GEDSI
Tri menegaskan, bicara GEDSI tak lepas dari membahas kesetaraan dan keadilan pada tiga hal, yaitu gender, disabilitas, dan kelompok yang dieksklusi dan mengeksklusi. Kelompok-kelompok bisa diekslusi karena tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, dan lainnya.
“GEDSI adalah tools atau alat analisis yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan (kesenjangan) yang diakibatkan gender (antara laki-laki dan perempuan), disablitas (dengan non disabilitas), dan kelompok yang dieksklusi dan mengeksklusi. Seperti kapitalisme untuk melihat ketimpangan yang diakibatkan penguasaan akses ekonomi,” terangnya.
Dengan kemampuan analisis inilah menurutnya para penulis dan influencer bisa membangun masyarakat yang adil dan setara. Tri lantas melontarkan pertanyaan renungan pada peserta, “Kita lahir sama, tapi kemudian ketika dewasa mengapa menjadi beda? Teman-teman disabilitas juga tidak mau dilahirkan seperti itu. Itu given (pemberian) kan ya!” Terlahir sebagai laki-laki atau perempuan tak bisa memilih, pun lahir di status sosial ekomoni dan suku mana.
Dalam kesempatan itu, Tri juga mengupas pentingnya bicara tentang GEDSI. Pertama, agar semua orang mendapat akses yang sama untuk kesejahteraan dalam program-program. “No one left behind. Tak seorang pun boleh ditinggalkan dalam pembangunan,” tuturnya.
Tri menerangkan, penyebab terjadinya konflik itu karena stereotip yang berkembang di masyarakat. “Stereotip membuat orang termarjinalkan, dipinggirkan terus. Perempuan mengalami kekerasan juga karena strereotip yang berkembang, karena menganggap perempuan objek seks, tatapan dengan kacamata laki-laki,” ungkapnya.
Dia lantas mengkritisi salah satu iklan yang menggambarkan ibu rumah tangga itu bodoh dan pantas jadi bahan bercandaan. Stereotip ini perlu diubah. Pun karena umur (misal dianggap masih anak-anak), seseorang juga bisa dieksklusikan. Ada pula ketika ada artis dari suku tertentu yang biasa jadi bahan tertawaan. Dengan berkesadaran GEDSI, Tri yakin para peserta bisa menyadari gambaran-gambaran itu salah. “Ternyata itu semua ada di sekitar kita,” imbuhnya.
Kedua, GEDSI mewujudkan pemenuhan hak dasar bagi semua individu warga negara tak terkecuali dengan atribut yang berbeda berdasarkan gender, disabilitas, umur, agama, latar belakang etnis/suku, orientasi seksual, warna kulit, dan sebagainya. Hak dasar itu di antaranya hak kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. “Setiap orang punya keragaman. Keragaman itu harus dihargai. Dia harus punya akses ke hak dasar!” jelasnya.
Terkait hak memperoleh pekerjaan misalnya, dia mengimbau ada upaya menyiapkan kerja bagi siswa disabilitas di sekolah luar biasa (SLB). “Ini upaya menguatkan akses,” terangnya.
Tri pun mengenalkan Gender Development Index (GDI) untuk perempuan, di mana ada dua indikator tambahan selain yang dimuat pada Human Development Index (HDI). “Perempuan yang sudah terpenuhi hak dasarnya itu tidak mengalami kekerasan. Hak dasarnya apa lagi, dia mendapat akses kepemimpinan atau partisipasi politik,” ungkapnya.
Wujudkan Kesetaraan
Ketiga, GEDSI menghapus dan memberantas kemiskinan, keterpinggiran, diskriminasi, rasa tidak aman dan nyaman, ketakutan, dan pembedaan perlakuan. Dia mencontohkan, ketika ada wanita yang mengalami kehamilan di luar nikah, maka dia sebagai warga negara Indonesia tetap boleh mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Contoh lain, untuk manajemen menstruasi, maka sekolah-sekolah perlu menyediakan toilet 2 untuk perempuan dan 1 untuk laki-laki. “Perempuan kalau sedang menstruasi bisa 5 menit berada di kamar mandi. Laki-laki cuma 2 atau 3 menit. Ini bukan previledge, tapi memang perspektif kita harus seperti itu,” tutur Tri.
Selain itu, GEDSI mendorong penguatan pemberian kesempatan dan kemanfaatan secara setara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Contohnya, passing grade skor TOEFL untuk siswa di Jawa dan daerah 3T bisa berbeda karena akses pendidikan yang diperoleh juga berbeda. “Teman-teman tidak perlu iri, itulah perlakuan khusus afirmatif,” terangnya.
Di samping itu, GEDSI juga sebagai perwujudan kesetaraan gender, inklusi, dan disabilitas sebagai konsep yang berkaitan, tidak berdiri sendiri atau terpisah, sehingga intervensi dan strategi untuk mengatasi ketidakadilan haruslah terintegrasi untuk mewujudkan inklusi sosial. Inklusi sosial ini prinsipnya solusi yang sistemik (saling berhubungan, tidak berdiri sendiri-sendiri).
Selain itu, prinsip lainnya ialah kebijakannya bermanfaat untuk semua dan layanannya bermanfaat kepada semua. Maka, kebijakan organisasi juga perlu dicek. Tri mencontohkan, tidak baik jika rapat sampai jam 2 dini hari. “Kasihan teman-teman perempuan. Kalau dunia sudah aman untuk perempuan sih oke,”tambahnya.
Tri kemudian menerangkan Pendekatan Interseksionalitas oleh Kimberley Crenshaw. “Dalam identitas kita, kita bisa mengalami keterpinggiran yang berlapis-lapis. Jadi semakin susah mendapatkan akses,” jelas Tri. Misalnya, seseorang mengalami keterpinggiran dalam hal gender, pendidikan, dan ekonomi.
Dengan GEDSI, harapannya tidak ada marginalisasi, peminggiran, dan penghapusan hak. Melainkan ada partisipasi, kesetaraan (equality), akses kesempatan (equity), kesejahteraan, kesamaan hak, dan etika.
“Setiap orang punya pengalaman berbeda, kita tidak boleh menghakimi orang lain berdasarakan pengalaman kita sendiri,” imbuhnya.
Akhirnya Tri menegaskan, “Ini jalan sunyi. Jauh dari panggung, bahkan mungkin banyak musuhnya. Kita harus sadar ini isunya jalan sunyi!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post