Cara Raih Martabat dan Kemajuan Tertinggi Menurut Haedar Nashir

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menjelaskan at-Takwir ayat 26. (Tangkapan layar di Tunasmalangtv)

PWMU.CO – Cara meraih martabat dan kemajuan tertinggi diajarkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi pada Ceramah Kebangsaan Tabligh Akbar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang.

Menurut Prof Haedar, kunci pertama, termasuk takwa di dalamnya itu harus kualitatif. “Al imanu yazidu wa yanqush. Iman itu tambah dan kurang kayak berhitung gitu. Jadi jangan merasa paling sering ke masjid. Orang Muhammadiyah jadi Muslim imannya selalu bertambah,” terangnya.

Adapun yang merasa selama ini sudah shalat terus, Prof Haedar mengingatkan, imannya belum tentu bertambah kalau shalatnya tanpa khusyuk.  “Maka tingkatkan kualitas iman, keyakinan kita pada Allah,” ajaknya.

Kalau berbuat baik, perbuatan baik itu akan kembali kepada kita. Kalau kita berbuat buruk, perbuatan buruk itu akan kembali kepada kita. “Maka orang Islam sebaik mungkin lakukan kebaikan yang maksimal dan jangan melakukan keburukan!” tuturnya.

Sebagus-bagus keburukan kita bungkus, pada akhirnya akan ketahuan. “Memang tidak semuanya ketahuan di dunia dan nanti urusannya di akhirat,” imbuhnya.

Ilmu

Kedua, ilmu. Dalam hal ini Prof Haedar menekankan, tidak ada bangsa, umat, orang, keluarga yang maju kalau tanpa ilmu. “Lihat Jepang hancur di bom sekutu bahkan membekas sampai sekarang tapi tidak lama setelah itu bangkit. Karena ilmu pengetahuan, mereka terjemahkan berbagai buku dari luar lalu menjadi masyarakat ilmu,” ungkapnya.

Adapun di Muslim, ayat, surat, wahyu pertama ialah iqra (bacalah) tetapi untuk membaca berat sekali. “Sampai menurut indeks internasional orang Indonesia itu indeks membacanya 0,01. Hanya satu orang yang membaca dari 1000 orang,” tegasnya.

Dia yakin orang-orang kalau membaca WhatsApp Insyaallah gemar. “Belum tidur baca WhatsApp, ngelilir dari tidur baca WhatsApp, bangun tidur Whatsapp lagi.  Apalagi kalau beritanya politik, wah seru sekali! Sampai lupa untuk belajar hal-hal yang mendasar,” sambungnya.

“Hidup ini kan yang paling laris itu baca medsos, apalagi sudah postingan-postingan ada videonya dan ternyata hoax padahal sudah disebar ke mana-mana karena sekarang gampang sekali bikin hoax,” ungkapnya.

Maka kalau ingin memajukan tradisi membaca, Prof Haedar mengajak jamaah untuk membaca al-Quran. “Tadi kita senang kan lihat tiga generasi kita itu Hafiz 10 juz. Nanti tambah lagi sampai 30 juz. Jangan tambah lagi jadi 31 juz! Dulu ada seloroh seorang menteri saking inginnya berislam itu datang ke pesantren sudah berapa juz hafalnya? 31, eh 30 juz,” tuturnya sambil bercanda.

Dia juga mengajak untuk membaca Quran yang mudawama, baca Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiyah yang mudawama, baca hal-hal yang positif konstruktif. “Tidak apa-apa baca hal-hal yang negatif untuk jadi pelajaran tapi jangan terus baca yang negatif, dapat merusak otak kita kalau input kita banyak negatif yang keluar juga banyak yang negatif pilih-pilih lah,” jelasnya.

Pria berkacamata ini menjelaskan ciri Muslim cerdas (fatonah) itu seperti pada ayat alladzina yastamiunal fattabiuna ahsana. Kalau ada berita, share, postingan, pernyataan, informasi, maka diseleksi dan ambil yang terbaik dan paling benar.

Amaliah

Ketiga, amaliah. “Amaliah kita harus sampai yang terbaik jadi itu yang disebut dengan amalut tabdilah, amal yang utama,” ungkapnya.

Ia yakin semua orang melakukan aktivitas. Buya Haedar memberikan contoh, memindah barang, menyapu, mengepel. “Siapapun baik laki maupun perempuan saya tidak pernah punya pandangan khusus yang ngepel itu untuk perempuan saja, tidak, Nabi juga nyapu kok,” lanjutnya.

Buya Haedar pun menegaskan amaliah juga bisa dengan berbuat baik kepada para jamaah pengajian. “Jika kita ingin masuk surga paling duluan dan di jannatun Naim, beramallah yang terbaik bukan sekadar beramal tapi beramal yang terbaik itu yang disebut dengan tabdilah!” ajaknya. (*)

Penulis Fatimah Az-Zahro Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version