Puasa dan Ikhtiar Menghindari Sifat Takabur

Dr Syamsudin MAg: Puasa dan Ikhtiar Menghindari Sifat Takabur

Puasa dan Ikhtiar Menghindari Sifat Takabur; Oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya

PWMU.CO – Ibadah puasa berdasarkan lafalnya memiliki dua makna: lahir dan batin. Makna lahir ditunjukkan dengan kata siam yang berarti menahan diri secara lahiriah. Yaitu menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hubungan intim suami istri dari fajar hingga terbenamnya matahari.

Sementara makna batin ditunjukkan dengan kata saum, yang artinya diam atau ash-shumtu. Yaitu menahan diri dari berkata yang tidak pantas.

Dengan demikian puasa yang kita lakukan harus mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batin dengan mengosongkan perut dari makanan dan minuman dan mengosongkan nafsu syahwat dan lisan dari hal-hal yang tercela, serta mengosongkan hati dari selain Allah. Di sinilah fungsi puasa sebagai pengendali nafsu manusia. 

Berdasar karakteristiknya, para ulama akhlak membagi nafsu pada diri manusia menjadi empat macam. Yaitu nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu muthmainnah, dan nafsu radhiyah mardhiyyah. Namun begitu dari sisi eksistensinya, nafsu itu tetap hanya satu, ya nafsu itu sendiri.

Dalam konsep akhlak Islam, ada perbuatan-perbuatan yang dianggap buruk. Di antaranya adalah sombong atau takabur. Disebut buruk, sebab takabur merupakan penyakit hati yang dapat merusak amal seseorang. Nabi Muhammad SAW, pernah mengatakan, tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya masih menyimpan sebutir kesombongan.

Pengertian Takabur

Takabur atau sombong adalah sikap membanggakan diri sendiri. Orang yang takabur melihat dirinya lebih besar dari pada  yang lain. Juga memandang dirinya lebih sempurna jika dibandingkan orang lain. Takabur atau sombong ini merupakan anak kandung  dari ujub, yaitu takjub dengan diri sendiri.  Jadi, ujublah yang  melahirkan kesombongan. Namun begitu terdapat perbedaan antara ujub dengan sombong. Ujub tidak  memerlukan orang lain, sementara sombong membutuhkan orang lain sebagai pembandingnya. 

Sifat takabur kemudian dibedakan menjadi dua. Pertama, seseorang yang menolak kebenaran dari orang lain, padahal ia menyadari bahwa hal itu benar. Ia menolaknya karena orang yang menyampaikan kebenaran itu dirasa lebih muda atau lebih rendah pendidikan dan kedudukannya jika dibanding dirinya. 

Kedua, seseorang yang menganggap dirinya memiliki keistimewaan melebihi orang lain. Selalu merasa dirinya lebih hebat  dari pada orang lain. Dalam praktiknya ia bersikap congkak kepada sesama hamba Allah bahkan merendahkan mereka. Menurutnya martabat dirinya lebih tinggi dari pada martabat orang lain. Orang yang takabur berkecenderungan untuk bersifat angkuh dan selalu ingin menjatuhkan orang lain, tanpa ada argumentasi yang bisa diterima.

Tentu saja takabur merupakan sifat yang akan menimbulkan kebencian di antara sesama manusia, serta tidak membawa manfaat sama sekali. Oleh karenanya, Allah SWT sangat membenci orang yang menyimpan sifat ini. Allah SWT berfirman: 

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) serta janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong serta membanggakan diri.” (Luqman 18).

Cara Menghindari Sifat Takabur

Dengan berbagai dampak buruk dari sifat takabur tersebut, tentunya harus ada cara yang efektif untuk bisa menghindari sifat ini. Agar hidup manusia menjadi tenang serta dalam limpahan rahmat Allah SWT. Beberapa cara bisa dilakukan untuk menghindarinya, dan itu bagian dari amal shaleh.

Berikut ini beberapa cara menghindari takabur yang perlu diketahui.

  1. Meningkatkan kualitas iman dengan cara meningkatkan intensitas ibadah. Yaitu di samping melaksanakan ibadah wajib juga melaksanakan ibadah sunah. 
  2. Mensyukuri segala nikmat Allah SWT dengan cara berbagi rezeki dengan sesama manusia. Dalam hal ini adalah meningkatkan infak dan sedekah.
  3. Menyadari bahwa setiap manusia di samping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan. Nabi bersabda, “Janganlah kamu merendahkan orang lain, karena masing-masing orang memiliki kelebihan.”
  4. Menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Sehingga nasib orang bisa saja berubah dalam waktu yang tidak terduga. Kesadaran ini bisa menyadarkan orang untuk tidak lupa menyiapkan bekal akhirat.
  5. Menyadari segala kelebihan sebagai karunia dari Allah SWT. Manusia memiliki kelebihan bukan hanya karena usahanya saja, namun juga dikarenakan izin Allah SWT. Jika menyadari hal ini biasanya akan membuat seseorang pandai bersyukur hingga terhindar dari takabur.
  6. Tidak membedakan perlakuan di antara sesama manusia. Semua manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Allah SWT, meskipun mereka berbeda dalam hal jabatan, status sosial, serta atribut-atribut lahiriah yang lainnya. Bersikap adil terhadap sesama adalah cara untuk menjadi pribadi yang lebih baik, serta dapat menghilangkan sifat egoistis. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version