Moral Politik di Pilkada Sidoarjo

Ceramah di Krian, Ketua PDM Sidoarjo Prof Dr A Dzo’ul Milal berasa nostalgia; Liputan Basirun, kontributor PWMU.CO Sidoarjo.
Prof Dr A Dzo’ul Milal saat memberi tausiah dalam Pengajian Bersama PCM Krian di Masjid al-Muhtadin SMK Pemuda Krian (Basirun/PWMU.CO)

Prof. Dr. A. Dzo’ul Milal, M.Pd. – Ketua PDM Sidoarjo

PWMU.CO – Lima bulan lagi, tepatnya November 2024, Pilkada serentak akan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia termasuk kabupaten Sidoarjo. Banyak baliho wajah bakal calon bupati dan wakil bupati bertebaran di lokasi-lokasi strategis. Hal ini menambah semaraknya kontestasi dan meningkatkan partisipasi publik.

Tulisan ini akan berfokus membahas pilkada Sidoarjo. Sebab, membahas Sidoarjo selalu menarik. Terlebih, akhir-akhir ini Sidoarjo menjadi buah bibir di media sosial. Sebagai kabupaten yang memiliki slogan BERIMAN (bersih, rapi, serasi, sehat, indah, dan nyaman), pembangunan di Sidoarjo sepatutnya tidak hanya difokuskan dalam aspek fisik, tetapi juga harus memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan sehari-hari. Kasus-kasus dan pengalaman yang mengancam kehidupan demokrasi yang terjadi pada pemilu-pemilu yang lalu tidak boleh terjadi lagi.

Saat kontestasi pilkada ini, Sidoarjo harus mencanangkan semangat baru: No money politics. Gerakan ini harus diikuti oleh semua, mulai dari stakeholders, KPU, Bawaslu sebagai panitia penyelenggara, partai-partai politik dan cabup-cawabup sebagai peserta kontestasi, ormas keagamaan dan seluruh rakyat Sidoarjo sebagai pemilih.

Semua harus mengontrol dan menihilisasikannya. Siapapun yang bermain money politics harus dihabisi atau dikalahkan. Jika tekad ini muncul sebagai kesadaran kolektif, maka pelaku atau siapapun yang punya niat akan melakukannya pasti akan berpikir dan merasa kewirangan (Jw. kaisinan) jika masih melakukannya.

Khusus Pilkada di Sidoarjo

Mengapa Sidoarjo? Saya menulis Sidoarjo karena memulai dari lingkungan terdekat di mana saya memimpin sebagai organisasi keagamaan. Selanjutnya, semoga daerah-daerah lain mengikuti. Mungkin juga akan ada pertanyaan, berarti masyarakat akan dirugikan karena mereka yang biasanya menerima amplop, di pilkada kali ini mereka tidak lagi mendapatkannya. Mungkin saja.

Namun yang perlu digarisbawahi, masyarakat perlu disadarkan bahwa menerima uang 100 atau 200 ribu tidak akan membuat mereka kaya, tidak menerimanya juga tidak akan membuat mereka miskin. Yang pasti, maraknya money politics akan merusak kehidupan demokrasi. Calon yang membagi-bagikan uang, ketika terpilih pasti akan melakukan berbagai upaya mengembalikan modalnya. Dan itu pasti akan merusak kinerjanya.

Andaikan masih ada yang melanggar komitmen dengan melakukan jual-beli suara, maka pihak yang berwenang harus menegakkan aturan setegak-tegaknya, secara jujur dan adil. Atau, jika ada yang membagi-bagikan uang kepada pemilih sebelum pemilihan, maka tetap terima uangnya, toh kita tidak memintanya dan anggap saja itu rizqi. Yang penting kita tidak berjanji, dan pilihan harus tetap pada calon dalam keyakinan kita.

Money politics yang merusak kehidupan dan sudah terlanjur meracuni seluruh rakyat negeri ini, lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Tetapi, niat baik untuk melawannya dan kesadaran untuk menghancurkannya harus dimulai sekarang dari diri dan lingkungan terdekat kita sendiri.

Harus muncul dalam diri kita rasa tidak suka, benci, dan tidak menerima kondisi maraknya money politics untuk mendongkrak elektabilitas. Tidak boleh ada yang berpikir, “Kita tidak mungkin menang jika kita tidak punya uang.” Sekarang pikiran itu harus diubah, “Siapapun yang main money politics pasti punya niat jahat dan oleh sebab itu harus dihabisi atau dikalahkan.” Jika semua orang membenci politik uang, itulah awal datangnya kebaikan dan keberkahan. Semoga. Wallohul musta’aan.

Editor Teguh Imami

Exit mobile version