PWMU.CO – Jurnalisme Filantropi yang Menggerakkan. Tim Media Lazismu Gresik menggelar Pelatihan Jurnalistik Filantropi di Zakat Center Lazismu Gresik, Jalan Jawa Nomor 76 GKB, Sabtu (17/9/2022).
Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni—narasumber dalam pelatihan itu—mengatakan, jurnalisme filantropi adalah berita yang mengangkat kasih sayang atau kedermawanan pada sesama. Menurutnya, model jurnalisme seperti ini sangat tepat dipakai di lembaga amal seperti Lazismu.
Kepada 24 peserta yang berasal dari Kantor Layanan Lazismu (KLL) di beberapa kecamatan di Gresik, Fatoni, sapaan akrabnya, menjelaskan, banyak berita yang bisa ditulis di Lazismu.
Misalnya berbagai kegiatan pendistribusian atau pentasyarufan yang dilakukan Lazismu. Atau aktivitas donasi di Lazismu. Hal itu perlu ditulis karena, menurutnya, salah satu fungsinya adalah sebagai laporan pertanggungjawaban kepada publik.
“Ini juga bagian dari transparansi untuk menjaga trust (kepercayaan),” katanya.
Fungsi kedua adalah sebagai dokumentasi atau arsip kegiatan. Bahkan menurut dia, dokumentasi di internet alias jejak digital bersifat abadi.
“Yang namanya khalidina fiha abadan (di dalamnya kekal selamanya) bukan hanya berlaku di akhirat, tetapi sudah bisa dibuktikan di internet,” katanya memberi analog.
Dia memberi contoh, sekali kita mengungah materi digital—foto, video, infografis, atau tulisan—maka dijamin akan langgeng di dalamnya. “Meskipun sudah dihapus di sumber pertama, tapi yang lain sudah mengunduh bahkan meng-upload ulang,” jelasnya.
Fungsi ketiga, berita tentang kegiatan kedermawanan ini bisa menginspirasi orang lain. Misalnya, seseorang yang menjadi donatur Lazismu puluhan tahun secara konsisten, jika ditulis akan menginspirasi orang lain untuk melakukan kebaikan serupa.
“Jurnalisme filantropi bukan untuk ‘memperdagangkan’ kesusahan atau kemelaratan. Kita justru ingin mengangkat martabat sumber berita. Itulah makna sesungguhnya dari jurnalisme filantropi: mengangkat sisi kemanusiaan.”
Mohammad Nurfatoni
Tiga Kali Praktik
Oleh karena itu, Wakil Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu mendorong aktivis KLL untuk menulis kegiatannya dalam bentuk berita straight news atau berita cepat.
Dia pun menyampaikan teori melalui praktik. Ada tiga praktik menulis yang dia berikan pada pelatihan yang berlangsung pukul 08.00-14.30 WIB itu. Dari praktik-praktik itulah Fatoni mengajak peserta menemukan teori jurnalistik. Misalnya soal akurasi, kemenarikan, fakta bukan opini, aktualitas, dan kelengkapan berita.
Praktik pertama, pretest menulis. Dia meminta peserta menulis apapun sebelum mendapat teori. Boleh menulis berita, opini, cerpen, puisi, bahkan curahan hati.
Kedua, praktik membuat lead atau teras berita. Yakni memberitakan peristiwa dengan empat unsur berita: what (apa), who (siapa), when (kapan), dan where (di mana).
Menurutnya dengan 4W itu sebenarnya kita sudah membuat berita meskipun baru dalam taraf berita pamlet atau semacam caption (keterangan) pada foto. “Tapi itu sudah mengabarkan tentang suatu peristiwa, meskpun belum mendalam,” katanya.
Praktik ketiga adalah membuat straight news yang utuh dengan menyempurnakan lead melalui penambahan unsur why (mengapa peritiwa itu terjadi) dan how (bagaimana kejadiannya).
Untuk masing-masing tugas, Fatoni memberi apresiasi pada peserta yang tulisannya tercepat dikirim dan terbaik hasilnya dengan hadiah buku. Dalam praktik ketiga, tulisan Alfina Indah Wahyuni dari KLL Universitas Muhammadiyah Gresik berjudul Lazismu Gresik Menggelar Pelatihan Jurnalistik Filantropi dia pilih sebagai berita terbaik pertama.
Feature News, Berita Rasa Sastra
Materi penulisan berita straigth news berakhir pukul 12.00. Setelah istirahat shalat dan makan, peserta kembali ke forum pukul 13.00 untuk mengikuti materi berikutnya, yakni menulis feature news.
Fatoni mengatakan, meski semua kegiatan Lazismu bisa ditulis dalam bentuk straight news, tetapi akan lebih menarik jika ditulis dengan gaya soft news atau feature news.
Dia menerangkan, dalam praktiknya, feature news dipakai untuk menulis apa atau siapa di balik peristiwa, profil tokoh, berita kematian alias obituarium, atau kisah perjalanan.
Tulisan semacam itu lebih menarik dan menggugah karena bisa menampilkan sisi humanisme. “Di Lazismu kita bisa menulis profil muzzaki (wajib zakat) atau mustahiq(penerima zakat) dengan gaya feature news,” terang dia.
“Seorang penulis harus bisa mengasah imajinasi dengan banyak merenung, mempertajam perasaan dengan banyak bergaul dengan lingkungan sosial, dan kaya akan diksi dengan banyak membaca.”
Mohammad Nurfatoni
Dari dua profil itu, lanjutnya, kita bisa mengeksplorasi sisi kemanusiaannya. Tapi harap dicatat, tulisan seperti ini bukan untuk ‘memperdagangkan’ kesusahan atau kemelaratan. “Kita justru ingin mengangkat martabat sumber berita yang menjadi profil tersebut,” ujarnya. Itulah, menurutnya, makna sesungguhnya dari jurnalisme filantropi: mengangkat sisi kemanusiaan.
Untuk mempermudah membedakan straight news dengan feature news, Fatoni membandingkan unsur 5W 1H. Sebenarnya kedua jenis tulisan itu mengandung unsur yang sama. “Hanya dalam feature news kita melakukan penebalan (pendalaman) pada why dan how,” katanya.
Yang juga membuat feature news menarik untuk dibaca adalah cara menulisnya yang menggunakan gaya sastra alias menyastrakan berita. “Jadi seperti menulis cerpen tapi datanya harus berdasarkan fakta, bukan fiksi,” ujarnya.
Fatoni mengingatkan, menulis berita bergaya cerpen bukan berarti menggunakan bahasa yang mendayu-dayu atau hiperbolik. Tetapi, dia menyarankan: menggunakan, salah satunya, deskripsi. Bisa deskripsi mengenai ruang, waktu, atau sosok.
”Dengan deskripsi itulah pembaca yang tidak mengetahui peristiwa itu secara langsung seperti hadir di lokasi,” terangnya. Dia pun menunjuk majalah Tempo sebagai contoh media yang menulis berita berasa sastra.
Tulisan Menggerakkan
Fatoni lalu memberikan beberapa contoh tulisannya yang bergaya feature news. Misalnya berita perjalanannya di China tahun 2017 atau tulisan dia di buku Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas, berjudul Menjadi Marbot Masjid Ummul Mu’minin.
Lulusan S1 Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya—kini Unesa—itu menekankan, selain enak dibaca, feature news dalam jurnalistik filantropi harus bisa menggugah dan menggerakkan. “Misalnya setelah membaca tulisan feature news kita, pembaca tertarik menjadi donatur,” katanya.
Oleh karena itu dia menyarankan seorang penulis harus bisa mengasah imajinasi dengan banyak merenung, mempertajam perasaan dengan banyak bergaul dengan lingkungan sosial, dan kaya akan diksi dengan banyak membaca.
Fatoni menegaskan, membaca yang dimaksud bukan hanya yang tersurat (buku dan teks lainnya) tetapi yang juga penting adalah membaca yang tersirat (semesta alam, lingkungan sosial).
Penulis berita sastrawi juga harus suka mencatat atau memotret, “Karena ingatan kita tidak kuat, maka catatan atau foto itu bisa membantu kita medeskripsikan secara detail dalam tulisan,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, wartawan harus pandai menggali narasumber supaya keluar narasi istimewa: unik, baru, menginspirasi, dan menggugah rasa.
Lebih dari itu, Fatoni menekankan, resep termanjur untuk menulis berita yang baik adalah 5M: menulis, menulis, menulis, menulis, dan menulis. Artinya harus dicoba dan dipraktikkan. (*)
Jurnalisme Filantropi yang Menggerakkan; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post