Serius Rencanakan Revitalisasi PCIM
Dengan penuh optimisme, kata Prof Din, para cendekiawan Muslim sejak 2005 punya tekad memajukan peradaban alternatif. Sayangnya, dia menilai sampai sekarang tidak ada yang bekerja serius untuk menyusun dan mengonsep strategi peradaban itu. Di sinilah, dia kembali menegaskan, Muhammadiyah menghadapi tantangan sekaligus memiliki peluang.
Lantas apa yang perlu Muhammadiyah lakukan ke depannya? Yang mutlak menjadi perhatian muktamar dan PP Muhammadiyah menurut Prof Din ialah revitalisasi PCIM secara serius dan terencana. “Tidak menunggu mereka yang membentuk, tapi dari Indonesia ada upaya terencana untuk pembentukan. Bila perlu, minimal di 57 negara OKI, karena ada orang-orang Muhammadiyah di sana!” tuturnya.
Tak hanya itu, Prof Din menyarankan PCIM ini harus diberi mandat. Selain sebagai tempat berkumpulnya warga Muhammadiyah, menjadi kedutaan besar Indonesia di luar negeri, juga bisa menjadi mediator Muhammadiyah dengan lembaga-lembaga pendidikan, instansi pemerintah setempat, maupun pengusaha. Harapannya, PCIM memediasi agar pengusaha Indonesia bisa go internasional. Termasuk juga berdakwah di kalangan masyarakat setempat.
Prof Din bersyukur, secara relatif, Muhammadiyah sejak awal kelahirannya sudah menjadi organisasi internasional. “Sekarang infrastruktur dari peran internasional Muhammadiyah cukup tersedia. Sekarang ada 29 PCIM,” terangnya.
Terkait kehadiran PCIM, dia menegaskan, “Saya dari dulu tidak setuju ada PCIA, cukup bergabung di PCIM. Ini tingkat cabang istimewa, baik laki-laki dan perempuan sehingga ada sedikit kekakuan. Mereka masih pada taraf mahasiswi, kemudian dianggap sebagai Aisyiyah, berbeda dengan Muhammadiyah. Bukan saya antigender, tapi sebaliknya!”
Dia menilai revitalisasi jaringan Muhammadiyah PCIM di berbagai negara bagus sekali. Sebab, terdiri dari warga Indonesia yang sedang belajar dan berdiaspora di mancanegara. “Beberapa PCIM mendapat legalitas dari pemerintah setempat. Menjadi single society organization yang real. Di Tokyo, AS, Jerman dan lainnya,” ungkapnya.
Ini mengingatkannya pada tujuh Sister Organization Muhammadiyah yang sudah terbentuk sejak dulu. Di antaranya di Thailand, Malaysia, Kamboja, Singapura, dan Jepang. “Organisasi yang bernama Muhammadiyah, logonya sama, stempelnya sama, benderanya sama, tapi tidak punya hubungan organisatoris dengan Muhammadiyah di Indonesia,” ujarnya.
Kalau revitalisasi PCIM itu bisa dilakukan, maka menurutnya internasionalisasi Muhammadiyah akan lebih nyata lagi. Sebab, itulah kekuatan yang diharapkan, dapat berdakwah di mancanegara.
Buat Jejaring Internasional dan Internasionalisasi Pikiran
Sepakat dengan Haedar Nashir, Prof Din memdorong agar Muhammadiyah membuat jejaring dengan organisasi internasional. “Sebenarnya sudah ada, di mana kita berhasil menjadi anggota The United Nations Economic and Social Council (ECOSOC),” ungkapnya.
Tapi Prof Din berpendapat masih banyak lagi jaringan yang perlu dikembangkan oleh Muhammadiyah, termasuk di dunia Islam. Berdasarkan pengamatannya, di dunia Islam ada kerinduan, bahkan kebutuhan, akan adanya organisasi Islam yang efektif.
Kemudian, dia juga menekankan pentingnya internasionalisasi Muhammadiyah secara pikiran. “Paham keislaman Muhammadiyah yang konsepnya luar biasa, Islam berkemajuan berhimpit dengan wasathiyat Islam, cosmopolitanism Islam, ini sangat cocok untuk dunia Islam. Tapi kita belum cukup mampu untuk menginternasionalisasikan pikiran itu,” ujarnya.
Di samping itu, pada forum Islam tingkat dunia, Prof Din memahami Islam di Indonesia masih dianggap remeh. “Dilecehkan dalam tanda kutip, dilihat dengan sebelah mata. Bagi mereka, Islam di Indonesia itu Islam sinkritik,” jelasnya.
Yang dia sayangkan, pikiran-pikiran luar biasa Muhammadiyah belum banyak ditulis dalam bahasa asing, baik bahasa Inggris maupun bahasa Arab. “Walaupun saya lihat, pikiran-pikiran Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Itu patut dibaca oleh orang-orang di luar sana!” tuturnya.
“Dulu Mas Mu’ti (Prof Dr Abdul Mu’ti MEd) lewat CDCC menulis A to Z Islam in Indonesia dengan dukungan Kemlu Direktorat Diplomasi Publik itu ternyata laku keras. Bukan dijual, kita bagi. Karena itulah pintu masuk orang luar untuk mengetahui Islam di Indonesia,” sambungnya.
Jadi Prof Din mengimbau untuk meneruskan apa yang sudah Muhammadiyah lakukan. “Saya ingin memberi apresiasi kepada PP Muhammadiyah periode terakhir ini yang bahkan lebih maju lagi secara nyata untuk internasionalisasi Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Australia. Bahkan PCIM kita baru menyelenggarakan TK ABA dan lain sebagainya. Saya kira we are on the right track,” ucapnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post