Hilal dan Hilal

Prof Agus Purwanto DSc saat menjadi pemateri ME Awards Special Edition 2022 di Umsida (Darul Setiawan/PWMU.CO)

Hilal dan hilal, catatan oleh Prof Agus Purwanto DSc, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PWM Jatim 2022-2027.
Prof Agus Purwanto DSc saat menjadi pemateri ME Awards Special Edition 2022 di Umsida (Darul Setiawan/PWMU.CO)

Hilal dan hilal, catatan oleh Prof Agus Purwanto DSc, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PWM Jatim 2022-2027.

PWMU.CO – Dua foto di bawah ini menampilkan hilal. Permukaan bulan yang mendapatkan cahaya matahari dan menghadap bumi. Sangat tipis, yang hanya dapat ditangkap oleh ahli berpengalaman dengan menggunakan teleskop khusus.

Dua hilal ini serupa tetapi tak sama alias berbeda. Samanya, perhatikan dengan saksama, bentuknya mak crit seperti goresan tipis. Yang latar putih diamati oleh tim Bosscha Bandung, Rabu (22/3/23) pukul 14:48 sebelum maghrib. Yang berlatar cokelat diamati oleh tim Geofisika Palu, Rabu (22/3/23) pukul 18.33 – 18.35 WITA, setelah Maghrib.

Itulah penampakan bulan (moon, qamar) yang sama, lha kita memang hanya mempunyai satu bulan. Bedanya lagi, hilal pertama atau hilal Bosscha tidak diakui sebagai penanda bulan baru. Hilal kedua atau hilal Geofisika Palu diakui sebagai penanda bulan baru.

Alasannya, hilal yang pertama terjadi sebelum Maghrib, sedangkan yang kedua setelah Maghrib. Dua foto di atas juga dapat menjelaskan wujudul hilal.

Satu Garis Bujur Astronomis

Hilal sebagai bagian permukaan bulan yang mendapatkan cahaya matahari dan menghadap bumi, itu terjadi sesaat setelah konjungsi, yakni posisi matahari-bulan-bumi satu garis bujur astronomis. Dan bagian ini terus membesar hingga maksimum, yakni semua permukaan bulan yang mendapatkan cahaya matahari menghadap bumi, ketika maksimum ini dikenal sebagai bulan purnama atau full moon.

Posisi ketiga objek langit ini membentuk urutan matahari-bumi-bulan satu garis bujur astronomis. Bulan terus bergerak mengelilingi bumi sehingga permukaan yang mendapatkan cahaya matahari dan menghadap bumi, kembali mengecil hingga terbentuk bulan sabit atau hilal akhir bulan.

Dan akhirnya sampai di akhir siklus yakni posisi konjungsi, matahari-bulan-bumi (kembali) satu garis bujur astronomis. Karena siklus, maka akhir siklus sekaligus awal siklus, karena itu astronom menyebut juga posisi konjungsi ini sebagai fase new moon, bulan baru.

Kembali ke hilal atau bulan sabit, jelas bahwa bulan sabit ada dua jenis, yaitu bulan sabit akhir, yaitu bulan yang terjadi sebelum konjungsi, yang dapat dilihat di langit timur sekitar subuh.

Sedangkan bulan sabit awal, yaitu bulan terjadi setelah konjungsi dan dapat diamati di kaki langit barat ketika maghrib. Konjungsi bulan Maret ini terjadi Rabu, 22 Maret 2023 jam 00:27. Karena Maghrib di Tanjung Kodok Lamongan jam 17:41 maka dikatakan usia bulan adalah 17 jam 14 menit.

Konjungsi

Dari kasus ini jelas bahwa konjungsi terjadi sebelum maghrib, yakni Rabu 22 Maret 2023. Andai konjungsi terjadi setelah maghrib, yakni pada 29 Syakban maka tinggi bulan tidak perlu dihitung dan bulan Syakban digenapkan 30 hari. Tidak ada perbedaan awal bulan.

Karena konjungsi terjadi sebelum Maghrib maka tinggi bulan ketika Maghrib, 22 Maret 2023 dihitung. Secara umum hasilnya ada dua kemungkinan. Pertama, tinggi negatif yakni piringan bawah bulan telah masuk dan di bawah ufuk. Maka bulan yang sedang berlangsung digenapkan 30 hari. Tidak ada perbedaan awal bulan.

Kedua, tinggi positif yakni piringan bawah bulan di atas ufuk langit barat. Jika tinggi positif lebih dari tiga derajat (dan elongasi, yakni jarak matahari-bulan 6,4 derajat), maka keesokan hari ditetapkan sebagai bulan baru, dan tidak ada perbedaan awal bulan.

Tetapi jika tinggi hilal kurang dari 3 derajat, seperti akan terjadi pada 29 Ramadan dan 29 Dzulqa’dah nanti maka pemerintah dalam hal ini Kemenag via sidang isbat akan menetapkan Ramadhan 30 hari, Dzulqa’dah 30 hari. Dan jika ada perukyat mengaku berhasil melihat hilal, maka kesaksiannya akan ditolak.

Sebagai contoh pengakuan berhasil merukyat Tim Falakiyah Pesantren Sidogiri, 22 Juni 2022 yang diunggah di situs Lembaga Falakiyah Pesantren Sidogiri ditolak dan beberapa hari kemudian dihapus dari situs. Karena tinggi hilal menurut hisab waktu itu kurang dari 3 derajat.

Wujudul Hilal dan Imkanu Rukyat

Siangnya, 29 Juni 2022 pukul 15:50 dan pukul 15:54 tim Bosscha menangkap citra hilal sebelum maghrib ini. Dalam kasus inilah awal bulan versi Wujudul Hilal (WH) dan Imkanu Rukyat (IR) berbeda mengawali bulan baru.

WH dapat dikatakan sebagai keadaan khusus IR yakni IR nol derajat, karena tinggi hilal positif di 29 Ramadhan dan 29 Dzulqa’dah, maka jumlah hari Ramadhan dan Dzulqa’dah masing-masing 29 hari. Karena itu penganut WH akan ber-Idul Fitri dan Idul Adha lebih dahulu dari penganut IR. Sampai di sini semoga jelas.

Kembali pada penjelasan di depan, hilal itu terus membesar dan tidak pernah mengecil atau mati alias nol. Maka hilal yang terlihat sebelum maghrib juga akan membesar, meski saat atau setelah maghrib tidak terlihat, tetapi sejatinya hilal itu ada, hilal itu eksis. Hilal itu wujud.

Seperti kasus hilal 29 Juni 2022 lalu, inilah wujudul hilal secara astronomis, yang oleh Muhammadiyah masih dibatasi dengan ketinggian nol dari ufuk. Artinya saat Maghrib masih di atas ufuk meski tidak terlihat. Jika negatif alias bagian bawah bulan telah masuk ufuk tidak diterima sebagai hilal yang eksis.

Dengan demikian, wujudul hilal nol derajat sesungguhnya jalan tengah antara hilal substantif matematis yang terjadi sesaat setelah konjungsi, dan hilal terlihat atau imkanur rukyat.

Hilal substantif matematis dapat terjadi sebelum Maghrib dan jika saat Maghrib masih belum positif alias masih negatif tidak diterima sebagai penanda awal bulan, dibuat nol sehingga batasan menjadi sederhana.

Sukolilo-Suroboyo, 4 Ramadhan 1444

(*)

Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version