Kelakar Tingkat Tinggi Sahabat Nabi

Kelakar tingkat tinggi
Nurbani Yusuf

Kelakar Tingkat Tinggi Sahabat Nabi oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.

PWMU.CO– Siapa bilang para sahabat Nabi tidak suka bercanda. Bahkan terkadang antar para sahabat adu kasekten khas gaya ulama sufi, ’pamer’ ilmu, ’pamer’ hikmah, dan kedalaman olah batin tingkat tinggi dengan guyonan berkelas.

Jika kita kurang pandai, kurang baca, sehingga menjadi sempit wawasan atau kalau menurut anak zaman now kurang malam pulangnya atau kurang jauh tempat bermainnya, kita akan dengan mudah bilang sesat atau menghukumi kafir.

Padahal di balik pernyataan-pernyataan itu ada hikmah tersembunyi. Hanya karena kita belum paham kemudian dengan mudah menghukumi sesat, bid’ah, bahkan kafir. Simak kisah yang ditulis Ali bin Zen dalam kitab Hilyatul Awliya berikut ini.

Diriwayatkan, suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khatthab ra bertemu dengan Hudzaifah bin Yaman ra. Umar ra bertanya: ”Apa kabar pagimu, wahai Hudzaifah?”

Hudzaifah ra menjawab: ”Aku mencintai fitnah, membenci kebenaran, shalat tanpa wudhu, dan di bumi ini aku memiliki sesuatu yang tidak Allah miliki di langit.”

Jawab Hudzaifah menggoda sahabatnya Khalifah Umar.

Mendengar jawaban itu Umar marah. Tapi dia tahan kemarahan itu mengingat Hudzaifah adalah sahabat dekat Nabi Muhammad saw. Kemudian dia mendatangi Ali bin Abi Thalib ra.

Ali bertanya: ”Wahai Amirul Mukminin, ada bekas marah di wajahmu.”  Lalu Umar ra menceritakan ucapan Hudzaifah.

Ali ra berkata: ”Jangan membuatmu marah wahai Amirul Mukminin.”

Dia mencintai fitnah, maksudnya adalah takwil dari firman Allah: ”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (cobaan) bagimu.”. (At-Thaghobun (64): 15)

Dia membenci kebenaran, maksudnya adalah kematian, yang tidak bisa terelakan dan dihindari.

Dia shalat tanpa wudhu, maksudnya ia bershalawat kepada Nabi saw setiap waktu. Dan bershalawat tidak harus berwudhu.

Dia memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit, maksudnya adalah ia beristri dan beranak, sedangkan Allah tidak beristri dan beranak.

Kemudian Umar ra berkata: ”Sungguh Allah telah mendalamkan ilmumu, wahai Abu Hasan. Engkau telah menghilangkan rasa galau yang ada di dalam hatiku karena perkataan Hudzaifah.”

Bukan berarti Umar ra belum paham dengan Hudzaifah ra lantas membenarkan penjelasan Ali ra tapi kebiasaan ulama adalah saling berendah hati dan tawadhu’.

Masyaallah, itulah kelakar tingkat tinggi dari para alim ahli sufi dan hikmah. Mereka sesungguhnya sedang adu pintar dan adu kedigdayaan. Seberapa banyak ilmumu, seberapa dalam tajjalimu, seberapa paham akalmu mencandra fenomena alam.

Seberapa lama dzikirmu. Seberapa tinggi mikrajmu saat shalat atau hanya tetap sujud di atas sajadahmu. Tapi tak pernah mencapai langit. Seberapa banyak hijab sudah kau singkap. Atau agamamu hanya sebatas teks yang ditulis rapi tapi tak pernah beranjak.

Jangan keburu macak ulama jika tak kau dapati pada hatimu hikmah seperti yang dimiliki para nabi dan agar tak gampang berhukum pada sesuatu karena hanya paham kulit tanpa isi.

Agar tak gampang menyesatkan dan mengafirkan untuk sesuatu yang dia sendiri kurang paham. Itulah hikmah. Ulama waskita saya menyebutnya. Wallahu a’lam.

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version