Politik Ana dan Antum

Politik ana
Nurbani Yusuf

Politik Ana dan Antum oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.

PWMU.CO– Di Cina, di pertengahan abad ke-17 penguasa Manzu mengharuskan bangsa Han punya identitas baru: memakai gaya potongan rambut yang khas. Kepala nyaris botak di bagian belakang, di dekat kuduk, ada kuncir panjang. 

Di tahun 1622, Maharaja Taizu dari Dinasti Qing menyerbu ke Selatan dan mengharuskan penduduk jazirah Laodong gundul dan memakai kuncir.  Yang membantah dihukum mati. Pada umumnya orang Han menyerah. Mereka menjadikan kuncir identitas  ”Cina” selama bertahun-tahun.

Tapi jelas itu bukan ciri ke-Cina-an yang abadi. Bahkan dilawan. Di antara bangsa ini ada yang menyimpan diam-diam pilihan mereka untuk berambut gondrong. Hidup dalam paksaan, mereka angkat senjata. Seorang Eropa yang menyaksikan perang itu mencatat bahwa ”para pembangkang (anti-kuncir) ini berperang mati-matian demi rambut mereka ketimbang demi raja dan kerajaan.”  

Karena ”aku” nya setiap kita harus berbeda  dan bisa saja tak ada kata ’kita’ tapi ana dan antum. Lantas apa yang dapat merekatkan? Tak semudah menjawab, ini bukan soal ujian yang bisa dinilai dengan huruf atau angka.

Mungkin ini bagian dari kenapa Allah adalah Yang Maha Zahir dan Maha Batin—kepasrahan menjadi yang utama— adalah pengagungan terhadap Allah Yang Maha Alim. Tak ada yang luput dari perhatian Allah, bahkan pasir bergeser dari tempatnya pun atas izin Allah.

Tapi bagaimana menjelaskan dan mengabarkannya? Syaikhul Ibnu Arabi, sufi yang dikenal makrifat malah dituduh sesat dan menyimpang hanya karena  gagasan dan idenya tak nyambung dengan ide sebagian ulama yang berbeda pandangan.

Soal besarnya adalah karena banyak yang merasa ’mewakili’.  Mewakili kebenaran Allah. Mewakili kebenaran kitabullah atau mewakili kebenaran Rasulullah. Lantas menyingkirkan siapapun yang dianggap tidak benar menurutnya sendiri.

Jadi apa masalahnya? Kenapa Islam tidak menyatukan? Kenapa kitabullah tidak menyatukan? Kenapa sunah tidak menyatukan?

Karena Islam tak pernah menjadi ’kita’. Yang ada adalah ana dan antum. Jadi pokok soalnya jelas. Bukan Islam atau al-Quran atau Nabi yang bermasalah. Tapi kita yang terus merawat politik ana dan antum dalam satu paket.

Seperti rambut putih dan kulit berkerut itu untuk membedakan siapa ana dan siapa antum.

Wallahul muwafiq ila aqwamithariq. Nasrun minallah. Fastabiqul khairaat. Nun qalamin. Billahi fi sabilil haq. Wallahu taala a’lm.

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version