Prof Din Syamsuddin: Jas Hijau, Jangan Sesekali Hilangkan Jasa Ulama

Jas Hijau: Prof Dr Din Syamsuddin dalam Kajian Ahad Pagi di Masjid An Nur Sidoarjo (Ashuri/PWMU.CO)

Jas Hijau, jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama, demikian kata Din Syamsuddin; Liputan Mahyuddin, kontributor PWMU.CO Sidoarjo.
Jas Hijau: Prof Dr Din Syamsuddin dalam Kajian Ahad Pagi di Masjid An Nur Sidoarjo (Ashuri/PWMU.CO)

Prof Din Syamsuddin: Jas Hijau, Jangan Sesekali Hilangkan Jasa Ulama; Liputan Mahyuddin, kontributor PWMU.CO Sidoarjo.

PWMU.CO – Umat Islam dipinggirkan merupakan hal yang sangat berbahaya di Indonesia, kata Prof Dr Din Syamsuddin MA, ketika menjadi pembicara Kajian Ahad Pagi Muhammadiyah Daerah Sidoarjo di Masjid An-Nur Sidoarjo, Ahad (28/8/22).

Menurut Din, permasalahan pertama yang berbahaya bagi Indonesia yaitu buta aksara moral. Kedua, kata dia, adalah ketika umat Islam dipinggirkan. “Hal yang sangat berbahaya di Indonesia ini ketika umat Islam di pinggirkan, ketika umat Islam di pojokkan, yang berbau Islam tidak disukai, dibenci, dan bila perlu dideskriditkan. Ini adalah malapetaka bagi bangsa dan negara, jika ini berkembang dan berlanjut,” ungkapnya.

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2015 itu lalu menceritakan, Indonesia yang dimerdekakan pada 17 Agustus 1945, itu tidak dapat dilepaskan dari peran kesejarahan umat Islam.

Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, tiga setengah abad sebelumnya, perjuangan melawan penjajah Belanda banyak dipimpin oleh para ulama dan tokoh-tokoh Islam. “Mereka menjadi syuhada, mengorbankan jiwa, raga, dan hartanya untuk tegaknya bangsa dan negara Indonesia ini,” ungkapnya.

Keikhlasan Para Sultan

Kemerdekaan bangsa Indonesia, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan dari keikhlasan para sultan di Nusantara. Tidak banyak disadari, negara Indonesia merdeka ini tidak bisa dilepaskan dari keikhlasan dan kerelaan 73 sultan di Nusantara ini, dari Aceh sampai Ternate dan Tidore ini. 

“Di pulau saya saja ada dua sultan, Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bima. Banyak di daerah-daerah lain, mereka adalah para penguasa dengan daerah dan kekuasaan tertentu di nusantara ini. Mereka dengan rela menyerahkan kekuasaan kesultanannya, demi tegaknya negara baru, negara Indonesia berdasarkan Pancasila,” jelas Din.

Alumnus Ponpes Gontor itu lalu melanjutkan ceritanya, yang berasal dari seorang sejarawan Prof Ahmad Mansur Suryanegara dari Unpad Bandung. Dia pernah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang menulis buku Api Sejarah.

Din pernah mengundang aktivis dan penulis buku tersebut untuk rapat dengan dewan pertimbangan MUI, menjelaskan hal-hal yang tidak banyak diketahui tentang peran umat Islam bagi republik ini.

Menurut Prof Ahmad Mansyur, kata Din, ternyata yang mengusulkan kepada Bung Karno agar memproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu adalah atas usul secara tertulis seorang ulama dari Jawa Timur berasal dari Jombang yang tinggal di Madiun waktu itu.

“Beliau adalah ulama Muhammadiyah bernama Haji Abdul Mu’thi, yang pada saat itu mengusulkan kepada Bung Karno untuk memproklamasikan pada hari Jumat, 9 Ramadhan 1364 H, atau 17 Agustus 1945. Itu gagasan dari ulama,” paparnya.

Baca sambungan di halaman 2: Penjahit Bendera Merah Putih

Penuh: Para jamaah mendengarkan tausiah dari Din Syamsuddin (Darul Setiawan/PWMU.CO)

Penjahit Bendera Merah Putih

Kemudian untuk bendera Indonesia merah putih, ternyata merupakan usulan dari seorang ulama lain yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah yakni Habib Idrus Salim Al Jufri, pendiri Al-Khairaat.

“Beliau mengusulkan kepada Bung Karno agar bendera Indonesia berwarna merah putih, yang dijahit oleh seorang tokoh Aisyiyah, putri Ustadz Hassandin dari unsur Muhammadiyah Bengkulu, yaitu Ibu Fatmawati yang menjadi istri Bung Karno.

Ternyata masih ada lagi, yakni lambang negara Indonesia burung garuda, yang mengusulkannya adalah seorang sultan dari Pontianak bernama Sultan Hamid II atau yang memiliki nama asli Syarif Abdul Hamid Alkadrie. “Beliau ditunjuk pemerintah untuk memimpin tim pembuatan lambang negara Indonesia,” kata Din.

Din mengatakan, peran dan jasa ulama sungguh luar biasa. Begitu pula saat kemerdekaan, walaupun sudah disepakati apa yang menjadi dasar negara Indonesia yang bernama piagam Jakarta, disepakati oleh tim 9, ada Bung karno, Bung Hatta, tokoh kristiani di dalamnya, selain tokoh Muhammadiyah Prof Kahar Muzakir, tokoh NU KH Wahid Hasyim, sudah disepakati piagam Jakarta menjadi dasar Indonesia, namun sila pertamanya berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

“Ada keberatan ketika sidang PPKI untuk membentuk undang-undang dasar negara. Kalau hal ini tetap dijalankan, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, kami tidak jadi bergabung dengan Indonesia, kata-kata tokoh kristiani dari Indonesia bagian timur,” cerita Prof Din Syamsuddin.

Baca sambungan di halaman 3: Jas HIjau

Buta Aksara Moral Bangsa Indonesia: Prof Dr Din Syamsuddin saat mengisi tausiah Kajian Ahad Pagi di Masjid An Nur Sidoarjo (Mahyuddin/PWMU.CO)

Jas HIjau

Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu, Jakarta Selatan itu lalu menjelaskan, terkait kearifan dari tokoh-tokoh Islam termasuk ketua Muhammadiyah waktu itu yakni Ki Bagus Hadi Kusumo, katanya juga KH Wahid Hasyim memberikan satu saran, bahwa tujuh kata itu diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Ini adalah kebesaran hati tokoh-tokoh Islam. Maka Bung Karno sering mengatakan Jas Merah, jangan sesekali melupakan sejarah,” ungkapnya. Prof Din juga menyatakan kesetujuaanya terhadap sebuah akronim yang bukan darinya, yaitu Jas Hijau, jangan sesekali hilangkan jasa ulama.

Di akhir kajian Prof Din Syamsudin mempertegas kalau posisi umat Islam terpinggirkan, yang rugi bukan umat Islam. “Kalau posisi umat Islam terpinggirkan di republik ini, yang rugi bukan umat Islam tapi Indonesia akan rugi. Tentu jasa besar umat Islam ini tidak kita jadikan tuntutan, agar kita umat Islam ini dianakemaskan di republik ini,” tegasnya, seperti dilaporkan kontributor PWMU.CO.

Terus Mengawal Pancasila

Prof Din Syamsudin juga menambahkan jangan mau umat Islam diperhadapkan dengan Pancasila, karena Islam adalah agama yang paling dekat dengan Pancasila. Jangan sampai Pancasila diselewengkan, karena banyak yang teriak-teriak kami Pancasila, tetapi mereka tidak mengamalkan Pancasila, kami Bhinneka Tunggal Ika, padahal mereka tidak Berbhinneka Tunggal Ika.

Lalu Prof Din memberikan contoh, untuk melihat sistem ekonomi. Jika dikaitkan dengan sila ke lima, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, jauh panggang dari api. “Masa segelintir orang menguasai diatas 60 persen aset nasional, empat orang kaya harganya sama dengan seratus juta rakyat miskin,” tanyanya retorik.  

Terakhir, Din Syamsudin berpesan untuk senantiasa mengawal Pancasila. “Memajukan bangsa Indonesia termasuk juga mengawal Pancasila, jangan sampai diselewengkan, dikuasai, dan dimonopoli, baru setelah itu kita mencerahkan semesta ini,” pesannya. (*)

Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version