Merayakan Idul Fitri: Dari Mudik Kultural ke Mudik Spiritual

Biyanto: Merayakan Idul Fitri: Dari Mudik Kultural ke Mudik Spiritual (Dokumentasi Pribadi)

Merayakan Idul Fitri: Dari Mudik Kultural ke Mudik Spiritual; Oleh Biyanto; Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

PWMU.CO – Perayaan Idul Fitri 1445 Hijriah sudah menghampiri kita. Hawa kampung halaman pun terasa semakin menyengat. Suasana kebatinan ini dirasakan terutama sekali oleh para perantau. Bahkan, sebagian perantau telah merasakan hawa kampung halaman saat jelang ramadan. Keinginan untuk mudik ke kampung halaman pun tidak tertahan lagi. Karena itulah dapat dipahami jika gelombang mudik terus mengalami peningkatan hingga jelang hari raya idul fitri. 

Kementerian Perhubungan memprediksi ada sekitar 193,6 juta orang yang akan mudik pada Lebaran 2024. Jumlah pemudik mencapai 71,7 PERSEN dari total penduduk negeri. Hebatnya, budaya mudik ternyata mampu menggerakkan roda perekonomian di desa. Hal itu karena pemudik umumnya pulang kampung dengan membawa hasil kerja di perantauan berupa uang dan barang bawaan. Apalagi realitas menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen penduduk negeri ini tinggal di pedesaan.

Menurut Andre Moller dalam Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002), fenomena mudik merupakan aktivitas keagamaan yang khas di nusantara. Mudik bertujuan untuk merayakan idul fitri bersama orangtua, saudara, dan teman di kampung halaman. Pertanyaannya, motivasi apa yang mendorong pemudik bergerak dari tempat perantauan ke kampung kelahiran? Padahal, untuk mudik mereka harus mengeluarkan biaya besar, meluangkan waktu, berpeluh keringat, dan bersusah payah dalam perjalanan.

Pemudik berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman sangat bermakna bagi kehidupan. Selalu ada energi positif yang dirasakan jika seseorang kembali ke kampung halaman.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik berasal dari kata udik yang berarti kampung, desa, atau dusun. Kata udik juga berarti hulu sungai, tempat semua aliran air berawal. Dari pengertian ini dipahami bahwa mudik berkaitan dengan ajaran agar seseorang kembali ke daerah asal untuk mengingat masa lalunya saat memulai kehidupan di kampung halaman. Tentu banyak kenangan indah yang dirasakan bersama keluarga, kerabat, dan sahabat sepermainan. Kenangan itulah yang ingin dihadirkan kembali melalui beragam kegiatan selama mudik di kampung halaman.

Yang menarik, fenomena mudik telah menjadi budaya lintas etnis dan agama. Perantau dengan berbagai latar belakang agama dan etnis menjadikan mudik layaknya ritual tahunan. Budaya mudik juga tidak mengenal latar belakang sosial ekonomi.

Pemudik berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman sangat bermakna bagi kehidupan. Selalu ada energi positif yang dirasakan jika seseorang kembali ke kampung halaman. Berbagai motivasi turut menyertai pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem orangtua, silaturrahim dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal, reuni bersama teman, dan keinginan berbagi dengan sesama.

Pemudik juga terbiasa memberikan bingkisan Lebaran pada keluarga dan tetangga terdekat. Tradisi berbagi para pemudik itu memberikan pelajaran berharga. Mereka telah mengamalkan ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi (religious giving). Bahwa tangan di atas (memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta). Padahal, tidak semua pemudik sukses bekerja di perantauan. Sebagian perantau juga mengalami kesulitan hidup. Bahkan, sebagian mereka kehilangan pekerjaan akibat terkena pemutusan hubungan kerja. Tetapi semua kesulitan yang dihadapi di perantauan seakan hilang begitu tiba di kampung halaman.

Mudik Spiritual

Selain mudik kultural, secara metaforis al-Qur’an juga memerintahkan mudik spiritual. Mudik spiritual dalam al-Qur’an bermakna kembali kepada ampunan (maghfirah) Allah SWT. Dalam konteks ini Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Ali ‘Imran: 133). Firman Allah ini berbicara mengenai perintah agar kita bersegera mudik dengan cara kembali pada ampunan Tuhan. 

Mudik spiritual dalam pengertian kembali ke ampunan Tuhan itulah yang harus selalu dilakukan setiap saat, tidak hanya menjelang ramadan dan idul fitri. Dalam literatur filsafat dan mistik Jawa, perintah mudik spiritual berkaitan dengan ajaran ”Sangkan-Paraning Hurip” (Asal dan Tujuan Hidup). Bahkan juga ajaran ”Sangkan-Paraning Dumadi” (Asal dan Tujuan Semua Makhluk). Filsafat kesufian Jawa mengajarkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa merupakan asal sekaligus tujuan hidup. 

Jika dalam tradisi mudik kultural seseorang harus menyiapkan bekal yang berlebih untuk pulang ke kampung halaman, maka untuk mudik spiritual ke kampung akhirat, yang dibutuhkan adalah komitmen senantiasa kembali pada ampunan Tuhan.

Hal itu berarti setiap orang harus menyadari dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup di dunia, dan ke mana tujuan akhir dari drama kehidupan manusia. Pada konteks itulah dapat dipahami bahwa mudik spiritual berkaitan dengan keyakinan bahwa kita semua milik Allah dan akan kembali pada Allah. Dalam perspektif Islam, ajaran ”Sangkan-Paraning Hurip” dan ”Sangkan-Praning Dumadi” itu sejalan dengan keyakinan bahwa sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada Allah jua kita akan kembali (inna lillah wa inna ilayhi raji’un). 

Melalui mudik kultural kita memperoleh pelajaran betapa para pemudik telah mengamalkan pesan puasa dalam bentuk yang lebih konkret. Para pemudik mengajarkan pentingnya berbagi dengan sesama melalui pemberian angpao, pakaian, dan bingkisan Lebaran lainnya. Sementara itu, untuk mudik spiritual kita seharusnya mampu menangkap substansi Idul Fitri yang mengajarkan pentingnya peningkatan ketaatan pada Allah. Hal ini sejalan dengan ajaran yang menyatakan; laysal ’id liman labisal jadid wa lakinnal ’id liman taqwahu yazid (esensi idul fitri tidak terletak pada pakaian yang baru, melainkan ketakwaan yang terus bertambah). 

Jika dalam tradisi mudik kultural seseorang harus menyiapkan bekal yang berlebih untuk pulang ke kampung halaman, maka untuk mudik spiritual ke kampung akhirat, yang dibutuhkan adalah komitmen senantiasa kembali pada ampunan Tuhan. Pada konteks inilah derajat ketakwaan sebagai hasil dari ibadah puasa penting menjadi bekal untuk menggapai mudik spiritual. Semoga ramadan tahun ini menjadi ramadan luar biasa sehingga melahirkan pribadi-pribadi yang senantiasa mudik. Bukan hanya mudik kultural, melainkan juga mudik spiritual. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version