Ahmad Sanusi Tokoh Penting di Sekitar Proklamasi

Ahmad Sanusi

Ahmad Sanusi Tokoh Penting di Sekitar Proklamasi Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sembilan buku lainnya

PWMU.CO – Ahmad Sanusi, tokoh dengan banyak sebutan yang baik. Di antaranya: pembelajar yang tekun, ulama yang penulis, aktivis dengan pergaulan yang luas, pemikir dengan wawasan global, dan Pahlawan Nasional. 

Memang, kontribusi positif Ahmad Sanusi bagi masyarakat lewat berbagai amal salehnya tak sedikit. Kontribusi itu termasuk lewat karya-karya bukunya yang sangat banyak.

Apresiasi Datang

Ahmad Sanusi lahir pada 18 September 1888 di Cantayan, Sukabumi, Jawa Barat. Sang ayah adalah KH Abdurrohim. Dia adalah Ajengan Cantayan, Pimpinan Pesantren Cantayan, Sukabumi (ajengan, adalah istilah terutama di Jawa Barat untuk kiai).

Ahmad Sanusi tumbuh-kembang di lingkungan keluarga yang agamis. Hafal al-Qur’an di usia 12 tahun. Juga, menguasai tauhid, fikih, tafsir, nahwu, sharaf, mantiq, dan lain-lain.

Di usia sekitar 17 tahun, atas permintaan sang ayah, dia mencari ilmu di berbagai pesantren di Jawa Barat di luar Pesantren Cantayan. Ahmad Sanusi lalu mengunjungi banyak ulama di berbagai pesantren. Tujuannya, seperti amanah sang ayah, untuk belajar dan berdiskusi langsung kepada para ulama.

Sekitar 1910 Ahmad Sanusi menikah. Beberapa bulan setelahnya, dia beserta istiri berangkat ke Mekkah. Selanjutnya, setelah berhaji, mereka tidak langsung pulang ke Tanah Air tapi mukim di Mekkah selama sekitar 5 tahun. 

Di Mekkah Ahmad Sanusi memperdalam agama. Juga, menambah wawasan keilmuan (dalam artian luas) dengan membuka komunikasi ke sejumlah ulama ternama. Juga, dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional yang sedang mukim di Mekkah.

Di antara banyak ulama yang dikunjungi Ahmad Sanusi adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Mahfudz At-Tremasi. Adapun kalangan kaum pergerakan yang dikunjunginya antara lain: KH Abdul Halim (di kemudian hari mendirikan PUI bersama Ahmad Sanusi), Haji Abdul Muluk (tokoh Syarikat Islam), KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh NU), dan KH Mas Mansur (tokoh Muhammadiyah).

Secara pemikiran, di Mekkah Ahmad Sanusi juga bersentuhan (melalui buku-buku dan majalah aliran pembaharuan) dengan sejumlah Ulama Besar. Mereka, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Alhasil, ilmu Ahmad Sanusi mendalam. Lalu, terbit apresiasi dari kalangan ulama di Mekkah yaitu dia diberi kepercayaan menjadi salah satu imam shalat di Masjidil Haram. Bahkan (belakangan), salah seorang ulama di sana mengatakan bahwa Muslim dari Jawa tidak perlu jauh-jauh ke Mekkah untuk belajar agama. Hal ini karena di Jawa-khususnya di Sukabumi-telah ada seorang guru yang ilmunya telah mencukupi yaitu Ahmad Sanusi.

Ilmu Ahmad Sanusi memang telah memadai. Sebagai seorang pembelajar, tak hanya ilmu agama yang dia pelajari. Dia pun belajar fisika, kimia, dan lain-lain. 

Berbagai Hikmah

Pulang dari Mekkah, Juli 1915, Ahmad Sanusi langsung mengajar di Pesantren Cantayan, Sukabumi. Itu, ditekuninya sampai sekitar 6 tahun kemudian. Berkat cara mengajarnya yang baik, berbeda dengan cara rata-rata ulama lainnya, nama Ahmad Sanusi dengan cepat dikenal masyarakat hingga mendapat julukan Ajengan Cantayan.

Berikutnya, atas arahan ayahnya, pada 1922 dia mendirikan Pesantren Genteng di  Babakan Sirnayang dia pimpin sendiri. Lokasinya, di kaki gunung Rumpin, Babakan Sirna, Cibadak, Sukabumi.

Pada 1927 terpaksa Ahmad Sanusi tinggalkan pesantren itu. Pasalnya, dia ditahan penjajah. Itulah, di antara risiko sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan. Mengapa dia ditahan?

Pada Agustus 1927 di dekat Pesantren Genteng terjadi insiden perusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung dan Bogor. Peristiwa ini dijadikan sebagai alasan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahan Ahmad Sanusi. 

Cukup lama dia ditahan, 15 bulan di penjara Cianjur dan Sukabumi. Lalu, diasingkan ke Batavia Centrum, Tanah Tinggi Senen, sekitar 6 tahun.

Di Betawi, meski tanpa pesantren, Ahmad Sanusi tetap aktif berdakwah. Maka, masyarakat lalu mengenalnya sebagai Ajengan Betawi.

Pada 1934, dia dipindahkan ke Kota Sukabumi dengan status tahanan kota. Pada tahun itu pula, dia mendirikan Pesantren Syamsul Ulum Gunungpuyuh, Sukabumi. Dia yang langsung memimpinnya. 

Unik, karena selama sekitar 16 tahun memimpin Pesantren Syamsul Ulum, lima tahun di antaranya Ahmad Sanusi masih dalam status sebagai tahanan kota. Lalu, sekitar 11 tahun berikutnya dia sudah sudah menjadi “orang bebas”.

Selalu ada hikmah bersama kehadiran masalah atau musibah. Untuk Ahmad Sanusi, hikmah dia ditahan 15 bulan dan sekitar 11 tahun diasingkan, dia produktif sebagai seorang penulis. Tidak kurang dari 126 judul kitab yang dia tulis dari berbagai disiplin keilmuan. Di antaranya, ada Tafsir Al-Qur’an, Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih, Ma’ani, Bayan, dan lain-lain (https://pui.or.id/profil-kh-ahmad-sanusi-pendiri-pui-dari-hafidz-al-quran-usia-12-tahun-hingga-pejuang-kemerdekaan-ri/).

Kembali ke Pesantren Syamsul Ulum. Hingga saat tulisan ini dibuat, pesantren tersebut masih eksis. Bahkan, semakin maju dengan berbagai pengembangannya, baik sarana-prasarananya maupun pola pendidikannya. Jika semula hanya pesantren biasa, kini ada pendidikan formal yaitu mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Baca sambungan di halaman 2: Buku-Buku Ahmad Sanusi

Buku-Buku Ahmad Sanusi

Buku-Buku Ahmad Sanusi

Tentang Ahmad Sanusi dan karya-karya tulisnya, ada ulasan menarik di jurnal Atthulab Volume III No. 2, 2018/1439. Judulnya, Kyai Haji Ahmad Sanusi (1888-1950): Karya-Karya dan Pemikiran Ulama Sukabumi. Penulisnya adalah Anwar, Maslani dan Ratu Suntiah. Berikut ini, petikannya.

Ahmad Sanusi produktif menulis karena keluasan pemikiran dan wawasannya dalam berbagai keillmuan khususnya ilmu keagamaan Islam. Ada ratusan judul kitab yang pernah dia tulis. Karya-karya kitab tersebut mencakup berbagai bidang disiplin ilmu keislaman seperti akidah, fikih, tasawuf / akhlak, tata bahasa Arab, bahkan politik dan ekonomi Islam. Juga, tata bahasa Arab. Sedemikian banyak kelebihannya, jika disebut ulama klasik Sukabumi maka itu indentik dengan Ahmad Sanusi. 

Buku-buku Ahmad Sanusi mengupas persoalan-persoalan agama Islam. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia / Melayu. Ada juga, yang memakai bahasa Sunda. Sekadar menyebut beberapa judul karya bukunya, adalah Tamsyiyyatul Al-Muslimin dan Siraj Al-Adzkiya fi Tarjamah Al-Azkiya.

Menurut penuturan keluarga dan kerabat, masih banyak karangan Ahmad Sanusi lainnya yang belum dicatat dan dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan). Keseluruhannya, diperkirakan mendekati 400 judul kitab (file:///C:/Users/HP%20Elitebook/Downloads/4300-11437-1-PB%20(1).pdf).

Pikiran dan Jasa

Pada suatu rapat besar umat Islam di Sukabumi, Ahmad Sanusi mengingatkan bahwa agama Islam dan negara merupakan dua hal yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Ahmad Sanusi berpendapat, usaha memajukan agama Islam berarti juga memajukan negara (Hakiem, 2021: 311-312).

Selanjutnya, berikut ini sebuah fragmen penting di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia. Fragmen itu, bagian dari dinamika di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di badan ini, terlihat peran strategis dari Ahmad Sanusi saat rapat tak kunjung mencapai titik temu terkait rumusan sila pertama Pancasila.

Ketika rapat BPUPKI itu mendekati jalan buntu, Ahmad Sanusi lalu menyampaikan interupsi. Di tengah suasana rapat yang memanas, dia mengingatkan agar BPUPKI jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-goboh.

Sesudah mengingatkan peserta rapat agar berlindung kepada Tuhan masing-masing, Ahmad Sanusi mengusulkan kepada ketua rapat agar suasana rapat didinginkan dulu. Usul Ahmad Sanusi segera dipakai oleh Rajiman Wedyodiningrat, sang Ketua Rapat. Caranya, rapat BPUPKI itu ditunda sampai besok paginya.

Malam itu Bung Karno selaku Ketua Panitia Sembilan bergerilya. Dia melakukan pendekatan kepada para anggota BPUPKI  dari kedua kalangan, Islam dan Kebangsaan. 

Esoknya, berkat pendekatan yang dilakukan Bung Karno hingga hampir datang waktu subuh, hasil kerja Panitia Sembilan diterima oleh rapat besar BPUPKI. “Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini,” ujar Rajiman Wedyodiningrat (Hakiem, 2021: 313-314).

Tampak, ada kontribusi besar dari Ahmad Sanusi terutama di sekitar hari-hari kelahiran negeri ini alias di sekitar hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kita mudah membayangkan, apa kira-kira yang akan terjadi seandainya tak ada interupsi dan usul cemerlang dari Ahmad Sanusi di sidang BPUPKI itu.   

Baca sambungan di halaman 3: Berbuah Kader

Ahmad Sanusi

Berbuah Kader

Ahmad Sanusi, sebagai pendidik, berhasil. Banyak santrinya yang menjadi Ulama Besar dan berpengaruh. Tak hanya di skala Jawa Barat, tetapi juga berpengaruh di tingkat nasional.

Ketika mengajar di Pesantren Cantayan, Ahmad Sanusi mendidik santri angkatan pertama yang kemudian menjadi ulama-ulama besar. Mereka, antara lain: Ajengan Nakhrowi (Pendiri Pesantren Yasmida Cibatu Cisaat, Sukabumi), Ajengan Masturo (Pendiri Pesantren al-Masthuriyyah Cisaat, Sukabumi), Ajengan Uci Sanusi (Pendiri Pesantren Sunanul Huda Cikaroya Cisaat,m Sukabumi), dan Ajengan Afandi (Pimpinan Pesantren Tarbiyatul Falah Sadamukti, Cicurug, Sukabumi).

Saat Ahmad Sanusi mengajar di Pesantren Syamsul Ulum Gunungpuyuh, mendidik santri angkatan ketiga yang kemudian menjadi ulama-ulama besar. Mereka, antara lain: Ajengan Dadun Abdul Qohhar (Pendiri Pesantren Ad-Dakwah Cibadak, Sukabumi), Ajengan Khoer Apandi (Pendiri Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya), Ajengan Maksum (Pendiri Pesantren Bondongan, Bogor), Ajengan Rukhyat (Pendiri Pesantren Cipasung, Tasikmalaya), dan Ajengan Soleh Iskandar (tokoh militer). 

Tercatat juga, sebagai murid Ahmad Sanusi yang lain. Mereka adalah Dr. KH EZ Muttaqin (pendiri Unisba Bandung) dan Prof. KH Ibrahim Hosen, LML (pendiri dan rektor pertama IIQ serta pernah menjadi Ketua Majelis Fatwa MUI Pusat).

Catatan Panjang

Ahmad Sanusi, di tiap langkah kehidupannya, terasa selalu dalam bingkai perjuangan dan kebaikan. Pemikiran dan pergerakannya semua untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara. Dia aktif di berbagai kegiatan, baik sebagai pribadi maupun bersama lembaga. 

Jejak peran positif Ahmad Sanusi tak sedikit. Dia bersama KH Abdul Halim dan Mr. R. Syamsuddinmendirikan perhimpunan yang diberi nama Persatuan Umat Islam (PUI) pada 21 Desember 1917. Latar belakangnya, berupa rasa peduli terhadap nasib bangsa agar lepas dari belenggu penjajahan.

Di belakang hari, sekadar menyebut salah satu kontribusinya, PUI adalah salah satu organisasi yang menjadi penyokong utama pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Turut mendukung kala itu, sejumlah tokoh Islam serta tokoh nasionalis bangsa Indonesia. STI merupakan cikal-bakal Universitas Islam Indonesia (UII).

Jejak Ahmad Sanusi yang lain, sekilas telah disebut di atas, ada di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu sebagai anggota. Juga, dia sebagai pengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Ahmad Sanusi turut membidani kelahiran tentara Pembela Tanah Air (PETA). Juga, mendirikan Gabungan Usaha-usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), dan lain-lain. 

Kenangan dan Penanda 

Pada 31 Juli 1950, Ahmad Sanusi wafat di Pesantren Syamsul Ulum Gunungpuyuh, Sukabumi. Sebagai bagian dari penghormatan, nama almarhum diabadikan menjadi nama Museum di Sukabumi, yaitu Museum KH Ahmad Sanusi. Kemudian, nama almarhum bersama nama rekannya, KH Abdul Halim, dijadikan nama kampus di Bandung yaitu Universitas Halim Sanusi (UHS). 

Penghargaan kepada almarhum, ada lagi. Karya Ahmad Sanusi yang popular di wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta adalah Tafsir Raudlatul Irfan. Nama itu lalu dijadikan nama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat yang berlokasi di jalan jalur lingkar selatan Cibolang, Sukabumi.

Terakhir, negeri ini tak lupa kepada berbagai jasa Ahmad Sanusi. Almarhum pun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2022. Kini, tugas kita, merawat semangat kebaikannya sekaligus melanjutkannya. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version