Bukti Pancasila Sudah Dipraktikkan di Pesantren

Qais Zauqi menyampaikan amanah pada upacara peringatan Hari Lahir Pancasila. Bukti Pancasila Sudah Dipraktikkan di Pesantren (Rafel/PWMU.CO)

Bukti Pancasila Sudah Dipraktikkan di Pesantren, liputan Dadang Prabowo, kontributor PWMU.CO Kota Pasuruan.

PWMU.CO – Santri Pesantren Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Ma’un Muhammadiyah (SPEAM) Kota Pasuruan mengikuti upacara peringatan Hari Lahir Pancasila Rabu (1/6/22) di halaman SPEAM Putra. Bertindak sebagai Pembina Upacara, Ustadz Qais Zauqi, Pembina Asrama SPEAM

Dalam amanahnya, Qais menyampaikan kelima sila Pancasila sebenarnya sudah dipraktikkan dalam kehidupan santri sehari-hari di pesantren. 

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Di pesantren, lanjut Qais, para  santri sudah mempraktikkan sila tersebut dengan berdisiplin, selalu dibimbing dan diarahkan oleh para ustadz. 

“Santri selalu melaksanakan shalat jamaah lima waktu sehari. Bukan hanya itu, mereka juga dibiasakan melaksanakan ibadah sunah, seperti: shalat Tahajud, puasa sunah, dan shalat Dhuha,” paparnya. 

“Ini adalah bukti bahwa santri mengamalkan sila yang pertama, sebagai insan yang bertuhan” imbuhnya. 

Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Para santri, menurut Qais, selalu diajarkan untuk memiliki rasa empati di antara mereka. Rasa empati itu tumbuh karena ada kesamaan tujuan dan nasib: tujuan menuntut ilmu dan senasib harus berada jauh dari kerabat dan orang tua. 

“Tidak hanya itu, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu diwujudkan dalam sikap saling menghormati dan menyayangi. Yang tua  menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua,” ungkap mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Bangil ini. 

Wujud Persatuan Indonesia

Ketiga, Persatuan Indonesia. Rasa persatuan antarsantri diwujudkan salah satunya dengan berpindahnya kamar santri setiap semester. 

“Para santri yang tinggal di kamar tertentu, secara bergantian setiap semester akan dipindah ke kamar yang baru, dengan anggota kamar yang berbeda pula,” tuturnya. 

Perpindahan kamar ini, lanjutnya, membuat santri tidak hanya berteman dan akrab dengan satu, dua orang temannya saja, tetapi dengan seluruh santri. 

“Bibit persatuan mulai ditanamkan sejak di asrama. Para santri harus bisa bergaul dengan siapa saja, bahkan dengan teman yang belum pernah ia kenal tanpa rasa canggung dan ragu, dan tanpa membeda-bedakan” terusnya.

Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Segala kegiatan yang ada di pesantren ini, terang Qais, selalu ditata dan diorganisasi sedemikian rupa. Dari mulai pimpinan pesantren sampai santri terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan dengan cara musyawarah. 

“Ikatan Pelajar Muhammadiyah adalah wadah belajar berorganisasi di pesantren. Dalam organisasi tersebut para santri belajar bertukar pikiran dan argumentasi, dan mengambil keputusan dengan cara musyawarah,” ujarnya. 

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indoensia. Di pesantren, santri menerima tugas, dan hak yang sama. “Tidak ada santri yang kemudian diistemawakan dari santri yang lainnya,” ujarnya. 

Selain itu, Qais juga berpesan kepada santri untuk tidak perlu minder dan kecil hati. Di pesantren, ungkapnya, bukan hanya bekal ilmu agama yang diajarkan, tapi juga pengetahuan umum. 

Baginya, kalau santri sungguh-sungguh belajar dan mengikuti seluruh kegiatan di pesantren, disertai dengan ibadah yang maksimal, maka ia akan berhasil. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version