Kejutan Dirty Vote dan Investasi Demokrasi Rp 88,3 Triliun

Poster film dokumenter Dirty Vote: Kejutan Dirty Vote dan Investasi Demokrasi Rp 88,3 Triliun

Kejutan Dirty Vote dan Investasi Demokrasi Rp 88,3 Triliun; Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik berkantor di Surabaya.

PWMU.CO – Masa tenang menuju hari pemungutan suara Rabu 14 Februari 2024, masyarakat dikejutkan oleh film dokumenter Dirty Vote yang dirilis di YouTube, Senin (12/2/2023).

Film yang ‘dibintangi’ tiga pakar hukum tata negara—Jentera Bivitri Susanti (Sekolah Tinggi Hukum), Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi  HH UGM), dan Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas)—tersebut mengungkap mengungkap berbagai instrumen kekuasaan yang telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

Dijelaskan bahwa penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangan diurai dengan analisa hukum tata negara.

Sebagai bahan edukasi—film yang di channel YouTube Dirty Vote sudah ditonton 7 juta lebih per Selasa (13/2/2024) pukul 11.34 WIB (belum termasuk dari channel lain)—bagus untuk melakukan mitigasi beragam kecurangan yang kemungkinan terjadi. Dengan beragam langkah antisipasi dan mitigasi semoga oknum-oknum yang berencana melakukan kecurangan mengurungkan niatnya.

Anggaran Pemilu Rp 88,3 Triliun

Anggaran Pemilu 2024 menurut data kementerian keuangan mencapai Rp71,3 triliun, untuk satu putaran saja. Jika memerlukan dua putaran untuk pemilihan presiden dan wakil presiden telah dicadangkan dana Rp17 triliun. Sehingga jumlah dana untuk putaran satu dan jika membutuhkan putaran dua akan menjadi sebesar Rp 88,3 triliun.

Mahal dan besar. Maka dari itu pemilu harus benar-benar menjadi pesta rakyat untuk ikut serta dalam menyampaikan pendapat melalui wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden yang mereka pilih secara langsung, umum, bebas, rahasia dan bertanggung jawab.

“Angka Rp 88,3 triliun untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden bisa memberi nilai tambah untuk banyak sektor negara jika legislatif dan eksekutif terpilih benar-benar amanah.”

Usaha atau rencana-rencana untuk memanipulasi suara rakyat selain merusak demokrasi juga bisa membuat investasi untuk pemilu melesat dari target. Anggaran pemilu yang besar bisa berasa ‘ringan’ jika disebut investasi, bukan sekadar biaya.

Dalam investasi terkandung harapan nilai tambah masa depan atas pengeluaran yang dilakukan hari ini. Angka Rp 88,3 triliun untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden bisa memberi nilai tambah untuk banyak sektor negara jika legislatif dan eksekutif terpilih benar-benar amanah.

Demokrasi dan pemilihan umum untuk memilih pemimpin bisa disebut sedang menjadi tren di dunia modern. Demokrasi menggantikan sistem monarki yang memilih pemimpin berdasarkan kekuatan fisik, perang, pemaksaan dan silsilah atau keturunan.

Di beberapa negara, demokrasi bisa berdampingan dengan monarki dalam membagi peran kenegaraan dan pemerintahan. Inggris, Jepang, Thailand, Malaysia, juga Indonesia menjadi contoh dari beberapa negara yang mampu menyandingkan demokrasi dengan monarki. 

Baca sambungan di halaman 2: Jangan Rusak Demokrasi dengan Suara Kotor

Poster film dokumenter Dirty Vote: Kejutan Dirty Vote dan Investasi Demokrasi Rp 88,3 Triliun

Jangan Rusak Demokrasi dengan Suara Kotor

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Sejak awal terbentuknya negara telah merencanakan hajatan pemilihan umum melalui Maklumat Pemerintah No X Tahun 1945.

Maklumat yang disampaikan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 itu berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut juga menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. 

Namun takdir berkata lain, memasuki tahun 1946 sampai 1949 negara Indonesia yang baru lahir disibukkan perang fisik mempertahankan kemerdekaan. Baru tahun 1955 pemilihan umum pertama berhasil dilaksanakan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Konstituante.

“Sangat riskan dan tidak beradab jika ada rekayasa terhadap suara rakyat—yang disindir oleh film Dirty Vote sebagai suara kotor alias dirty vote.” 

Hasil Pemilu dibatalkan pada 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden menuju Demokrasi Terpimpin sampai 1966. Memasuki Orde Baru hingga Reformasi pemilihan umum digelar semakin tertib terjadwal lima tahunan, pernah agak lama dari tahun 1971 ke 1977 dan pernah sangat cepat dari tahun 1997 ke 1999.

Sejak 1999 sampai 2024 pemilihan umum menjadi pesta demokrasi dan pesta rakyat sesungguhnya. Dengan antusias sebagian warga masyarakat mendaftar atau didaftarkan sebagai calon wakil rakyat, calon presiden, calon wakil presiden.

Sebagiannya lagi antusias memeriahkan kegiatan kampanye, menjadi panitia pemungutan suara, pengawas dan bantu-bantu secara suka rela. Bilik-bilik suara disiapkan masyarakat secara gotong-royong dengan penuh suka cita tanpa ada perseteruan kubu 01, 02, 03 dan sebagainya. 

Psikologis masyarakat luas telah siap menyambut pemimpin baru hasil pemilu, pesta demokrasi dan pesta rakyat dengan uang rakyat sendiri. Sangat riskan dan tidak beradab jika ada rekayasa terhadap suara rakyat—yang disindir oleh film Dirty Vote sebagai suara kotor alias dirty vote

Semoga tidak ada manipulasi dalam proses rekapitulasi dan perhitungan suara, sehingga manfaat nilai tambah investasi untuk demokrasi dapat benar-benar kembali pada masyarakat luas, bukan terbatas. Wallahualambishawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version