Setelah lulus, selain masih aktif di Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), said juga membentuk kelompok study Lingkaran Studi Pendidikan Jogjakarta dan Kelompok Diskusi Sambu Merdeka. Di tempat inilah dia bersama teman-temannya mendiskusikan berbagai persoalan yang terjadi pada saat itu.
Setelah didiskusikan, barulah dirumuskan berbagai gerakan atau langkah selanjutnya. “Yang kami lakukan sebatas melontarkan isu, memecahkan masalah, dan melakukan advokasi. Tapi ini kan sudah menjadi bagian dari program pemberdayaan. Kita melihat pemerintah pada waktu itu sudah bagus arahnya, namun kurang terarah saja,” ujarnya saat itu.
Kerja kerasnya dalam memberdayakan masyarakat pinggiran, Said tercatat sebagai orang pertama yang dianugerahi gelar kehormatan, Doktor Honorus Causa (Dr. HC) dari Universitas Muhammadiyah Malang sejak PT ini berdiri pada 1964. Dia berhak menyandang gelar kehormatan itu setelah diusulkan oleh Promotor Prof A Malik Fadjar, dan Co-Promotor, Prof Ishomuddin, dan disetujui oleh senat UMM.
Dalam pertimbangan pengusulannya, Malik Fadjar menyebut sosok Said yang selain berkomitmen di bidang akademik, dia juga dikenal gigih mengamalkannya dalam bentuk gerakan sosial di akar rumput. Melalui MPM, Said berhasil menggerakkan masyarakat dhuafa yang memerlukan bantuan.
“Promovendus ini adalah tokoh Muhammadiyah yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan konsisten mengamalkannya dengan penuh dedikasi di masyarakat,” kata Malik Fadjar.
Tidak syak lagi Said bukan hanya seorang pekerja, tapi juga sekaligus intelektual dalam paduan yang harmoni. Seluruh program pemberdayaan masyarakat yang dilakukannya ditopang dengan ilmu pengetahuan yang secara konseptual memadai sehingga selalu memiliki nilai-nilai strategis yang tinggi. Tak heran jika penulis buku “Pendidikan, Kemerdekaan Diri, dan Hak si Miskin untuk Bersekolah” ini sukses melakukan upaya pemberdayaan kaum miskin di tempat yang berbeda-beda.
Juara I Lomba Penulisan Karya Ilmiah Dosen PTS Islam se-Indonesia pada tahun 1993 ini memang tidak pernah berhenti bekerja meski dalam kondisi sakit. Semboyan yang selalu diulangnya adalah, “Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata diam.” Katanya, kita akan terus bekerja keras untuk rakyat, jadi tidak boleh malas. Bahkan tidak ada istirahatnya, dan tentunya berkerja terus menerus.
Kini, misi Said memang belum sepenuhnya berhasil karena masih banyak orang yang miskin dan menderita. Namun, Allah swt ternyata telah memintanya untuk diam beristirahat lebih cepat dengan cara memanggilnya.
Said Tuhuleley mengalami penurunan kesehatan setelah melakukan kunjungan ke beberapa daerah di wilayah Indonesia Timur, pada bulan Mei 2015. Said memang punya keinginan kuat untuk terus melakukan kerja pemberdayaan di Makassar, Ambon dan Sorong, yang dijalaninya meski dalam kondisi sakit. Setiba dari lawatan panjang itulah, Said langsung terbaring melawan sakitnya selama hampir dua pekan sebelum akhirnya menghadap Ilahi.
Keluarga besar Muhammadiyah dan bangsa Indonesia tentu saja sangat kehilangan tokoh ini. Sebab, Said merupakan sosok yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat lemah.
“Almarhum adalah seorang mujahid dakwah yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk dakwah bagi pemberdayaan dan pemajuan masyarakat,” begitu kesaksian Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, Prof Din Syamsuddin.
Dalam pandangan Din, almarhum adalah seorang kader handal Muhammadiyah yang mampu bekerja maksimal di manapun ditempatkan dan diberi amanat. Warga Muhammadiyah sedang menikmati hasil jerih payahnya dalam pemberdayaan masyarakat lewat MPM yang dipimpinnya.
“Saya berharap akan muncul Said Tuhuleley-Said Tuhuleley baru yang akan meneruskan jihad pencerahan almarhum,” begitu kesan Din terhadap almarhum Said Tuhuleley.
Atas dedikasinya memberdayakan masyarakat lemah, dan juga perhatiannya pada Indonesia Timur itulah, bukan yang berlebihan jika sosoknya diabadikan sebagai nama Klinik Apung sebagai pengingat untuk meneladani spirit perjuangannya. (kholid)