak pertama untuk memecah syahwat. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

 يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ، فإنَّه له وِجَاءٌ.

Wahai para pemuda, siapakah di antara yang sudah mampu menikah, hendaklah segera menikah. Sesungguhnya ia efektif menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia puasa. Sebab puasa berfungsi sebagai pengebiri (nafsu) baginya. (HR Muslim, No 1400).

Disebut pendobrak awal karena puasa mampu mengendalikan liarnya syahwat manusai. Adapun untuk melenyapkan syahwat bisa diikhtiarkan  dengan cara yang lebih berat dari sekadar puasa. Yaitu masuk ke dalam pusaran duka cita yang tidak berkesudahan. Dengan mengingat-ingat kematian, dekatnya ajal, terbatasnya angan-angan, memelihara ketaatan, dan kontinyu dalam muraqabah (merasa selalu dalam pengawasan Allah SWT).

Baca sambungan di halaman 2: Tiga Macam Keshalihan dalam Takwa

Dr Syamsuddin MAg: Makna di Balik Kata ‘Laallakum Tattakun’ dałam Ayat Puasa (Dokumentasi PWMU.CO)

Tiga Macam Keshalihan dalam Takwa

Pembahasan ini merujuk pada adz-Dzariyat ayat 15-22:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik. 

Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam hari. Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta. 

Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan. Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.”

Pada kelompok ayat di atas, Allah menjelaskan, nikmat agung yang diberikan kepada kelompok orang-orang bertakwa itu disebabkan mereka melakukan tiga macam kesalihan saat hidup dunia. Yaitu kesalihan Individual, sosial, dan intelektual. 

Kesalihan individual ditunjukkan dengan menjalin hubungan baik dengan Allah SWT, lewat ibadah pada sebagaian besar waktu malam dan istighfar menjelang fajar. Dua perbuatan ini, yaitu ibadah pada sebagaian besar waktu malam dan istighfar menjelang fajar, menunjukkannya sebagai hamba Allah yang ikhlas dalam beribadah. 

Kendatipun ia seorang ahli ibadah yang tekun, namun ia tidak merasa sebagai manusia paling suci ataupun paling hebat. Ia tetap merasa hina di hadapan Allah, dan juga tidak pernah merasa aman dari azab-Nya. Hal itu dibuktikan dengan istighfar banyak-banyak menjelang fajar. 

Keshalihan Sosial

Kesalihan sosial ditunjukkan dengan kerelaan untuk berbagi dengan sesama. Sadar bahwa dalam hartanya ada hak fakir miskin. Baik yang menunjukkan tanda-tanda kemisikinannya, misalnya dengan meminta. 

Atau yang menjaga kehormatannya dengan tidak menunjukkan tanda-tanda kemisikinannya. Sebagaiman diinformasikan oleh al-Baqarah 273:

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). 

Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.”

Jadi ada orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk perjuangan agama, mereka miskin karena tidak sempat bekerja, tidak bisa mengumpulkan uang. Masuk kelompok ini, adalah guru-guru madrasah yang ada di kampung-kampung dan desa-desa. 

Mereka berhak dan patut untuk disantuni, kendatipun tidak menunjukkan tanda-tanda kemiskinannya. Para guru ini adalah panutan masyarakat, teladan, bahkan digugu dan ditiruoleh murid-muridnya. Tentu ia dituntut menjaga kehormatannya, kendatipun faktanya ia dalam kondisi miskin dan  membutuhkan bantuan orang lain.

Ketiga kesalihan intelektual. Pada azd-Dzariyat 20-22 dijelaskan, jika orang meneliti tanah, dan fisik dirinya, maka ia akan menemukan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Bahkan kalau seseorang meneliti langit, niscaya ia akan memperoleh rezeki. 

Demikianlah orang yang bertakwa, ia memiliki perhatian yang tinggi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan peradaban. Dan sesuai dengan isyarat ayat tadi, bahwa bisnis yang berbasis langit (digital) lebih menjanjikan keuntungan besar. Sementara itu bisnis yang berbasis bumi semakin tertinggal. Wallahu a’lam. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version