Muhammadiyah Dirugikan Pengangkatan Guru P3K, Begini Jawab Ganjar Pranowo

Calon Presiden Ganjar Pranowo dan Wakil Presiden Mahfud MD di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis (23/11/2023). (Foto X @muhammadiyah)

PWMU.CO – Pertanyaan terkait persoalan pendidikan muncul pada Dialog Terbuka Muhammadiyah dengan Calon Presiden Ganjar Pranowo dan Wakil Presiden Mahfud MD di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis (23/11/2023).

HR Alpha Amirrachman MPhil PhD, panelis bidang pendidikan dan kesehatan, awalnya menjelaskan, “Kita di Muhammadiyah ada 75.734 guru. 6.997 dari mereka itu lolos P3K (pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak). Mereka pindah ke sekolah negeri. Padahal sekolah-sekolah Muhammadiyah yang jumlahnya ada 6.547 dan 21.521 TK di bawah Aisyiyah adalah sekolah-sekolah perjuangan.” 

Dia lantas menjelaskan maksud sekolah perjuangan. “Mereka sedang berinvestasi mendidik guru-guru mereka untuk melanjutkan pendidikan. Ada yang jadi doktor, ada yang diumrahkan. Ada yang sudah menjadi kepala sekolah hebat-hebat, tiba-tiba 6500 sekian pindah ke sekolah negeri karena P3K,” jelasnya. 

Kata Alpha, ini dialami bukan hanya oleh Muhammadiyah tapi juga ormas yang menyelenggarakan pendidikan seperti PGRI, PLP Ma’arif PP NU, Kristen Katolik, Taman Siswa, dan lainnya. “Kami sedang berusaha mengembalikan mereka ke sekolah asal, mengajar di sekolah asalnya, di swasta, tapi tetap dengan status P3K. Apakah Bapak akan mendukung ikhtiar kami? Kalau iya, apa yang akan dilakukan?” tanya Alpha. 

Di tingkat perguruan tinggi juga mengalami tantangan. Alpha mengungkap, 174 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) mengalami persaingan dengan PTN. “Ada jalur-jalur mandiri, mereka membuka kran seluas-luasnya untuk mengeruk siswa lulusan SMA masuk ke PTN,” ungkapnya. 

Akibatnya, PT Muhammadiyah mengalami defisit mahasiswa yang cukup signifikan. Dia lantas menanyakan, bagaimana Ganjar dan Mahfud menanggapi persoalan ini. 

Pinjam P3K 

Ketik membahas persoalan guru P3K, Ganjar menjelaskan kasus seperti ini sudah pernah terjadi. Yakni ada guru lolos P3K lalu memutuskan untuk pindah ke sekolah-sekolah negeri. Waktu sekolah asal melakukan protes, Ganjar mengizinkan untuk meminjam. “P3K dipinjam saja, Pak. Jadi mereka tetap ke negeri terus dipinjam. Kami punya pengalaman itu Pak,” ujarnya. 

“Tapi kami minta sekolahnya juga mesti menyiapkan. Ini dilema Pak,” imbuh Ganjar. 

“Satu, dilema untuk menghargai setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan. Kedua, dilema apakah kita taat terhadap UU tenaga kerja. Ini terkait dengan gaji gurunya.”

“Kalau pemerintah di negeri, ada yang melanggar nggakNggak ada Pak. Wong pemerintah kok tidak memberikan contoh yang baik. Guru honorer negeri itu bayarnya Rp 300 ribu. Dikisahkan setiap 3 bulan. Kasihan. Hanya untuk komitmen,” sambungnya. 

“Saat UU Otonomi Daerah diberikan, guru-guru negeri pindah kewenangan dari kab/kota ke pemprov,” contohnya. 

Dulu gaji sebagai guru honorer hanya Rp 300 ribu dan dibayarkan per tiga bulan sekali. “Lho masak pemerintah tidak bisa memberikan contoh yang baik? Akhirnya apa yang kita lakukan? Hitung anggaran, review, perbaiki dan memberikan hak minimal UMK Pak,” terang Ganjar. 

“Maka yang tadi gajinya Rp 300 ribu itu kalau di Banjarnegara gajinya bisa menajdi Rp 1,6 juta. Kalau di Semarang bisa menjadi Rp 2,4 juta. Mereka juga masih dapat potensi mereka sertifikasi. Ini Pak kesejahteraannya,” imbuhnya. 

Baca sambungan di halaman 2: Dilema 

Para penelis Dialog Terbuka Muhammadiyah di UMJ, Kamis (23/11/23). HR Alpha Amirrachman kedua dari kanan (Foto X @muhammadiyah)

Dilema 

Masalah yang jadi dilema, kata Ganjar, “Kira-kira di beberapa tempat sekolah swasta, bisa nggak ya mereka dibayar seusai UMK Pak?” 

Untuk menjawab persoalan ini, menurutnya harus ada kajian ulang mengenai bagaimana pemerintah memberikan pengelolaan yang sama terkait anggaran kepada sekolah-sekolah negeri dan swasta. “Kalau sekolah tidak bisa membayar, sebaiknya apa yang dilakukan? Apa sekolahnya ditutup atau dipinjami? Maka kalau kita bicara politik pendidikan secara garis besar, 20 persen dari APBN seharusnya cukup,” ungkapnya. 

Maka, menurut Ganjar, mesti konsolidasi ulang agar perlakuan sekolah swasta dengan negeri tidak njeglek(timpang berbeda jauh). Dia juga menceritakan ketika pernah menebus ijazah di sekolah swasta. Kalau ke negeri gini, dia menyampaikan ke kepala sekolah untuk tetap memberikan ijazah meski belum membayar sekolah dan itu dilaksanakan. Tapi di suatu sekolah swasta, dia perlu menebus itu dulu. 

Ganjar menuturkan, “Kacamatanya harus berimbang. Kalau ini bisa kita konsolidasi ulang dan betul-betul dikembalikan untuk dunia pendidikan, rasanya itu bisa dibantu Pak.” 

Dia juga mengimbau harus dilakukan pengetatan standarisasi agar tidak mengalami perbedaan yang signifikan. “Kecuali di daerah-daerah yang memerlukan tindakan afirmasi. Tindakan afirmasi pun ada tingkatannya. Dibangun sekolah, sekolah satu atap, sekolah virtual ini saya buat semua, kemudian mengoptimalkan gedung dengan sekolah sore,” terangnya. 

Sebenarnya, kata Ganjar, akses ini bisa kita berikan sehingga kalau akses pendidikannya sulit, mereka di remote area mendapatkan fasilitas itu. 

PTN Versus PTM

Terkait persoalan PTMA, Mahfud MD menyatakan, harus ada budaya kebersamaan pemerintah dalam mengelola perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.

“Peningkatan mahasiswa dan peminat PTNBH memang tinggi, saya menjumpai banyak perguruan tinggi swasta banyak yang ditutup karena tidak mendapat mahasiswa,” ungkapnya. 

“Untuk itu kita bisa membatasi tugas terhadap perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH), karena PTNBH terlalu komersial untuk diarahkan sehingga budaya pembangunan menjadi budaya persaingan,” ujar Mahfud.

Mahfud menjelaskan, baik antara PTNBH dengan perguruan tinggi swasta harusnya tidak saling bersaing namun melakukan elaborasi dan kerja sama untuk memajukan Indonesia. (*)

Penulis Fatma Melani Putri Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version