Klinik Menulis Ungkap Gaya Selingkung Peninggalan Nadjib Hamid

Pemred PWMU.CO Mohammad Nurfatoni saat menjelaskan gaya selingkung di sesi Klinik Menulis. (Riska Oktaviana/PWMU.CO)

PWMU.CO – Klinik Menulis ungkap gaya selingkung peninggalan Nadjib Hamid. Pemimpin Redaksi Mohammad Nurfatoni menyampaikannya dengan santai. 

Ini bagian serangkaian acara Resepsi Milad Ke-7 PWMU.CO dan Ke-17 Matan di Aula Mas Mansur Kantor PWM Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/I Surabaya, Sabtu (26/8/2023). 

Mengawali materi, Fatoni menyampaikan bagaimana menulis yang baik dan SEO-able. Yakni tulisan yang mudah dicari di Google. 

Ia mengatakan, cara menulis yang baik itu mudah. “Pertama, gagasan yang mau kita tulis harus jelas. Cari hal yang menarik dari liputan. Hal yang menarik bisa dari kebaruan, trending topic, wow,kepentingan khalayak, human interest, atau keunikan. Menulis yang unik itu disukai pembaca,” kata Direktur Cakrawala Print itu.

Kedua, menyajikan berita dengan gagasan utama yang jelas. “Di sinilah misi berita ditampilkan. Meski tak boleh menyisipkan opini, tapi penulis bisa mementingkan hal tertentu. Ini biasa disebut dengan framing (yang positif),” jelasnya. 

Ketiga, eksplorasi dengan 5W dan 1H. “What, apa peristiwanya. Who, siapa yang terlibat. When, kapan terjadinya. Where, di mana terjadi. Why, mengapa terjadi. How, bagaimana prosesnya agar menjadi berita utuh atau mendalam,” urai penulis buku Tuhan yang Terpenjara itu. 

Keempat, perkuat dengan informasi pendukung atau sub judul. “Sub judul ini untuk memperkaya berita utama yang telah dijadikan judul. Dalam versi lain, sub judul ini bisa menjadi berita tersendiri,” terangnya. 

Menulis Seoable 

Bapak lima anak ini mengatakan, untuk menulis yang enak dibaca dan mudah dicari di Google atau SEO-able itu ada kiatnya. 

Pertama, menulis dengan jumlah kata yang terukur. “300 kata untuk batas minimal. 600 tulisan kata baik, dan 600 kata sampai 1000 untuk tulisan mendalam. Naskah yang panjang dapat dibuat sub judul minimal 300 kata,” katanya 

Kedua, menggunakan kalimat aktif. Kalimat aktif menggunakan awalan me-, dan ter-, sedangkan pasif menggunakan awalan di-. Rasio aktif dan pasif kurang dari 10 persen,” imbuhnya. 

Ketiga, menggunakan kata transisi. “Menulis dengan kata transisi untuk menghubungkan satu kalimat ke kalimat yang lain. Kata transisi misalnya oleh karena itu, kemudian, dengan demikian, dan namun,” tambah manajer Kanzun Book ini. 

Keempat, penulisan kalimat tidak terlalu panjang. “Maksimal 20 kata. Toleransinya 25 persen,” kata kakek dua cucu ini. 

Kelima, penulisan paragraf jangan terlalu panjang. “Maksimal 150 kata,” tuturnya. 

Keenam, menggunakan variasi kata. “Jangan menulis kalimat dengan kata yang sama secara berurutan. Perbanyak kosa kata. Biar tidak jenuh. Banyak diksi, banyak membaca,” ajaknya. 

Ketujuh, menggunakan kalimat atau kata baku. “Tulisan kredibel bisa dilihat dari menggunakan bahasa baku,” imbuhnya. 

Ketika semua teori itu sudah diterapkan, Fatoni lanjut bertanya, bagaimana dapat menulis lebih baik lagi? “Jawabannya menulis, menulis, menulis, menulis, dan menulis,” tutupnya. 

Baca sambungan di halaman 2: Gaya Selingkung 

Pemred PWMU.CO Mohammad Nurfatoni saat menjelaskan gaya selingkung di sesi klinik menulis. (Riska Oktaviana/PWMU.CO).

Gaya Selingkung 

Terakhir, untuk menulis yang enak dibaca, menggunakan gaya selingkung media. Contohnya, penulisan gelar pendidikan di tulisan berita tidak menggunakan titik dan koma. 

“Ini saya akan diprotes guru Bahasa Indonesia,” canda Fatoni. 

Tapi dia menegaskan, guru Bahasa Indonesia harus paham di dunia jurnalistik itu ada selingkung. “Maaf ya, Bu,” ucapnya kepada kontributor yang berprofesi guru Bahasa Indonesia. 

Begitu pula dengan penulisan al-Quran sesuai gaya selingkung PWMU.CO. “Ini sudah diskusi panjang kalau al-Quran sudah kita bakukan. Tidak boleh selain ini!” tegasnya. 

Agar lebih paham, dia bertanya, “Al-Quran itu kata utamanya apa? Al-nya atau Qurannya?” Peserta kompak menjawab Quran. 

“Al itu untuk menunjukkan makrifat. Itu kata imbuhan. Al-nya kecil. Yang besar Q. Dikasih garis (-),” terangnya. Penulisan ini kata Fatoni hasil diskusi peninggalan almarhum Nadjib Hamid. 

Contoh lainnya ialah penulisan shalat, pakai h. “Shalat apa salat? Yang benar KBBI adalah salat tetapi kita pernah diprotes. Karena ini media keislaman Muhammadiyah. Kayak tidak Islami,” ungkapnya. 

Fatoni menegaskan, selingkung media memang menyalahi kata baku. “Itu menjadi kesepakatan di media. Jawa Pos Ramadhan nggak pakai h, Kompas pakai h,” imbuhnya. 

Dugaan Fatoni benar. Khoen Eka Anthy, salah satu kontributor yang berprofesi guru Bahasa Indonesia SMA Muhammadiyah 3 Kota Batu menyarankan, “Menurut saya lebih baik kita mengefektifkan kalimat ucapan kata daripada kita menghilangkan titik koma di gelar yang memang itu sangat penting. Di soal-soal literasi itu pasti muncul dan pasti menjadi sebuah kesalahan.” 

Kemudian kontributor lainnya asal SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo, Khusnul Isa, berpendapat, “Menurut saya, jika PWMU atau surat kabar lainnya menggunakan kata baku, maka kita tidak akan tahu mana kata yang salah.” 

Karena dalam belajar Bahasa Indonesia, lanjutnya, jika kita mengetahui yang salah maka yang benar akan lebih diketahui siswa. “Memang dari dulu ciri khas jurnalistik ada gaya selingkungnya. Itu tidak boleh tidak ada. Karena harus menjadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan dari media,” imbuhnya. (*) 

Penulis Riska Oktaviana Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version